Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Problem kekerasan terutama kekerasan seksual di pondok pesantren terus datang silih berganti. Hal ini menjadi sorotan media massa sehingga berdampak pada persepsi masyarakat terhadap masa depan para santri, muruah, dan nilai-nilai kehidupan di pondok pesantren.
Untuk menyikapi persoalan ini, maka Forum Silaturrahim Pengasuh dan Dzurriyah Muda Perempuan Pesantren Se-Indonesia menggelar Halaqah II Nawaning Nusantara bertajuk “Nawaning: Madrasah Ula untuk Santri Sadar Pendidikan Seksual dan Sehat Mental” pada Sabtu (11-01-2025).
Acara ini, selain dihadiri oleh 400 lebih Nawaning juga menjadi momen penting untuk merilis buku “Berani Bicara Pencegahan dan Mitigasi Kekerasan Seksual di Pesantren”. Di dalam Buku ini terdapat panduan praktis bagi pengelola pesantren untuk berkolaborasi dengan guru, santri, dan orang tua agar bisa mencegah dan menangani kekerasan seksual khususnya yang terjadi di pondok pesantren.
Dengan pendekatan berbasis nilai agama dan perlindungan anak, buku ini juga menawarkan langkah-langkah pencegahan, penanganan kasus, dan kebijakan mitigasi. Koordinator Nawaning Nasional Ning Hj. Dhomirotul Firdaus pun menyatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual hingga zero case, para Nawaning harus terus bergerak untuk mengajak umat agar meningkatkan iman, ilmu, dan adab. Sehingga dengan peningkatan ini, mudah-mudahan tidak ada lagi kekerasan seksual. (Jatim.nu.or.id, 8-01-2025).
Sementara menurut ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, Prof Dr. Hj. Amany Berhanuddin Lubis dalam halaqah tersebut menegaskan bahwa santri harus memiliki pengetahuan dan sadar akan pendidikan seksual dan kesehatan mental.
Benarkah kesadaran dan pengetahuan pendidikan seksual akan mampu menjadi solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual?
Problem Kekerasan Seksual
Perbincangan dan diskusi untuk menyelesaikan kekerasan seksual di pondok pesantren sudah sering dilakukan dan telah melibatkan banyak pihak. Baik dari kalangan pesantren sendiri, lembaga pemerintahan, maupun pihak-pihak yang terkait. Faktanya, hingga hari ini persoalan kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan terus saja terjadi. Bahkan jumlahnya pun cenderung meningkat tiap tahunnya.
Hal ini terjadi karena pada dasarnya solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar persoalan, sampai-sampai problem ini sangat sulit diberantas. Apalagi dari sebagian besar kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren, para pelakunya justru adalah pemimpin dan pengasuh pondok pesantren itu sendiri. Sehingga peluncuran buku “Berani Bicara Pencegahan dan Mitigasi Kekerasan Seksual di Pesantren”, terkesan seperti menabur garam di laut. Selain tidak akan mampu mencegah, dapat dipastikan juga tidak akan mampu memberikan solusi yang hakiki untuk menyelesaikan problem kekerasan seksual.
Sebab, jika kita lihat lebih seksama pada beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren maupun di lembaga-lembaga pendidikan saat ini, terutama yang telah diproses oleh kepolisian, sebagian besar pelakunya hanya dikenakan pasal persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual fisik terhadap anak. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dengan ancaman hukuman penjara hanya maksimal 15 tahun.
Tentunya hukuman ini masih terbilang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Padahal jika dibandingkan dengan derita fisik dan traumatik yang dialami oleh para korban, hukuman ini sungguh tidak manusiawi. Penderitaan yang berkepanjangan tanpa kompensasi tak jarang justru menciptakan para predator seksual baru yang terus berkelidan dengan problem kekerasan seksual di pondok pesantren.
Ironis memang. Demikianlah fakta hari ini ketika sistem kapitalisme-sekuler diterapkan. Sistem sekuler yang mengatur sistem kehidupan manusia saat ini, jangankan untuk memperjuangkan hak-hak korban, meminta keadilan saja sungguh sangat sulit.
Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Kekerasan Seksual di Pesantren
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dan melibatkan para pemimpin atau pengasuh pondok pesantren serta lembaga-lembaga pendidikan keagamaan hari ini terjadi disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Salah satu faktor internal yang turut berkontribusi dalam meningkatnya problem kekerasan seksual di pondok pesantren di antaranya adalah orang tua tidak mempersiapkan kemandirian santri. Baik kemandirian yang bersifat mental, ketrampilan, maupun ilmu. Dalam hal kemandirian mental dan ketrampilan, banyak anak atau santri yang tidak mampu menyelesaikan persoalan untuk memenuhi kebutuhan individunya ketika mukim di pondok pesantren.
Sehingga mereka masih bergantung dengan mencari orang-orang terdekat di sekitarnya sebagai pengganti orang tua mereka. Terkadang justru hal ini malah dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Dengan kedok perhatian, bantuan dan kasih sayang menjadi jalan terjadinya kekerasan seksual.
Sementara dari sisi yang berkaitan dengan ilmu, masih banyak orang tua yang tidak menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan pertama yang bertugas untuk menanamkan landasan dan pondasi akidah Islam yang kuat dan benar kepada anak-anak mereka. Padahal pendidikan akidah yang shahih ini sangat penting bagi anak-anak. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan dan kemampuan diri anak untuk berpikir kritis dan analitis yang akan berdampak langsung pada kepribadian anak dan kemandiriannya, baik secara spiritual maupun intelektualnya.
Adapun faktor eksternalnya adalah munculnya penyalahgunaan kekuasaan dan otoritas dari para pemimpin dan pengasuh pondok pesantren yang cenderung memaksa para santri untuk tunduk, taat, dan patuh. Tidak ada mekanisme check and balance. Akibatnya mereka menjadi sewenang-wenang dan otoriter.
Belum lagi, kondisi lingkungan pondok pesantren yang tertutup. Terkadang kondisi ini memaksa para santri untuk diam dengan ketundukan yang penuh. Ditambah minimnya pengawasan dari pemerintah dan lembaga independen untuk mengawasi transparansi pengelolaan lembaga pesantren. Hal ini berdampak pada sulitnya pelanggaran terdeteksi dengan cepat.
Akar Persoalan Kekerasan Seksual di Pesantren
Sebenarnya, dalam perlindungan dan pengawasan, pemerintah telah membentuk payung hukum terkait lembaga pendidikan pondok pesantren. Melalui kebijakan dalam beberapa aturan, misalnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang dapat digunakan untuk menindak pelaku kekerasan seksual di pesantren.
Kemudian Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014, perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002), yang melindungi anak dari kekerasan dan eksploitasi, termasuk di lingkungan pesantren. Akan tetapi dalam implementasi dan regulasinya pemerintah justru menyerahkan kembali pelaksanaan aturan tersebut kepada pihak pondok pesantren. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang justru ditutupi untuk menjaga reputasi pondok pesantren.
Bahkan tidak jarang, saat kekerasan seksual terkuak dan masuk ke dalam ranah hukum, justru penegakan hukum bagi pelaku malah lemah dan tidak memberikan efek jera. Sampai akhirnya para pelaku dan bahkan para korban malah terdorong untuk mengulangi kembali perbuatannya.
Hal ini terjadi karena hukum yang diterapkan oleh negara saat ini adalah aturan sekuler yang bersumber dari akal manusia. Aturan ini menihilkan peran aturan agama untuk mengatur kehidupan manusia. Negara hari ini telah menerapkan sistem demokrasi-kapitalisme liberal yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan, melegalkan, dan mengakomodasi kecenderungan seksual secara bebas.
Sistem ini telah menjadi lahan subur bagi kekerasan maupun pelecehan seksual. Gaya hidup yang cenderung bebas, pacaran, perzinaan, LGBT, pornoaksi maupun pornografi sangat mudah untuk diakses di media sosial dan diakomodir oleh negara.
Padahal perilaku gaya hidup ini, jelas-jelas telah mengikis nilai-nilai Islam pada setiap individu muslim tidak terkecuali para pemimpin dan pengasuh pondok pesantren yang telah terjangkiti virus liberalisasi seksual yang makin menggurita. Apalagi asas pendidikan sekuler yang diterapkan di pondok pesantren juga telah menyumbangkan munculnya karakteristik masyarakat liberal. Alhasil walaupun pemerintah telah berupaya untuk menegakkan hukum tapi kejahatan seksual justru makin marak.
Kekerasan Seksual di Pesantren Membutuhkan Peran Negara
Maraknya kasus kekerasan seksual di pondok pesantren saat ini membutuhkan solusi yang tuntas dan sempurna. Dengan cara penguatan regulasi terkait perlindungan santri agar mereka terhindar dari kekerasan dan eksploitasi. Pemerintah juga perlu memastikan pengawasan yang ketat dan penerapan hukum yang tegas agar pesantren benar-benar menjadi lingkungan pendidikan yang aman dan berkualitas.
Oleh karena itu, seharusnya pemerintah atau negara harus mampu menjadi pihak yang paling berwenang untuk menegakkan sistem hukum dan peradilan yang bersifat tegas dan tuntas. Tegas yaitu mampu memberi sanksi keras sesuai hukum syarak bagi pelaku kekerasan seksual tanpa tebang pilih dengan hukum rajam atau jilid.
Sanksi hukuman bagi pelaku, telah dijelaskan dan diperintahkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.”
Sementara yang dimaksud dengan tuntas adalah menyelesaikan persoalan ini sampai ke akarnya. Negara harus berperan dengan segera mengubah pola kehidupan sekuler di masyarakat yang telah melahirkan berbagai kebebasan (termasuk kebebasan berperilaku) dengan pola kehidupan Islam yang dibangun di atas dasar akidah Islam.
Dengan cara menutup semua pintu yang memicu dan melahirkan berbagai sarana yang mendorong terjadinya tindak kekerasan seksual. Tentu saja peran dan fungsi negara seperti ini tidak mungkin lahir dari negara sekuler yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis-liberal.
Sebab, secara fakta negara sekuler hanya mampu membuat regulasi pengasuhan ramah anak di pesantren melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 1262 Tahun 2024. Namun, aturan tersebut tidak mampu menyentuh akar persoalan kekerasan seksual itu sendiri.
Terbukti dengan terus bertambahnya kasus kekerasan seksual di pesantren, menjadi bukti kuat bahwa negara sekuler tidak mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, umat Islam hari ini butuh negara yang akan menerapkan sistem Islam secara kaffah dan negara tersebut adalah negara Khilafah. Hanya Khilafah Islamiyyah yang akan mampu melindungi kehormatan umat Islam termasuk para santri yang sedang menuntut Ilmu di pesantren.
Wallahu a’lam alam bishshawab. [SM/Ah]