Penceramah Dilarang Menyampaikan Islam Politik?

Oleh: Iffah Mahmudah

Suaramubalighah.com, Mubalighah Bicara — Pada saat umat Islam penuh harap dan berbahagia mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan suci Ramadan yang penuh berkah, ada hal yang membuat suasana bahagia ini menjadi keprihatinan yang mendalam. Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Tenggara mengimbau para penceramah yang akan mengisi siaran keislaman selama bulan Ramadan untuk tidak membahas politik, serta mendorong toleransi antarumat beragama. 

Ada empat poin utama yang harus menjadi perhatian bagi para penceramah. Pertama, mereka diminta untuk tidak menyampaikan materi ceramah yang bermuatan politik agar umat dapat beribadah dengan nyaman dan khusyuk.Kedua, penceramah diharapkan turut berperan dalam memperkuat toleransi dan kerukunan antarumat beragama.  Ketiga, materi ceramah harus bersifat mendidik, objektif, serta menghindari konten yang dapat memecah belah masyarakat. Keempat, penceramah diharapkan dapat memberikan motivasi dan inspirasi untuk meningkatkan keimanan serta ketakwaan. 

Jika para penceramah mengikuti dan patuh terhadap imbauan ini, suasana Ramadan diharapkan akan berlangsung aman, damai, dan penuh berkah agar ketenangan dan harmonisasi masyarakat selama bulan suci Ramadan tetap terjaga. Imbauan ini serupa dengan Surat Edaran Kemenag No 1/2024 tentang 10 Panduan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Dalam rangka menjaga kekhusyukan beribadah dan menjunjung tinggi nilai toleransi perlu ada panduan dalam pelaksanaan ibadah Ramadan dan Idul Fitri. Penceramah dilarang memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan intoleransi, diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.

Bulan Ramadan Momentum Meraih Takwa             

Sebagaimana kita pahami bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang Allah memerintahkan berpuasa agar kita bertakwa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 183,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menjelaskan bahwa puasa disyariatkan bagi hambanya untuk mencapai derajat takwa. Imam Ibnu Jauzi menyebutkan bahwa puasa merupakan wasilah yang paling cepat untuk menjadi orang yang bertakwa. Hal ini karena orang yang berpuasa dilarang melakukan kemaksiatan agar tidak merusak pahala puasa.

Qatadah mengatakan makna takwa ialah taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam mengerjakan apa yang diperintahkan oleh keduanya, dan takut kepada Allah atas dosa-dosa yang telah lalu. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nur: 52,

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَخْشَ اللّٰهَ وَيَتَّقْهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ

“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Ibnu Abbas mendefinisikan takwa sebagai “takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya.” Sedangkan Imam Al Jurjani mendefinisikan takwa adalah menjaga diri dari siksa Allah dan mentaati-Nya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya.

Karena itu, barang siapa yang tidak menjaga dirinya dari perbuatan dosa bukanlah orang yang bertakwa. Untuk mencapai derajat takwa bagi seorang hamba dibutuhkan pemahaman dan ilmu. Sehingga masyarakat bisa mengetahui bekal apa yang dibutuhkan untuk menjadi hamba yang bertakwa, serta mengetahui perbuatan yang diperintahkan dan mana yang dilarang sehingga berusaha untuk menjauhinya.

Peran Penting Penceramah 

Di sinilah peran penting para ustaz, ustazah, dan para penceramah mubaligh dan mubalighah bisa kita rasakan. Para penceramah adalah garda terdepan dalam perkara amar ma’ruf nahi munkar dan syiar Islam, serta menanamkan nilai- nilai kebaikan bagi umat.

Berdakwah adalah tugas yang diemban para penceramah. Dakwah pun adalah salah satu dari kewajiban umat Islam.  Karena itu, para penceramah merupakan motor penggerak untuk menyebarkan kebaikan agama Islam serta mengajarkan dan membimbing masyarakat agar senantiasa berada dalam kebaikan. Para penceramah diibaratkan cahaya penerang kegelapan bagi masyarakat dan pembawa ilmu.

Oleh karena itu, sangatlah wajar jika para penceramah punya tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran dan menyampaikan Islam secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan. Termasuk menyampaikan masalah politik yang merupakan bagian dari ajaran Islam. Makna politik yang dimaksud adalah pengaturan urusan masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan syariat Islam, sehingga syariat Islam juga telah mengaturnya.

Lantas mengapa penceramah dan materi ceramah harus dibatasi, tidak boleh menyampaikan masalah politik? Padahal Allah SWT yang memerintahkan kita untuk berislam secara kaffah. Materi Islam politik adalah bagian dari Islam, jika menyampaikan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya serta dari sumber syariat Islam yang mulia yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, tentu akan menimbulkan ketenangan atau bahkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Politik bagi umat Islam merupakan bagian dari aktivitas dakwah yang diajarkan oleh syariat untuk menyampaikan kebenaran (al haq) yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan pemahaman Islam yang utuh dan sempurna diharapkan mampu memberikan pengaruh yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Apalagi jika melihat fakta dan kondisi kaum muslimin saat ini, banyak kita jumpai berbagai macam pelanggaran terhadap syariat yang menyebabkan berbagai macam kerusakan mulai dari pergaulan bebas, perzinaan, tindak kriminal, korupsi, ekonomi ribawi, dan kemaksiatan lain akibat diterapkannya sistem sekuler dan demokrasi kapitalisme di negeri ini. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum: 41,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Bagian dari Proyek Moderasi Beragama

Jika kita kaji dan teliti  lebih dalam, sebenarnya imbauan agar penceramah tidak menyampaikan masalah politik ini adalah bagian dari design dan strategi proyek moderasi beragama yang selama ini sudah diaruskan dengan berbagai bentuk dan programnya. Proyek moderasi ini bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum muslimin menjadi muslim yang moderat.

Moderasi beragama adalah istilah baru, tidak memiliki akar teologis dan historis dalam Islam. Namun proyek ini terus dijajakan di tengah umat Islam. Umat Islam harus waspada dan hati-hati terhadap ide ini. Moderasi beragama telah menyebabkan hukum Islam diambil sebagian dan diabaikan sebagiannya sesuai dengan pandangan sekularisme.

Moderasi beragama juga menjadi sarana untuk mendangkalkan akidah umat dan kekuatan kaum muslimin, karena kaum muslimin hanya mengambil dan menerapkan Islam sebatas aktivitas ibadah ritual dan aspek ruhiahnya. Sementara Islam politik tidak boleh disampaikan agar umat tidak memahami dan menerapkan dalam kehidupan.

Padahal syariat Islam hadir untuk mengatur dan menyelesaikan segala persoalan kehidupan kita di dunia termasuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Membatasi para penceramah dengan meteri tertentu adalah bentuk pembodohan terhadap umat Islam dan tidak seharusnya dilakukan.

Para penceramah itu pada umumnya adalah para ulama.  Al-‘ulama waratsatul anbiya’ yang berarti ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.

Seharusnya tidak perlu ada pembatasan dan larangan penceramah menyampaikan masalah politik Islam kepada masyarakat, karena ilmu harus disampaikan secara utuh. Tak terkecuali, pun para penceramah harus menyampaikan Islam secara kaffah termasuk Islam politik.

Politik dalam Islam bermakna memelihara, mengurus, dan memperhatikan urusan umat sesuai syariat Islam, baik dalam negeri maupun luar negeri. Politik akan dilaksanakan oleh negara dan juga umat. Negara yang secara langsung  melakukan dan melaksanakan pengaturan segala urusan umat  dan melayani masyarakat. Baik dalam negeri misalnya memenuhi kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan segala hal yang berkaitan dengan hajat hidup umat. Maupun urusan luar negeri, dengan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia serta mengatur hubungan luar negeri dengan negara lain. Adapun aktivitas politik yang dilakukan oleh umat khususnya partai politik adalah mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukam).

Inilah gambaran aktivitas politik dalam Islam. Sangat jauh dan bertentangan dengan makna politik dalam sistem kapitalis sekuler yang hanya berfokus pada cara meraih kekuasaan dan mempertahankannya, sehingga menghalalkan segala cara. Asas Islam moderat adalah sekularisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Hal tersebut diwujudkan dengan proyek moderasi untuk membentuk muslim moderat yang terbuka dengan pemikiran Barat, memperjuangkan kesetaraan gender, pluralism, HAM, dan menjauhkan umat Islam dari Islam politik. Karena itu, para penceramah diimbau atau lebih tepatnya dilarang menyampaikan Islam politik.

Penceramah Istiqamah Menyampaikan Islam secara Kaffah

Sudah seharusnya para penceramah menyadari kedudukan  dan kemuliaan yang diberikan oleh  Allah dan Rasul-Nya. Sehingga para penceramah akan selalu berusaha mengedepankan amanah membina dan membimbing masyarakat ke jalan yang benar. Menyelamatkan agar selamat dunia dan akhirat. Ini adalah amanah yang nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Hendaklah para penceramah, mubaligh, dan mubalighah takut kepada Allah jika tidak menjaga amanah atau menyembunyikan ilmu yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Fathir: 28,

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”

Semua keutamaan dan sifat para ulama terkumpul dalam diri seorang penceramah sebagai orang yang dikenal hanif dan benar-benar mengamalkan ilmunya karena Allah. Ulama lantang menyuarakan kebenaran dan selalu terdepan dalam perkara amar ma’ruf nahi munkar, siap memberi nasihat kepada umat maupun penguasa dan pemimpin  kaum muslimin (muhasabah lil hukam). 

Penceramah yang notabene adalah para ulama pantang menyembunyikan kebenaran Islam di hadapan siapa pun, karena jiwanya senantiasa diliputi oleh keikhlasan dan tidak mudah goyah atau tergadai oleh kepentingan dunia termasuk harta dan jabatan. Para penceramah harus senantiasa bersemangat dalam dakwah dan tidak takut ancaman atau celaan orang yang mencela dan tidak akan pernah berani untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Bukan malah terjerumus dan ikut arus menyesatkan umat kejalan yang dimurkai Allah SWT karena takut kehilangan kedudukan, jabatan, harta, dan perhiasan dunia lainnya. 

Umat saat ini benar-benar merindukan seorang penceramah yang mampu memberikan solusi atas persoalan kehidupan .  Karena itu dibutuhkan penceramah yang mampu mencerdaskan umat, tidak sekedar menyampaikan Islam sebagai agama ritual, menyampaikan masalah ubudiyah/ ibadah semata, atau  menyampaikan dari aspek ruhiyahnya saja. Akan tetapi dibutuhkan penceramah yang mampu menyampaikan Islam secara kaffah termasuk politik dalam Islam agar umat bisa memahami secara benar bagaimana Islam mengatur segala urusan kehidupan di dunia.

Bulan Ramadan menjadi momen yang sangat tepat untuk menyampaikan dakwah, kebenaran dan kesempurnaan ajaran Islam kepada masyarakat. Saat yang tepat untuk mencerdaskan umat dengan Islam secara kaffah, karena semangat umat Islam pada saat bulan Ramadan sedang meningkat. Sehingga menjadi lebih mudah untuk dibimbing meraih ketakwaan, baik secara individu, masyarakat, dan negara. 

Jika terwujud ketakwaan kolektif ini, maka akan banyak kebaikan dan keberkahan yang kita rasakan. Termasuk merasakan kondisi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan bisa kita wujudkan sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-A’raf 96,

 وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”

Allahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]