Oleh Siti Nafidah Anshory, M.Ag
Suaramubalighah.com, Opini — Sebagian umat Islam menjalani Ramadan tahun ini di tengah duka. Betapa tidak, memasuki Ramadan, sebagian besar wilayah Indonesia hampir tiap hari diguyur hujan yang sangat lebat. Akibatnya, bencana hidrologi pun terjadi di mana-mana. Yang terparah adalah banjir mengepung daerah Jabodetabek, terutama di wilayah Bekasi Raya.
Meski bukan yang pertama, tetapi banjir yang terjadi sejak Selasa (4-3-2025) dini hari memang benar-benar parah dan merata. Kondisinya bahkan lebih parah dibandingkan banjir besar yang terjadi pada 2020. Berhari-hari area pemukiman dan pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat terendam air bahkan hingga menyentuh atap. Alhasil, semua aktivitas masyarakat lumpuh dan kerugian material disebut-sebut mencapai Rp3 triliun.
Problem Paradigma
Selain karena curah hujan yang sangat tinggi, banjir di Jabodetabek khususnya di Kota Bekasi juga terjadi karena kondisi banjir di area hulu. Di daerah kabupaten Bogor, khususnya wilayah Puncak, luapan air saat itu, memang nyaris seperti gelombang tsunami.
Banyak video beredar yang menunjukkan dahsyatnya banjir di kawasan ini. Rumah-rumah penduduk, kendaraan, jembatan dan fasilitas umum lain termasuk jembatan rusak disapu gelombang air. Air inilah yang di bawa aliran sungai ke wilayah hilir dan akhirnya membuat wilayah Jabodetabek rata oleh banjir.
Selain melanda wilayah Jabodetabek, bencana hidrologi juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia lainnya. Beberapa titik di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung juga dilanda banjir. Di Kabupaten Bandung, area banjir juga di tempat-tempat yang selama ini tidak pernah langganan banjir. Adapun di Kabupaten Sukabumi, beberapa kecamatan bukan hanya terkena banjir, tetapi pergerakan tanah dan longsor juga menjadi ancaman tersendiri bagi penduduk di sana. Terakhir, bencana ini sampai menghilangkan nyawa lima orang dan puluhan warga luka-luka.
Di wilayah Sumatra, banjir besar bahkan terjadi sejak sebelum Ramadan, antara lain di Kabupaten Dharmasraya Sumatra Barat, Kabupaten Kampar Riau, Kabupaten Pesawaran Lampung, Kabupaten Aceh Jaya, dsb. Begitu pun di Sulawesi, daerah Poso tidak luput dari banjir. Sementara itu, di pulau Kalimantan, enam kabupaten di Kalimantan Tengah juga masih berjibaku dengan banjir.
Sejauh ini, pihak pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah masih sibuk menarasikan bahwa penyebab banjir adalah akibat cuaca yang sangat ekstrem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) jauh-jauh hari memang sudah memperingatkan curah hujan yang akan terjadi tahun ini memang jauh lebih tinggi dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu sebabnya adalah faktor atmosfer seperti sirkulasi siklonik serta fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) yang memperkuat pertumbuhan awan hujan sedemikian besar. Untuk banjir Jabodetabek sendiri, naiknya permukaan laut juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebab air akhirnya berkumpul di area pemukiman.
Adapun perbincangan soal kebijakan yang memengaruhi kondisi wilayah di area hulu dan hilir, semisal hilangnya area serapan akibat alih fungsi lahan besar-besaran, serta penataan daerah aliran sungai yang asal-asalan, justru terkesan hanya upaya cuci tangan dan saling lempar kesalahan. Padahal, diakui atau tidak, sebab utama terjadinya berbagai bencana di Indonesia bukan semata karena faktor alam atau teknis, melainkan berpangkal dari kebijakan pembangunan bercorak kapitalistik yang bersifat sistemis dan struktural, baik di hulu maupun di hilir.
Watak Destruktif Kepemimpinan Sekuler
Fakta terjadinya eksploitasi wilayah hulu di Indonesia, seperti hutan atau pegunungan, memang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Alih fungsi lahan yang berdampak deforestasi berjalan masif dengan dalih menggenjot perekonomian. Misalnya, pembukaan lahan untuk perkebunan, atau pengembangan sektor kepariwisataan yang diizinkan, bahkan untuk proyek-proyek skala besar termasuk yang berlabel proyek strategis nasional.
Begitu pun di kawasan hilir, alih fungsi lahan terjadi tanpa hambatan, baik untuk pengembangan wilayah pemukiman, maupun industrialisasi yang melibas kawasan hijau, termasuk area persawahan. Mirisnya, nyaris semua proyek investasi tersebut berjalan dengan izin dari pihak yang berwenang. Padahal, siapa pun paham, kawasan hulu memiliki peran sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Selain sebagai tempat penyedia air bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman di daerah hilir, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk penunjang kehidupan, terutama sebagai area penyimpan air bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi generasi yang akan datang.
Begitu pun area hilir. Penataan wilayah, semestinya dilakukan secara seimbang. Namun faktanya, nyaris seluruh permukaan tanah habis oleh semen dan beton sehingga tidak ada lagi area resapan air dan akhirnya menyebabkan banjir. Hal ini diperparah dengan penataan drainase yang terkesan asal dan ego sektoral. Alhasil, air yang datang tidak punya jalan pulang.
Adapun terkait daerah aliran sungai, penting selalu dipastikan agar tetap dalam fungsinya sebagai bentang hidrologis tempat menampung dan mengalirkan air sekaligus menunjang kehidupan manusia. Namun, perencanaan pembangunan yang buruk ditambah merebaknya kemiskinan struktural membuat area sungai dan bantaran mengalami disfungsi. Tidak sedikit pemukiman dibangun di pinggir-pinggir sungai sehingga terjadilah pendangkalan dan penyempitan.
Tampak ada yang salah dengan berbagai kebijakan terkait dengan alam. Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik yang tegak saat ini terbukti telah gagal menciptakan kehidupan yang harmonis dan sangat jauh dari kebaikan. Mereka tidak kenal prinsip halal-haram. Apa yang mereka sebut dengan pembangunan, faktanya justru menimbulkan kehancuran dan mereka dengan mudah berlepas tangan.
Berbagai proyek pembangunan yang dilakukan hanya menjadi jalan para pemilik modal untuk meraup sebanyak-banyak keuntungan. Mereka inilah yang selama ini menyetir kekuasaan politik, hingga banyak kebijakan yang melegitimasi kerakusan mereka untuk melipatgandakan kekayaan meski harus merusak lingkungan, merugikan masyarakat banyak, dan mengorbankan masa depan dengan munculnya berbagai bencana alam dengan berbagai bentuknya.
Semua ini mengonfirmasi apa yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)
Kembali pada Tuntunan Islam
Situasi seperti ini dipastikan tidak akan berubah sepanjang paradigma kepemimpinan sekuler yang destruktif ini dipertahankan. Umat semestinya segera bertobat dengan kembali menegakkan sistem kepemimpinan Islam sebagai konsekuensi keimanan dan secara empiris telah terbukti mampu menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh berkah antara manusia dan semesta alam.
Rahasianya tidak lain ada pada kesempurnaan aturan hidup yang ditegakkan. Itulah syariat Islam, yang berasal dari Zat Pencipta Alam yang penerapannya secara total dipastikan akan membawa keberkahan. Allah taala berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)
Kepemimpinan dalam Islam memang berfungsi sebagai pengayom dan penjaga umat secara keseluruhan. Setiap hal yang bisa mengganggu apalagi merusak peri kehidupan mereka akan dieliminasi oleh negara dan para penguasanya. Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan rakyatnya. Juga mencerdaskan rakyat dan menegakkan hukum bagi para pelanggar syariat dan kebijakan negara lainnya.
Berbagai upaya pembangunan pun hanya didedikasikan untuk kemaslahatan umat, kemuliaan Islam dan kejayaan negara, bukan demi kepentingan kelompok tertentu, termasuk para pemilik uang. Alhasil, pembangunan dalam paradigma Islam jauh dari bencana dan kerakusan manusia. Selain itu terwujud pula tujuan turunnya risalah Islam, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Kalaupun terjadi bencana, faktornya benar-benar karena alam, dan ini niscaya sebagai bentuk ujian iman. Negara dalam fungsinya sebagai penjaga akan berupaya melakukan mitigasi secara maksimal sehingga kerugian dan jatuhnya korban akan benar-benar minimal. Dengan sistem ekonomi Islam yang kuat, negara akan memiliki modal cukup untuk memberi layanan prima kepada rakyatnya, termasuk mengangkat kesedihan dan menutup kebutuhan para korban bencana secara maksimal.
Tegaknya kepemimpinan ideal semacam ini tentu butuh diupayakan. Satu-satunya jalan adalah dengan menggencarkan dakwah kepada Islam hingga umat paham bahwa Islam adalah tuntunan kehidupan. Mereka juga perlu dipahamkan bahwa berlama-lama hidup dalam sistem sekuler seperti sekarang bukan hanya akan mendatangkan kesempitan, salah satunya mengundang berbagai bencana alam. Yang lebih mengerikan adalah hidup dengan aturan buatan manusia, justru berdosa dan mendatangkan kemurkaan Allah Taala.
Sumber: Muslimahnews.id
[SM/Ln]