Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia, Memuluskan Agenda Penjajah?

  • Opini

Oleh Endah Siti Muwahidah

Suaramubalighah.com, Opini— Pada 9 April 2025, Presiden Prabowo mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia siap mengevakuasi warga Palestina yang terluka dan terkena trauma, termasuk anak-anak yatim piatu yang sangat membutuhkan perlindungan dan dukungan. Ia menyatakan bahwa pemerintah Palestina serta pihak terkait lainnya telah mengungkapkan keinginan untuk dievakuasi ke Indonesia, dan pemerintah Indonesia siap mengirimkan pesawat untuk mengangkut sekitar 1.000 orang dalam gelombang pertama evakuasi.

Pengumuman ini mencuri perhatian publik karena dipicu oleh ketegangan yang berkembang akibat kebijakan tarif impor 32% yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump yang dapat mengguncang perekonomian Indonesia.

Implikasi Rencana Evakuasi

Sejumlah pengamat menilai bahwa rencana Prabowo mengevakuasi rakyat Gaza ke Indonesia diduga merupakan strategi appeasement untuk membujuk Trump mengurangi tekanan ekonomi yang dihadapi Indonesia akibat tingginya tarif impor yang diberlakukan oleh AS.

Banyak analis berpendapat bahwa kebijakan tarif impor AS merupakan bagian dari strategi untuk memperkuat ekonomi domestik AS dan memenangkan lobi untuk kepentingan politik dan ekonomi AS, termasuk rancangannya di Gaza Palestina.

Banyak negara, termasuk Indonesia, mengadopsi pendekatan akomodatif terhadap AS untuk meredakan tarif impor. Contohnya, Inggris menawarkan pemotongan pajak kepada miliarder teknologi AS, sementara negara lain membuka pasar untuk produk Starlink milik Elon Musk. Di Indonesia, rencana relokasi warga Gaza diduga terkait dengan kebijakan tarif impor AS menjadi lebih dapat dipahami.

Jika asumsi ini terbukti benar, tentu ini akan sangat disayangkan. Di permukaan, rencana evakuasi tampak sebagai langkah kemanusiaan sejalan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mendukung Palestina. Komunitas internasional dapat menganggap bahwa penduduk Gaza diselamatkan melalui evakuasi, padahal mereka berhak atas tanah mereka.

Namun, jika dilihat lebih luas, yakni dalam konteks ambisi Trump dan Zion*s untuk menguasai Gaza serta mengusir penduduknya, rencana ini berpotensi akan menguntungkan Zion*s dalam usaha mereka untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya dan memperkuat agenda penjajahan yang didukung oleh AS untuk menguasai Palestina, serta melemahkan posisi tawar rakyat Palestina untuk memperjuangkan hak dan tanah Palestina dari penjajahan Zion*s yang sudah berlangsung beberapa dekade.

Alih-alih memanfaatkan posisinya untuk memimpin secara global dan menekan Zion*s agar meninggalkan Palestina, politik luar negeri Indonesia justru menunjukkan ketergantungan pada negara adidaya, terutama AS.

Ambisi Donald Trump untuk mengendalikan Gaza tampak makin jelas melalui inisiatif perjanjian gencatan senjata yang diajukan pada Januari 2025. Dalam perjanjian tersebut, Trump mencakup rencana rekonstruksi Gaza dengan alasan wilayah itu tidak layak huni. Ia melobi negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, dan Turki untuk bersedia menerima pengungsi dari Gaza, tetapi usaha itu sejauh ini mengalami penolakan.

Media asing melaporkan bahwa AS dan Zion*s tengah melakukan kontak rahasia dengan beberapa negara Afrika untuk mengeksplorasi kemungkinan relokasi warga Gaza. Indonesia juga disebut-sebut sebagai salah satu negara tujuan relokasi yang mana kabar beredar bahwa telah ada kesepakatan rahasia mengenai rencana tersebut.

Media melaporkan bahwa 100 warga Gaza telah bersiap untuk berangkat ke Indonesia untuk bekerja di sektor konstruksi sebagai bagian dari proyek percontohan. Walaupun Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan bahwa tidak ada diskusi resmi mengenai relokasi, kenyataannya menunjukkan bahwa Presiden Prabowo menawarkan relokasi yang dibingkai sebagai evakuasi. Meskipun Indonesia selalu menyatakan dukungan untuk perjuangan kebebasan Palestina, posisinya justru tampak beriringan dengan agenda Amerika.

Risiko dan Konsekuensi

Berdasarkan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), evakuasi adalah pemindahan sementara warga sipil dari daerah berbahaya ke tempat yang lebih aman. Dalam konteks konflik, evakuasi kemanusiaan menjadi elemen penting dari respons darurat. Penting untuk dicatat bahwa evakuasi dianggap sah hanya jika dilakukan secara sukarela, bersifat sementara, dan tidak menghilangkan hak individu untuk kembali ke tempat asal mereka.

Hukum internasional juga menegaskan bahwa evakuasi tidak bisa menggantikan tanggung jawab negara pendudukan untuk melindungi warga sipil. Oleh karenanya, evakuasi seharusnya menjadi langkah terakhir, bukan alternatif untuk penyelesaian politik. Dalam konteks Gaza, jika evakuasi tidak disertai dengan kerangka jangka panjang dan jaminan pemulihan hak-hak rakyat Palestina, langkah ini dapat berpotensi menjadi solusi semu yang memperkuat status pengungsian mereka secara permanen.

Resolusi Majelis Umum PBB 1994 menegaskan pentingnya memberikan kesempatan bagi pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah mereka. Namun, hingga tahun 2025, hak ini masih ditolak oleh Zion*s. Dari ratusan resolusi PBB, tidak ada yang secara efektif menjamin pelaksanaan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina. Membawa warga Gaza ke negara ketiga seperti Indonesia berpotensi memindahkan fokus perhatian dunia internasional dari “repatriasi” (pemulangan) menjadi “resettlement” (pemukiman ulang).

Pendekatan ini bertentangan dengan prinsip yang ditekankan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bahwa hak untuk kembali tidak seharusnya dikorbankan. Pengosongan wilayah dari penduduk sipil, meski bersifat sementara, dapat dijadikan alasan untuk melakukan perubahan demografi secara paksa. Fenomena ini bukanlah hal baru; setelah 1948 (Nakba), jutaan warga Palestina terusir dari tanah mereka.

Hingga 2023, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mencatat lebih dari lima juta pengungsi Palestina hidup di kamp-kamp pengungsian tanpa kepastian hak untuk kembali. Selain itu, evakuasi juga dapat mengurangi tekanan terhadap Zionis. Dengan warga sipil yang “diamankan” oleh negara-negara ketiga, negara-negara pendukung Zion*s, seperti AS, bisa berargumen bahwa masalah kemanusiaan sudah ditangani, dan ini menjadi alasan untuk tidak menghentikan agresi militer serta usahanya mengusir penjajah Zion*s dari tanah Palestina.

Jihad, Jalan Pembebasan Palestina

Evakuasi warga Gaza ke Indonesia bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan krisis Palestina karena tidak menyentuh akar masalah. Sebuah evakuasi tidak akan mengakhiri konflik Zion*s-Palestina, yang berakar pada penjajahan dan okupasi Zion*s Yahudi di Palestina, yang didukung penuh oleh negara-negara kafir Barat, khususnya AS. Penjajahan tersebut hanya dapat dihapuskan melalui pengusiran penjajah.

Entitas Zion*s, muhariban fi’lan (musuh nyata) Islam dan kaum muslim, hanya dapat dihadapi dengan ketegasan dan bahasa perang. Solusi yang benar harus fokus pada pengusiran Zion*s dari tanah Palestina, bukan mengevakuasi warga Gaza tanpa jaminan keamanan dan hak-hak mereka, termasuk hak atas tanah Palestina.

Bagi kaum muslim, persoalan Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan, tetapi juga merupakan bagian krusial dari agama. Palestina adalah tanah kharajiyah milik kaum muslim yang harus dibebaskan dari Zion*s Yahudi. Selain itu, kaum muslim terikat dengan Perjanjian Umariyyah yang melarang kaum Yahudi memasuki dan tinggal di Yerusalem.

Satu-satunya solusi sesuai ajaran Islam untuk krisis di Gaza adalah melalui jihad fi sabilillah. Ini mencakup penggunaan kekuatan militer untuk melindungi warga Gaza dan mengusir entitas Yahudi, bukan hanya melalui diplomasi atau retorika. Mengutuk tindakan Zion*s tanpa tindakan nyata adalah pengkhianatan terhadap Islam dan kaum muslim. Hanya berdoa tanpa aksi konkret tidak cukup untuk menghentikan penjajahan Zion*s. Dibutuhkan keberanian dan tindakan nyata untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina.

Al-Qur’an menekankan pentingnya jihad defensif dalam menghadapi invasi. Allah SWT Berfirman, “Siapa saja yang menyerang kalian, seranglah ia secara seimbang dengan serangannya terhadap kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 194)

Selain itu, Allah SWT memerintahkan untuk mengusir mereka yang telah mengusir kaum muslim, “Perangilah mereka di mana saja kalian menemui mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 191)

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam Kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2 menjelaskan bahwa jihad adalah farduain ketika kaum muslim diserang musuh. Dalam konteks Palestina, kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi muslim yang tinggal di sana, tetapi juga untuk muslim di sekitar wilayah tersebut ketika agresi musuh tidak dapat dihadang oleh penduduk setempat. Para penguasa negeri muslim seharusnya segera mengerahkan pasukan militer untuk membantu muslim di Gaza. Haram dan kemaksiatan besar di sisi Allah saat mereka hanya berdiam diri. Ini sejalan dengan firman Allah SWT, “Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, kalian wajib memberikan pertolongan.(QS Al-Anfal [8]: 72)

Ironisnya, saat ini kita lihat para penguasa Arab dan Dunia Islam bukan hanya berdiam diri. Mereka bahkan menutup rapat pintu perbatasan untuk mencegah kedatangan pengungsi Gaza yang menderita. Sementara itu, mereka membiarkan Zion*s membantai Gaza, tanpa ada pertolongan yang diberikan kepada Gaza.

Nasionalisme dan rasa takut kehilangan jabatan membuat mereka diam dan enggan membebaskan Palestina, bahkan cenderung berkolaborasi dengan Zion*s yang berlumuran darah kaum muslim Gaza. Mereka membiarkan muslim Palestina sendiri menghadapi agresi Zion*s.

Inilah konspirasi besar antara para penguasa Arab dan muslim dengan AS serta Zion*s Yahudi. Umat tidak boleh teperdaya oleh retorika mereka. Sikap berdiam diri dari para penguasa muslim ini sesungguhnya berarti mereka mengamini genosida yang terjadi di Gaza. Mereka seharusnya ingat bahwa jabatan dan kekuasaan mereka tidak ada artinya dibandingkan dengan tumpahnya darah seorang mukmin. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh hilangnya dunia ini jauh lebih ringan bagi Allah dibandingkan dengan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR An-Nasa’i dan Tirmidzi)

Khilafah, Pelindung Hakiki Umat Islam

Satu-satunya cara efektif untuk menolong Gaza adalah dengan menggerakkan potensi umat Islam menuju jihad fi sabilillah. Namun, dalam konteks politik saat ini, kita tidak bisa berharap aktivitas mulia ini akan datang dari para penguasa muslim saat ini. Di sinilah urgensi adanya kepemimpinan politik Islam global yang kuat, yaitu Khilafah Islam ‘ala minhaj an-nubuwwah, yang akan menyatukan umat Islam, menghadapi hegemoni Barat, membebaskan negeri-negeri muslim yang terjajah, melindungi umat dari berbagai ancaman, dan mencampakkan para penguasa muslim yang berkhianat.

Khilafahlah yang akan menggerakkan tentara-tentara di negeri-negeri muslim untuk jihad fi sabilillah mengusir Zion*s Yahudi dan membebaskan Palestina. Dengan adanya Khilafah, umat Islam dapat bersatu dan mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi musuh. Khilafah akan menjadi simbol kekuatan dan kejayaan Islam, serta menjadi teladan bagi umat manusia di seluruh dunia.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR Muslim)

Seruan untuk Kaum Muslim

Upaya konkret yang harus dilakukan kaum muslim saat ini adalah pertama, menolak semua rencana untuk menyerahkan Palestina melalui evakuasi, relokasi, ataupun segala jenis negosiasi dan kesepakatan dengan entitas Zion*s untuk lepasnya Palestina, meski akan banyak terjadi pertumpahan darah.

Kedua, menolak intervensi AS dan Barat yang terus-menerus ikut campur di dalam negeri dan urusan kaum muslim melalui agen kaki tangan mereka di negeri-negeri muslim, termasuk upaya mereka untuk memuluskan tujuan menguasai Palestina.

Ketiga, menuntut pertanggungjawaban para penguasa agen atas kelambanan mereka dalam membela Palestina, juga atas pengkhianatan dan penipuan mereka terhadap Palestina.

Keempat, menyeru tentara muslim untuk bergerak membela kaum muslim Palestina dan negeri-negeri kaum muslim yang terjajah, sebagaimana di masa lalu Salahuddin al-Ayyubi yang mengerahkan seluruh upayanya di jalan ini.

Kelima, bergabung dalam perjuangan global untuk Khilafah Rasyidah yang akan membebaskan Al-Quds, Suriah, Kashmir, dan semua negeri yang dijajah dalam perjuangan global untuk penegakan kembali Khilafah, mendukungnya, menyerukannya, dan bergabung dalam tugas mulia ini bersama dengan kelompok dakwah pembebasan. Wallahu ‘alam. [SM/Ln]

Sumber https://muslimahnews.net