Peringatan Hari Persaudaraan Manusia Internasional, Benarkah Kita Bersaudara?

  • Opini

Penulis: Halima Noer

Suaramubalighah.com, Opini — Pada 4 Februari lalu, pemerintah Indonesia memperingati Hari Persaudaraan Manusia Internasional (International Day of Human) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penetapan ini sehubungan dengan ditandatanganinya Piagam Persaudaraan Manusia oleh Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb dan Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada 2019 lalu.

Dalam rangka menyambut peringatan Hari Persaudaraan Internasional tersebut, Direktorat Jenderal Bimas Islam Kemenag menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi/Ketua BKM Provinsi, Kepala Kantor Kemenag Kab./Kota atau Ketua BKM kab./kota, Kepala KUA Kecamatan atau Ketua BKM kecamatan, para Ketua BKM Kelurahan/Desa, serta Ketua Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid seluruh Indonesia.

Edaran tersebut berisi imbauan agar para khatib Jumat menyampaikan pesan persaudaraan manusia. “Sebagai dukungan atas peringatan tersebut, sebagaimana tahun lalu, kami terbitkan edaran yang mengimbau para khatib Jumat untuk menyampaikan pesan-pesan persaudaraan manusia (ukhuah insaniah) pada dua pelaksanaan salat Jumat pada 31 Januari 2025 dan 7 Februari 2025,” ujar Dirjen Bimas Islam Kemenag, Abu Rokhmad.[i]

Bagian dari Proyek Moderasi

Nyatanya, Peringatan Hari Persaudaraan Manusia Internasional ini tidak lain merupakan bagian dari proyek global moderasi beragama yang diaruskan Barat (baca: Amerika Serikat) melalui lembaga perpanjangan tangannya (PBB). Peringatan ini hakikatnya merupakan bentuk pluralisme yang diajarkan paham moderasi beragama. Hal ini tampak dari penafian terhadap perbedaan agama sehingga semua penganut agama ditempatkan dalam posisi dan kedudukan yang sama.

Peringatan ini pun tidak lain merupakan pengukuhan bahwa kedudukan agama Islam adalah sama dengan agama-agama lainnya, yakni sama-sama benar, sama-sama baik, serta mengajak kepada kebaikan. Tidak hanya itu, peringatan ini juga pengakuan bahwa umat Islam dan umat agama lainnya adalah bersaudara. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang hal ini?

Jawabannya, tentu saja semua itu bertentangan dengan Islam, setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, Islam adalah satu-satunya agama yang benar, agama yang lain salah.

Dalilnya, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19). Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah pemberitahuan dari Allah SWT bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya, kecuali Islam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/25).

Kedua, Islam telah menjadikan umatnya sebagai umat terbaik dan ketinggian Islam tidak dapat ditandingi agama mana pun.

Dalilnya lihat dalam QS Ali Imran [3] ayat 110, dan. Rasulullah saw. bersabda, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.”(HR Ad-Daruquthni, III/181 no. 3564). Oleh sebab itulah, kedudukan Islam dan umat Islam tidak bisa disamakan dengan yang lainnya.

Ketiga, Islam hanya mengenal persaudaraan dalam Islam (ukhuah islamiah).

Islam menjadikannya sebagai ikatan yang nilainya lebih tinggi daripada ikatan darah atau kesukuan. Tidak ada ikatan persaudaraan dengan nonmuslim. Menurut Ar-Raghib dalam Mufradat Al-Fazhil Quran, kata “ukhuah” berasal dari kata “akhun” yang mengandung arti ‘berserikat dengan yang lain karena kelahiran dari dua belah pihak atau karena persusuan’. Selain itu, kata “akhun” juga menjelaskan bahwa seluruh mukmin adalah bersaudara.

Menurut Imam Hasan Al-Banna, ukhuah dapat diartikan sebagai keadaan mengikatnya hati-hati dan jiwa-jiwa dengan ikatan akidah. Ikatan inilah yang mendefinisikan ukhuah sebagai ‘saudara dalam keimanan’.

Hal ini diterangkan oleh firman Allah dalam QS Al-Hujurat: 10,Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

Berdasarkan ayat di atas, Allah menggunakan kata “ikhwah” atau “saudara” untuk menjelaskan hubungan sesama umat muslim. Sementara itu, hubungan muslim dengan nonmuslim tidak pernah disebut dengan menggunakan istilah “ikhwah” atau “saudara”, melainkan “hanya berbuat baik”.

Terlebih lagi, Islam melarang setiap muslim menjadikan nonmuslim sebagai sahabat setia (kepercayaan). Bagaimana mungkin menjadikan mereka sebagai saudara, sedangkan sebagai sahabat setia saja tidak boleh?

Dalam QS Ali Imran: 118 Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

Islam Mengajarkan Toleransi

Sekalipun tidak dikenal adanya persaudaraan antara muslim dan nonmuslim, tetapi umat Islam diajarkan untuk bertoleransi kepada nonmuslim. Islam adalah agama yang menghargai masyarakat yang plural; memiliki keberagaman suku, agama, dan bahasa. Dalam pandangan Islam, keberagaman ini merupakan suatu keniscayaan.

Sejarah telah mencatat, Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasulullah saw. sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah menghargai dan melindungi keberagaman ini. Situasi ini terus berlangsung sepeninggal Rasulullah saw., yaitu pada masa kekhalifahan hingga bertahan selama lebih dari 13 abad.

Dalam naungan Khilafah, warga negara dengan beragam etnis, suku bangsa, bahasa, dan agama, bisa hidup bersama, saling bertoleransi sesuai dengan batasan-batasan yang ditetapkan oleh syariat Islam. Batasan tersebut di antaranya dalam perkara akidah, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan dengan pokok-pokok akidah Islam.

Toleransi berarti membiarkan serta tidak mengganggu ibadah dan kepercayaan agama lain. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Kafirun [109]: 1–6, “Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.”

Dalam hal muamalah terhadap nonmuslim, tidak ada larangan bagi muslim untuk berbuat baik, bertetangga, dan bergaul dengan mereka, selama mereka tidak mengajak kepada maksiat dan permusuhan.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Mumtahanah [60]: 8—9, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan informasi kebolehan untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, juga bahwa Allah SWT tidak melarang umat Islam berbuat baik kepada nonmuslim yang tidak memerangi mereka, seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah manusia berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil (Tafsir Al-Quran Al-Azhim [7]: 247).

Hanya saja, ada larangan berinteraksi dengan kaum kafir pada perkara yang dilarang syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan orang kafir, dan sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

Adanya ketentuan-ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan kaum kafir di mana pun mereka berada. Hanya saja, pelaksanaan dakwah dan jihad harus sejalan dengan syariat. Orang kafir yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu dan diperlakukan sebagaimana kaum muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Daulah Islam sama dengan kaum muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi. Adapun terhadap kafir harbi, hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan kafir yang memerangi Islam dan kaum muslim (kafir harbi fi’lan).

Khatimah

Dari sini jelas bahwa sesungguhnya moderasi beragama menyeru umat Islam untuk melakukan persaudaraan yang tidak disyariatkan dalam Islam, yaitu bersaudara dengan nonmuslim. Inilah yang ingin diraih dengan adanya peringatan Hari Persaudaraan Manusia Internasional, yakni mengarahkan umat Islam untuk menerima pluralisme dan melakukan toleransi yang bertentangan dengan Islam.

Kesalahan sikap umat Islam terhadap umat lain saat ini, terbawa oleh nilai-nilai yang dipropagandakan Barat, seperti fraternite (persaudaraan) dan egalite (persamaan). Padahal, ini adalah semboyan palsu yang hanya berlaku bagi mereka dan tidak bagi muslim, sebagaimana kita bisa lihat di Eropa dan Amerika, kaum muslim diperlakukan diskriminatif.

Dengan demikian kaum muslim harus dipahamkan bagaimana seharusnya menempatkan diri di hadapan umat beragama yang lain, juga sebatas apa kerja sama atau muamalah yang boleh dilakukan dengan mereka. Jangan pernah terjebak dengan propaganda manis bahwa “kita adalah bersaudara”. Wallahu ‘alam [SM/Ln]

———

Sumber https://muslimahnews.net

[i] https://khazanah.republika.co.id/berita/squ95r451/hari-persaudaraan-internasional-kemenag-terbitkan-edaran-khutbah-tema-inklusi-part2