Perempuan Kepala Keluarga, Korban Kapitalisme

Oleh: Bunda Nurul Husna

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga Pembahasan tentang perempuan memang tak akan ada habisnya, termasuk isu pemberdayaan perempuan. Sebagaimana agenda seminar yang digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Probolinggo pada Oktober 2024 lalu. Seminar yang bertema Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan kepala keluarga (PEKKA) dalam mengelola keuangan serta menjaga kesejahteraan emosional dan mental mereka. Dan diharapkan PEKKA akan memiliki sumber daya dan dukungan yang mereka butuhkan untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan.

Sementara Pj. Ketua TP PKK Kabupaten Probolinggo Hj. Rita Erik Ugas Irwanto menyatakan PKK berkomitmen untuk memberdayakan perempuan agar berpartisipasi aktif dalam pembangunan dengan meningkatkan  kesetaraan gender, pengelolaan krisis, hingga pendidikan dan pengembangan kemandirian. Harapannya, perempuan PEKKA dapat memenuhi kebutuhan ekonomi, membangun stabilitas emosional, dan menjaga hubungan sosial mereka dengan baik.

Dalam seminar tersebut juga dibahas pentingnya manajemen pengelolaan keuangan keluarga yang baik, terutama bagi PEKKA yang harus mampu mengatur keuangan keluarga secara mandiri. Ditekankan juga pentingnya kesehatan mental dalam menjalani peran ganda PEKKA agar dapat tetap produktif dan kuat dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Seputar PEKKA

Pemberdayaan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) sendiri digagas sejak akhir tahun 2000 sebagai bagian inisiatif Komnas Perempuan yang dikenal dengan “Proyek Janda”, yang bertujuan mendokumentasikan kehidupan para janda di daerah yang dilanda konflik. Hal tersebut dilakukan seiring dengan panduan Bank Dunia melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dalam merespon permintaan janda korban konflik untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan mengatasi traumatis mereka.

Gagasan tentang “Proyek Janda” tersebut lalu ditindaklanjuti dengan pembentukan Sekretariat Nasional (Seknas) yang mentransformasikan proyek tersebut menjadi program pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) agar lebih provokatif dan ideologis. PEKKA pun mulai berkegiatan pada 2001. Pada 2008 kemudian terbentuk Serikat PEKKA, dan pada 2009 organisasi PEKKA pun meluas hingga skala nasional yang disebut Federasi Serikat Pekka Indonesia (FSPI).

Hingga kini, perempuan kepala keluarga masih terus menjadi pembahasan. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mendefinisikan Kepala Keluarga sebagai pencari nafkah dalam keluarga atau seseorang yang dianggap sebagai kepala keluarga. Sementara Program Pemberdayaan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) mendeskripsikan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) sebagai perempuan yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, penjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarganya. Termasuk dalam kategori ini adalah perempuan yang suaminya meninggal atau bercerai, perempuan lajang yang menafkahi diri sendiri dan/ atau keluarganya, perempuan yang ditelantarkan oleh suaminya, yang suaminya sakit menahun, perempuan bersuami yang menjadi pencari nafkah, dan perempuan bersuami namun suaminya merantau mencari nafkah di luar daerah.

Dan faktanya, di negeri ini banyak keluarga yang dikepalai oleh perempuan. Sebagaimana data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2020, bahwa secara keseluruhan ada 11,44 juta keluarga Indonesia yang dikepalai oleh perempuan. Itu bermakna 1 dari 4 rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Dan mirisnya, mayoritas dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tersebut hidup di bawah garis kemiskinan.     

Korban Kapitalisme

Tingginya jumlah perempuan kepala keluarga di negeri ini tidak terlepas dari banyak faktor yang memengaruhinya. Di antaranya seperti yang dinyatakan oleh Pj Ketua TP PKK Kabupaten Probolinggo, Rita Erik Ugas Irwanto, bahwa perempuan kepala keluarga menghadapi banyak tantangan dalam menjalani peran gandanya sebagai ibu dan kepala keluarga. Dan para perempuan itu sering kali terpaksa menjadi kepala keluarga karena perceraian atau kematian suaminya. Pernikahan dini juga diklaim turut berkontribusi pada tingginya jumlah perempuan kepala keluarga, karena di sebagian masyarakat masih ada anggapan pernikahan dini sebagai solusi bagi perempuan agar tidak disebut perawan tua. Namun pernikahan itu tak bertahan lama, sehingga berakhir dengan perceraian, dan berimplikasi pada bertambahnya angka perempuan kepala keluarga.

Namun sesungguhnya, persoalan perempuan kepala keluarga tersebut berpulang pada kehidupan negeri ini yang tidak memiliki konsep jelas tentang jaminan nafkah dan kehormatan perempuan. Ini wajar, karena kini masyarakat tengah berjalan dengan corak kehidupan kapitalisme sekuler liberal yang meminggirkan peran agama dari kehidupan masyarakat dan negara. Meski mayoritas penduduknya muslim, tapi berbagai interaksi yang berlangsung di negeri ini sangat kental dengan warna sekuler yang serba bebas (liberal), termasuk dalam memosisikan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.

Dalam pandangan kapitalisme sekuler, perempuan dipandang sama dengan laki-laki dalam posisi mereka sebagai pemutar roda ekonomi negara. Sehingga perempuan pun akan disebut berdaya jika dapat menghasilkan uang. Sebaliknya jika perempuan hanya beraktivitas di rumah (domestik) dan tidak menghasilkan uang atau materi apa pun, maka itu dianggap belum berdaya bahkan dapat berpotensi membebani ekonomi keluarga. Walhasil, perempuan terus didorong untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Agar menghasilkan uang, berdaya optimal dan tak menjadi beban orang lain.

Kehidupan sekuler liberal yang mewarnai hampir semua sisi kehidupan, menjadikan keluarga-keluarga muslim pun kian jauh dari tuntunan agama. Banyak kehidupan rumah tangga yang rapuh bahkan berakhir dengan perceraian, karena dijalankan tidak dengan landasan agama. Suami-istri tidak paham hak dan kewajiban masing-masing, komunikasi tidak berjalan hangat bahkan hidup dengan toxic relationship, maraknya perselingkuhan, kekerasan, jauh dari ketenangan, bahkan abai terhadap tugas strategis mereka sebagai orang tua. Semuanya akibat gaya hidup yang sekuler liberal yang mencampakkan aturan agama.

Parahnya, akidah sekularisme ini pun melahirkan masyarakat individualistis, cuek, kian lemah fungsi kontrol sosialnya, dan abai pada kewajiban amar makruf nahi mungkar. Akibatnya berbagai kemaksiatan dan interaksi yang tidak sesuai syariat makin meluas dan berkembang, termasuk berbagai kezaliman yang mencederai kehormatan perempuan, mengancam ketahanan keluarga, menodai kebersihan masyarakat, dan merenggut harga diri bangsa.

Di sisi lain, kehidupan bernegaranya pun masih dikelola oleh para pemimpin yang tidak amanah, tidak takut pada Rabb-nya, dan mencampakkan syariat sebagai panduan sahih dalam bernegara. Sementara sistem ekonomi kapitalisme liberal yang dijalankan di negeri ini telah menghadirkan kemiskinan sistemik di masyarakat. Perampokan SDA oleh pihak swasta asing dan aseng, masif berjalan atas nama investasi yang dilegalkan oleh undang-undang hasil ketok palu dewan legislatif ala demokrasi.

Walhasil, rakyat yang jadi korban. Ketika SDA milik rakyat diserahkan pengelolaannya pada pihak swasta apalagi asing, maka wajar jika hasilnya tidak kembali pada rakyat. Bagi swasta yang menjadi mindset mereka adalah bisnis demi cuan. Maka yang terjalin antara pihak swasta pengelola SDA dengan rakyat adalah relasi jual beli dan perdagangan, bukan untuk me-riayah (mengatur urusan rakyat) sebagaimana yang diwajibkan Islam pada negara.

Ini benar-benar khas kapitalisme sekuler. Semua hal dijadikan komoditas bisnis untuk meraih keuntungan materi semata. Dan untuk mengakses pelayanan kebutuhan pokok publik (seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan), serta upaya memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari pun, rakyat harus mendapatkannya dengan harga mahal. Karena semuanya telah dibisniskan. Maka, korporat untung, rakyat yang buntung. Sementara negara hanya bertindak sebagai fasilitator, tapi absen dari tugas utamanya sebagai pengatur urusan rakyat (raa’in).

Ketidakmandirian negara dalam mengelola SDA melahirkan berbagai kesulitan lain bagi rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Negara yang terjebak dalam kerapuhan sistem ekonomi kapitalisme, kian terseret pada jebakan hutang yang tak berkesudahan. Hal ini wajar, karena ongkos yang dibutuhkan dalam menjalankan pemerintahan bertumpu pada hutang luar negeri dan pajak. Akhirnya, pungutan pajak kian beragam dan terus naik besarannya. Sungguh, kapitalisme sekuler telah melahirkan negara pemalak bagi rakyatnya sendiri. Keluarga muslim pun kena imbasnya. Banyak rumah tangga yang rapuh karena lemah imannya, tak mampu bertahan menghadapi rentetan nestapa yang diciptakan oleh sistem kapitalisme sekuler tersebut. Bahkan banyak yang berakhir dengan perceraian. Dan angka perempuan kepala keluarga pun kian meningkat.

Jadi, banyaknya jumlah perempuan kepala keluarga bukan semata-mata karena faktor pernikahan dini yang salah kaprah dan berakhir perceraian. Itu hanya efek cabang. Akar masalah yang sebenarnya adalah penerapan sistem kehidupan kapitalisme sekuler liberal yang rusak dan merusak, yang telah nyata menimbulkan banyak kezaliman dan kesengsaraan hidup mayoritas rakyat, baik laki-laki maupun perempuan.

Jadi jika negeri ini ingin menyudahi problem perempuan kepala keluarga, tidak cukup hanya dengan memberikan pelatihan pemberdayaan perempuan kepala keluarga dalam mengelola keuangan, kesehatan mental dan emosi mereka. Tapi harus menyelesaikan persoalan dari akar masalahnya. Yakni menghentikan eksistensi sistem kapitalisme sekuler, yang sama sekali tidak mampu melindungi dan menyejahterakan perempuan, bahkan terus mengeksploitasi perempuan secara liberal untuk keuntungan kapitalis pemodal.

Islam Melindungi dan Memuliakan Perempuan

Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, sudah sepantasnya negeri ini segera mencampakkan kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak. Lalu kembali pada Islam kaffah. Sebagai sebuah ideologi yang sahih dan sempurna dari Allah SWT, Islam memiliki konsep sempurna tentang pemenuhan nafkah dan hak-hak perempuan lainnya, sekaligus melindungi dan memuliakannya.

Dalam pandangan Islam, perempuan adalah sebuah kehormatan yang wajib dijaga dan dimuliakan. Perempuan memiliki peran strategis dalam melahirkan dan mendidik generasi suatu bangsa untuk menjadi calon pemimpin di masa depan. Sementara laki-laki memiliki peran mulia sebagai qawwam dan pencari nafkah bagi keluarganya.

Terkait hal ini, Islam telah menetapkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga secara adil, harmonis dan saling melengkapi sebagai sahabat, dan tidak bersaing. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara makruf..” (QS. Al-Baqarah/2: 233).

Islam pun telah mensyariatkan bahwa hukum asal perempuan adalah al-umm wa rabb al-bait, yaitu sebagai ibu dan manajer rumah tangga suaminya. Islam memosisikan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Ini semua dapat dipahami dari serangkaian ketetapan hukum syarak yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur bab an-Nizham al-Ijtima’iy, yaitu hukum-hukum terkait anjuran menikah dan haramnya pacaran yang dapat merendahkan kehormatan perempuan, larangan perempuan keluar rumah suaminya kecuali dengan ijinnya, larangan bersafar kecuali bersama mahramnya, kewajiban berjilbab dan menutup aurat, larangan khalwat, ikhtilath, dan tabarruj, wajibnya suami berlaku makruf pada istri, perintah suami membantu istri dan memuliakannya, perintah suami menafkahi istri dan anak-anaknya serta memenuhi semua kebutuhannya, dan sebagainya.

Terkait nafkah, Islam pun telah menetapkan bahwa perempuan tidak pernah diwajibkan untuk menafkahi dirinya sendiri apalagi orang lain. Di sepanjang hidupnya, nafkah perempuan ditanggung oleh ayahnya atau mahramnya. Anak perempuan berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya, atau kakeknya, atau pamannya, atau saudara laki-lakinya hingga ia menikah. Pada saat perempuan itu menikah, maka nafkahnya beralih menjadi tanggungan suaminya. Jika ia bercerai atau suaminya wafat, maka kewajiban nafkah sang perempuan tersebut kembali pada ayah atau mahramnya lagi sesuai urutan yang ditetapkan oleh hukum syarak. Jika ayah atau mahramnya tidak ada, atau tidak mampu memberinya nafkah karena suatu udzur syar’iy, maka kewajiban nafkah perempuan tersebut dibebankan pada kerabatnya, demikian seterusnya. Dan jika semua kerabatnya pun tidak ada atau tidak mampu, maka negara yang akan menanggung nafkah perempuan tersebut yang diambilkan dari harta baitul mal.

Dari sini tampak urgensitas support system oleh negara. Negara wajib memastikan mekanisme pemenuhan nafkah bagi setiap rakyatnya yang perempuan tersebut berjalan dengan baik. Negara wajib memastikan setiap ayah, suami, atau mahram dapat menjalankan kewajibannya memberi nafkah bagi anak, istri, dan saudara perempuan mereka secara makruf. Pemahaman tentang hal ini harus diberikan pada seluruh rakyatnya melalui mekanisme penyelenggaraan sistem pendidikan, include dalam kurikulum pendidikan, serta taujih (arahan dan sosialisasi masif) yang dijalankan oleh negara melalui berbagai kesempatan dan sarana media massa yang ada.

Negara juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi setiap laki-laki dewasa yang mampu, hingga mereka dapat menjalankan kewajibannya memberi nafkah bagi istri, anak-anak dan keluarga yang menjadi tanggungannya secara makruf. Terkait hal ini, negara pasti mampu asalkan negara punya political will.

Syarak telah menetapkan bahwa seluruh SDA yang termasuk milkiyah ammah (kepemilikan umum) seperti tambang, hutan dan laut, wajib dikelola oleh negara. Tidak boleh dikuasakan pada pihak swasta apalagi asing dan aseng seperti yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalistik sekuler saat ini. Dengan memegang kendali langsung dalam pengelolaan SDA, negara dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyatnya, demi mendukung keberlangsungan pengelolaan harta milik umum itu. Negara juga wajib membekali para laki-laki tersebut dengan skill yang memadai untuk menyempurnakan ikhtiar mereka mencari nafkah. Jika pun rakyat kesulitan dalam permodalan, maka negara wajib membantu permodalan tersebut berupa pinjaman lunak tanpa riba atau melalui mekanisme i’tho’ ad-daulah (pemberian negara).

Demikianlah gambaran mekanisme Islam dalam memenuhi nafkah para perempuan, ibu, istri, dan anak-anak. Dengan ini semua, Islam sungguh telah memberikan jaminan bahwa selamanya perempuan tidak akan pernah diwajibkan mencari nafkah sendiri, apalagi untuk menafkahi orang lain. Karena perempuan adalah kehormatan yang wajib dijaga. Meski hukum asalnya perempuan boleh bekerja, berbisnis, atau berkarya mengamalkan ilmunya, namun perempuan dalam Islam tidak diposisikan sebagai mesin uang atau pencari nafkah. Perempuan bukanlah kepala keluarga, dan tidak akan pernah diwajibkan menjadi kepala keluarga. Perempuan berhak dinafkahi, bukan wajib menafkahi, bahkan tidak akan pernah diwajibkan untuk menafkahi dirinya apalagi orang lain.

Dalam Islam, perempuan selalu dilindungi, dimuliakan, dan dijaga kehormatannya. Negara akan menjamin para perempuan dapat melakukan kewajiban dan peran strategisnya sebagai ibu dan pendidik generasi calon pemimpin pembangun peradaban, tanpa harus direpotkan dengan urusan nafkah dan kebutuhan asasinya. Hanya saja seluruh mekanisme hebat tersebut membutuhkan support system dari negara yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai raa’in dan junnah dengan penuh amanah dan rasa takwa. Negara yang dimaksud hanyalah Khilafah, bukan yang lain.

Oleh karenanya, para mubalighah hendaknya terus mendidik umat dengan Islam kaffah, agar umat makin paham berbagai mekanisme Islam dalam mengatur kehidupan individu rakyat, keluarga, masyarakat dan negara. Mubalighah juga wajib segera mengambil posisi dalam barisan perjuangan Islam bersama jamaah dakwah Islam ideologis, yang secara lantang terus menyuarakan Islam kaffah hingga terwujudnya kembali kehidupan masyarakat Islam dalam naungan Khilafah. [SM/Ah]