Bagi-Bagi ASI, Bagaimana Pandangan Islam?

Oleh: Ummu Nashir N.S.

Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Di media sosial muncul perbincangan terkait bagi-bagi 200 kantung ASI yang dilakukan oleh satu keluarga beriringan dengan bagi-bagi takjil yang dilakukan mereka. Kemudian muncul banyak tanggapan dari berbagai kalangan.

Tentu saja, ini karena bagi-bagi ASI bukanlah perkara sederhana atau sepele sebagaimana bagi-bagi makanan yang setelah dibagikan langsung selesai urusannya. Kalau bagi-bagi ASI, setelah ASI dibagi dan diisap oleh bayi orang lain, tentu ada konsekuensi dan rambu-rambu tertentu. Tulisan ini mengulas pandangan Islam mengenai hal itu.

Makna Radha‘ah atau Persusuan

Radha‘ah adalah sampainya ASI (air susu ibu) ke perut seorang bayi yang belum berumur dua tahun. Seorang ibu yang menyusui seorang bayi (bukan anaknya) yang belum berumur dua tahun, hubungan di antara keduanya menjadi mahram karena radha‘ah (susuan).

Pemberian ASI terhadap anak adalah hak dan kewajiban orang tua, sebagaimana firman-Nya, “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 233).

Menyusui anak juga merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak agar tidak meninggalkan anak dalam keadaan lemah, baik iman maupun fisik. Memberikan nutrisi seperti ASI yang baik berarti orang tua telah menghindarkan keturunannya dari kelemahan fisik.

Hal ini sesuai dengan spirit firman Allah Swt. dalam QS An-Nisā ayat 9, “Hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

ASI merupakan suatu zat ciptaan Allah yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI sangat kaya akan sari-sari makanan yang dapat mempercepat pertumbuhan sel-sel otak dan perkembangan sistem saraf, serta memiliki kualitas gizi yang terbaik. ASI mengandung nutrisi yang baik bagi bayi, mengandung beberapa komponen yang sangat penting untuk nutrisi dan kekebalan tubuh bayi.

Hanya saja, tidak semua ibu bisa menyusui anaknya secara langsung dengan berbagai uzur. Islam sebagai din yang sempurna memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini, di antaranya adalah dengan meminta ibu lain untuk menyusui anaknya. Dalam hal ini, Islam telah memberikan beberapa ketetapan dan rambu yang harus dipenuhi.

Persusuan Menyebabkan Status Mahram

Islam membolehkan menyusunya seorang bayi kepada perempuan yang bukan ibu kandungnya karena kadang-kadang memang terdapat hajat untuk itu. Misalnya, meninggalnya ibu kandung si bayi atau tidak mampunya ibu kandung untuk menyusui karena berbagai sebab, seperti air susunya tidak keluar, si ibu bekerja, atau karena sebab lainnya. (Sa’duddin bin Muhammad al-Kibbi, Ahkam ar-Radha’ fi al-Islam; HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hlm. 69).

Yang wajib diperhatikan adalah akibat persusuan itu secara syar’i, yaitu timbulnya hubungan mahram antara bayi yang disusui dengan perempuan yang menyusui. Ini karena persusuan merupakan salah satu dari tiga sebab timbulnya status mahram yang mengharamkan pernikahan, yaitu adanya hubungan nasab, pernikahan, dan persusuan (ar-radha’ah). Jika seorang perempuan menyusui seorang bayi, bayi itu menjadi anaknya, tepatnya anak susuannya dan ia akan menjadi mahramnya. Anak hubungan susuan ini memiliki kesamaan dalam hal mahram, artinya menjadi haram dalam pernikahannya antara ibu susuan atau dengan anak susuannya atau dengan anak kandung dari ibu yang menyusui karena menjadi saudara susuan baginya.

Hadis Rasulullah ﷺ, “Haram karena faktor persusuan seperti yang diharamkan karena hubungan nasab.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam hadis lain disebutkan, “Persusuan itu akan mengharamkan apa yang diharamkan oleh sebab kelahiran.” (HR Muslim).

Akan tetapi, tidak setiap bayi yang menyusu kepada selain ibu kandungnya ini secara otomatis langsung menjadi anak susuan, melainkan harus memenuhi beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh syariat Islam.

Susuan yang Menjadikannya Mahram

Islam sebagai din yang sempurna dan lengkap telah mengatur dengan sangat terperinci terkait ketentuan persusuan yang dapat menjadikan mahram antara anak dan ibu yang menyusui. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

1. Adanya laban (susu).

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab An-Nizhamul Ijtima’i menyatakan bahwa faktor yang mengharamkan dalam hal persusuan adalah laban atau air susu itu sendiri. Ini artinya jika ada air susunya, maka bisa berlaku rambu-rambu dan ketetapan terkait persusuan sehingga perempuan yang menyusui tersebut adalah ibu menyusui.

Oleh sebab itu, jika seseorang menyusu kepada seorang ibu yang bukan ibu kandungnya dan memenuhi ketentuan syariat, maka ia menjadi anak susuan dari ibu tersebut. Suami ibu tersebut menjadi ayah susuan, demikian pula dengan anak-anak dari ibu susuannya, menjadi saudara-saudara susuan baginya dan haram untuk menikah dengan mereka.

2. Sampai kenyang.

Berkaitan dengan jumlah susuan yang menyebabkan menjadi mahram karena sesusuan dijelaskan dalam hadis Nabi ﷺ.

Dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata bahwa telah diturunkan dalam Al-Qur’an sepuluh kali persusuan yang dapat menjadikan mahram, lalu dihapus (ketentuan itu) menjadi lima kali, kemudian Rasulullah ﷺ wafat, sedangkan perkara ini tetap pada hal ini (sebanyak lima kali).” (HR Muslim).

Hal ini dikuatkan dengan hadis dari Abdullah bin Haris (diriwayatkan) bahwa Ummu Fadhl menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak mengharamkan satu kali atau dua kali susuan, satu kali atau dua kali isap.” (HR Muslim).

Adapun di antara indikator susuan yang benar adalah susuan mengenyangkan disebabkan rasa lapar, memberikan bekas di perut anak, juga menguatkan tulang dan daging. Hal ini dijelaskan beberapa hadis Nabi ﷺ.

Dari Masruq (diriwayatkan) bahwa Aisyah ra. berkata, “Nabi ﷺ masuk rumahku dan di sisiku ada seorang lelaki. Beliau bertanya, ‘Wahai Aisyah, siapa ini?’ Aku menjawab, ‘Dia saudara sesusuanku.’ Nabi ﷺ bersabda, ‘Wahai Aisyah, lihatlah siapa yang menjadi saudaramu, hanyalah persusuan yang (mengharamkan) disebabkan rasa lapar.’” (HR Bukhari).Dari Ibnu Mas’ud (diriwayatkan), ia berkata, “Tidaklah (dianggap) persusuan, kecuali yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” Dari Ibnu Mas’ud dari Nabi ﷺ dengan makna yang sama dengannya, dan ia berkata, “… serta menumbuhkan tulang.” (HR Abu Dawud).

Dalam riwayat lain, “Tidak ada susuan, kecuali pada masa bayi dan tidak ada susuan melainkan apa yang menguatkan tulang dan daging.” (Malik, Al-Muwaththa, bab Radha‘ah 4/872).

3. Anak yang disusui masih dalam usia susuan.

Menyusui tidak hanya sebagai kewajiban orang tua terhadap pemenuhan kebutuhan anak, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Taala. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang pentingnya pemberian ASI bagi bayi pada usia penyusuan anak antara 0—2 tahun, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Baqarah ayat 233, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak ada penyusuan melainkan di dalam dua tahun.”(HR Ad-Daruquthnī). Berdasaran hadis ini, susuan yang terjadi kepada anak di atas usia dua tahun atau usia balig tidak dapat dibenarkan.

4. Susuan secara langsung maupun tidak langsung sama saja.

Dalam persoalan susuan yang dapat menjadikan status mahram, tidak hanya dilihat dari jumlah susuannya tetapi juga dapat dilihat dari sifatnya langsung maupun tidak langsung. Seorang donor ASI akan dianggap sebagai mahram bagi anak susuannya, baik disusui secara langsung (menyusui dari puting seorang ibu) maupun tidak langsung (melalui dot) yang berisi ASI dari pihak donor.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa bayi yang menyusu, baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang ibu, maka berlaku baginya hukum sebagai anak dan ibu susuan. Mereka memahami bahwa substansi dari proses menyusui itu sendiri yang bisa menyebabkan seorang bayi hilang rasa hausnya dan menjadikan kenyang baginya seperti hadis riwayat Al-Bukhārī, At-Tirmiżī, dan Abū Dāwud (lihat hadis Masruq, Umi Salamah, dan Ibnu Mas’ūd) yang telah tersebut di atas. Seorang bayi yang mengonsumsi ASI dari wadah seperti dot atau lainnya termasuk bagian dari proses susuan secara tidak langsung, sehingga ia mendapat konsekuensi dari hukum susuan.

Khatimah

Demikianlah, Islam telah mengatur tentang persusuan dengan sangat detail dan terperinci. Dari penjelasan ini sangat nyata bahwa bagi-bagi ASI tidaklah sesederhana bagi-bagi takjil, melainkan ada konsekuensi dan rambu-rambu yang harus diikuti karena berimplikasi pada hukum lain, terutama berkaitan dengan pernikahan persusuan yang dilarang Islam. Jangan sampai ada pasangan yang hendak menikah, mereka baru mengetahui menjelang akad nikah bahwa ternyata calonnya adalah anak dari ibu susuannya. Ini artinya mereka tidak boleh menikah karena mereka adalah saudara susuan.

Tidak dimungkiri pula bahwa kejadian seperti ini masih kerap terjadi di negeri ini, menunjukkan bahwa persoalan persusuan belum dipahami dengan benar oleh masyarakat, terutama kaum muslim.

Itu sebabnya, penting adanya edukasi di tengah umat dan satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah dengan dakwah Islam kafah. Hal ini agar umat memahami Islam dengan benar dan selanjutnya akan mengupayakan agar sistem Islam terwujud di tengah umat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]