Proyek Deradikalisasi Meredam Peran Politik Ulama

Oleh Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini – Radikalisme masih menjadi isu yang terus digulirkan. Nampak pada pengawasan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terhadap kegiatan yang diklaim radikalisme di masyarakat. Polri menyatakan pengawasan ini terus dilakukan meski kegiatan tersebut terlihat atau tidak terlihat di muka publik.

“Kepolisian dengan lembaga terkait lainnya mewaspadai adanya tindakan-tindakan radikalisme yang ada di masyarakat,” ujar Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho saat ditemui di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Rabu (12-2-2025). (nasional.kompas.com, 12-02-2025)

Polri pun menggandeng sejumlah pihak untuk mencegah berkembangnya paham radikal di masyarakat. Hal ini karena menjaga moderasi beragama merupakan tugas semua warga Indonesia. Beberapa organisasi yang telah digandeng Polri dalam hal ini adalah PBNU dan Salafi.

Dorongan PBNU dalam kerjasama berantas radikalisme karena menganggap bagian dari aplikasi hubbul wathan minal iman. Selain itu, Polri juga menjalin kerjasama dengan Salafi dalam menjaga negeri dari tindakan yang mengganggu stabilitas negara dengan dalih hadis “man mata laisa fi unuqihi baitun fa mata mitatan jahiliyatan”. Salafi memahami hadis ini bahwa siapa saja yang tidak mengakui pemerintahan hari ini akan mati dalam keadaan jahiliyah. Karena itu Salafi berkomitmen menjadi NKRI.

Selain Polri, Badan Nasional Penanggulagan Terorisme (BNPT) juga menjalin kerjasama beberapa lembaga di antaranya dengan MUI yang berkomitmen meningkatkan sinergi dan kolaborasi dalam melindungi perempuan dan anak dari pengaruh paham radikal terorisme khususnya di ruang cyber.

Upaya Membungkam Dakwah

Isu Radikalisme sesungguhnya isu yang terus digulirkan untuk membangun persepsi negatif umat terhadap kelompok umat Islam yang kritis terhadap rezim dan menyerukan penerapan Islam kaffah dan tegaknya Khilafah. Karena radikalisme selalu ditujukan kepada kelompok islam, tidak kepada kelompok yang jelas-jelas misalnya melakukan terorisme, seperti kelompok bersenjata.

Penguasa pun menjadikan radikalisme sebagai threat, ancaman, ketakutan, lalu menjual obat dari radikalisme itu, seolah jadi pahlawan, padahal sangat sarat kepentingan. Yang paling jelas adalah kepentingan untuk tetap mengokohkan eksistensi sistem kapitalisme, karena memberi karpet merah untuk segelintir elit mendapatkan kekuasaan dan harta.

Agar isu ini diterima umat dan lebih massif penyebarannya maka rezim menggandeng ulama dan ormas Islam lainnya yang sepaham. Bersama-sama mengkampanyekan bahaya isu radikalisme dengan dalih membangun kecintaan terhadap negara sekuler, meski dengan memelintir makna hadis.

Misalnya ungkapan “hubbul wathan minal iman“. Ungkapan ini sering dijadikan dalil untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil-dalil agama agar lebih mantap diyakini umat Islam. Banyak yang mengira ungkapan tersebut adalah hadis. Padahal, itu adalah hadis palsu (maudhu’) alias bukanlah hadis Nabi saw.

Dengan ungkapan ini, sekelompok ormas menuduh kelompok lain yang menyuarakan syariat kaffah sebagai kelompok yang tidak cinta tanah air, bahkan sering membubarkan kajian-kajian sepihak. Padahal dakwah Islam menyerukan kepada Islam kaffah justru adalah bukti cinta tanah air, karena menginginkan kebaikan untuk negeri ini ketika diatur oleh syariat Islam.

Atas nama deradikalisasi, penceramah pun diimbau saat Ramadan tidak membahas topik politik dalam ceramah mereka agar ibadah puasa Ramadhan dapat berlangsung dengan nyaman dan khusyuk. (Sultra.Kemenag.go.id)

Politik yang mana yang dimaksud? Mengungkap kebijakan zalim penguasa? Padahal politik sendiri adalah bagian dari syariat Islam. Mengoreksi penguasa pun bagian dari dakwah yang seharusnya dilakukan para penceramah, ulama, mubaligh/mubalighah.

Maka, proyek deradikalisasi yang menggandeng sebagian ormas Islam serta memanfaatkan sebagian para ulama sangatlah berbahaya bagi dakwah dan kebaikan negeri ini. Sangat disayangkan ulama yang seharusnya lantang menyerukan penerapan Islam kaffah dan tegaknya sistem pemerintahan Islam Khilafah islamiyah justru bergandengan tangan dengan rezim negara sekular dalam proyek deradikalisasi menghadang dakwah untuk tegaknya Islam kaffah dalam naungan Khilafah.

Peran Politik Ulama

Selain untuk membungkam dakwah islam kaffah, hal ini pun akan mengeliminasi peran ulama. Padahal, Ulama (da’i atau mubaligh/ mubalighah) memiliki kedudukan istimewa diantara para hamba Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sungguh yang takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama(TQS Fathir [35]: 28).

Yang membuat mereka istimewa adalah rasa takut mereka kepada Allah SWT. Rasa takut kepada Allah SWT itulah yang menjadi sifat yang paling menonjol di kalangan para ulama. Bukan sekadar keluasan dan kedalaman ilmu mereka.

Ketakwaan pada diri ulama seharusnya menjadikan ulama berada di garda terdepan dalam membela agama Allah, menjaga kemurnian Islam dan ajaran-Nya, mendidik masyarakat dengan syariah-Nya, meluruskan yang menyimpang dari petunjuk-Nya dan berteriak lantang terhadap berbagai kezaliman. Tanpa ada rasa takut sedikit pun akan risikonya.

Ulama pun disebut sebagai pewaris para nabi, sebagaimana sabda Nabi  Muhammad saw.:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ

Sungguh para ulama itu adalah pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Ulama pewaris Nabi adalah orang-orang yang memiliki pengabdian tinggi dan hanya mengharap rida Allah SWT saja, tidak tergoda oleh ambisi dunia serta tegas terhadap setiap kezaliman, terutama kezaliman penguasa.

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka (TQS Hud [11]: 113).

Kata lâ tarkanû, menurut Abu ‘Aliyah,  berarti: janganlah kalian meridhai perbuatan-perbuatan (zalim) mereka; sedangkan menurut Ikrimah berarti: janganlah kalian menaati mereka (Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, 4/204).

Ulama pewaris Nabi adalah ulama yang melaksanakan peran politisnya yaitu muhasabah lil hukam (menasihati penguasa). Ulama tidak boleh menjadi ‘stempel’ bahkan alat penguasa zalim, apalagi menjadi mitra dalam menghadang dakwah islam. Tidak ada yang lebih keji dibandingkan membantu kezaliman penguasa. Selain melanggengkan kekuasaan zalim, perbuatan ini menimbulkan madarat yang sangat besar bagi masyarakat; bagi urusan agama dan urusan dunia mereka.  Ketika paham kufur atau kebijakan lalim penguasa dijustifikasi ulama, masyarakat awam akan terseret dalam kekufuran dan tenggelam dalam kesengsaraan.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali rahimahulLâh berkata:

فَفَسَادُ الرِعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ بِإِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالجاَهِ

Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama.  Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai oleh cinta harta dan ketenaran (Al-Ghazali, Ihyâ‘ ‘Ulûm ad-Dîn, 2/357).

Ulama justru harus melaksanakan berperan sebagai pengawal sekaligus pengoreksi penguasa. Tujuannya tentu agar penguasa dan kekuasaannya selalu berada dalam koridor syariah Islam. Tidak menyimpang sedikitpun dari ketentuan syariah Islam.

Ulama pun tidak boleh menjadi alat penguasa untuk membuat perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim atas dasar sentimen mazhab, organisasi, dll.  Ulama harus menyatukan umat dalam wadah perjuangan menegakkan syariah Islam.

Khatimah

Ulama, ormas Islam, dan semua kelompok dakwah harus menyadari bahwa ada upaya sistematis rezim  untuk meredam suara lantang mereka dalam menyuarakan kebenaran syariat Islam kaffah.  Para ulama dan semua kelompok dakwah harus kembali memfungsikan diri sebagai  pengemban dakwah Islam kaffah di masyarakat, dan menjalankan fungsi politiknya yaitu muhasabah lil hukkam termasuk dalam proyek rezim pada proyek radikalisme. Karena dengan mengoptimalkan fungsi dan peran politik ini umat akan segera bangkit untuk mau diatur dan dipimpin hanya dengan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. 

Rasulullah saw. bersabda:

أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad terbaik adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. (HR Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [SM/Ln]