Darurat Kejahatan Seksual, Butuh Solusi Tuntas

  • Opini

Oleh Hj. Padliyati Siregar, ST

Suaramubalighah.com, Opini – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus berkoordinasi mendalami kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang dokter kandungan terhadap ibu hamil di Garut, Jawa Barat. Kasus terbaru juga menjadi viral  karena terjadi di dunia medis di antaranya di RSHS Bandung, pelaku merupakan dokter Residen Anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Kasus serupa juga terjadi di dunia pendidikan tinggi yang dilakukan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Dan semakin miris kasus terbaru terjadi pula di sebuah Ponpes di Tulungagung Jawa Timur yg dilakukan seorang ustaz dengan korban diperkirakan lebih dari 12 santri laki-laki.

Tentu saja, kasus-kasus semacam ini seperti gunung es. Penting bagi seluruh elemen bangsa  untuk meninjau persoalan ini secara menyeluruh dan mendalam. Masalah ini tidak hanya terbatas pada pemberian hukuman bagi pelaku atau dampak trauma jangka panjang yang dialami korban. Membahas tindakan asusila, seharusnya tidak hanya fokus pada penyelesaian kasus secara individual. Pasalnya, kasus serupa terus berulang dari tahun ke tahun. Pertanyaannya, mengapa masih banyak terjadi kasus semacam ini?

Padahal pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dan mencegah tindakan asusila maupun kekerasan seksual. Namun, berbagai regulasi yang ada ternyata belum cukup efektif dalam menangkal masalah ini. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam mengidentifikasi akar permasalahan, sehingga aturan yang berlaku gagal memberikan solusi terhadap maraknya kasus pelecehan seksual yang semakin memprihatinkan.

Akibat Buah Busuk Kapitalisme

Kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada generasi dan masyarakat sejatinya bersumber pada paradigma sekuler kapitalisme. Kehidupan sekuler kapitalisme yang serba bebas menjadikan aspek apapun menjadi komoditas yang dapat menghasilkan materi, tanpa melihat halal haram. Sistem kapitalisme sekuler mengembangbiakkan kebebasan tanpa batas. Alhasil, tayangan, film, dan kesenangan yang berbau sensual dapat dengan mudah diakses siapa saja.

Keterbukaan akses terhadap konten-konten bermuatan seksual inilah yang menjadi salah satu pemicu maraknya pelecehan  seksual. Tidak jarang, kasus-kasus kekerasan seksual terjadi lantaran pelaku terangsang setelah menonton video atau tayangan porno. Sistem kapitalisme sekuler telah mendorong pemenuhan syahwat secara liar dan haram. Akibatnya, masyarakat kehilangan perisai iman dan agama yang seharusnya mencegah mereka berbuat maksiat.

Kondisi buruk ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan sekuler kapitalisme dalam melahirkan insan beriman yang terjaga dari maksiat dan perbuatan buruk. Sistem ini justru mendegradasi kepribadian mulia yang seharusnya dimiliki individu. Akibatnya, lahirlah manusia-manusia kejam, tega, dan sadis yang melakukan kejahatan, kekerasan, dan pelecehan seksual, baik di dunia nyata maupun maya.

Fakta ini semestinya membuka kesadaran kita akan pentingnya peran vital negara dalam membangun literasi digital kepada masyarakat. Pendidikan literasi digital mencakup pemahaman tentang pemanfaatan teknologi dan informasi digital yang benar dan tepat, yakni tidak melanggar aturan agama (Islam), berkontribusi positif dalam menyebarkan informasi yang benar, menjauhkan diri dari konten-konten maksiat, dan mampu menjadi warga digital yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia.

Sayang, peran tersebut tidak berjalan secara optimal karena pengaruh paradigma sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan kita hari ini. Negara hanya bertindak sebagai penyelenggara pendidikan dengan peran minimalis dan seadanya. Bahkan, pendidikan dikembalikan pada masing-masing individu atau orang tua.

Memang benar, sekolah pertama bagi anak adalah pendidikan keluarga, yakni peran dan tanggung jawab utama orang tua. Namun, peran negara sebagai pihak yang menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif juga tidak kalah penting. Sepandai-pandainya orang tua menjaga dan mencegah anak berlaku maksiat, tidak akan bisa efektif jika negara melepas tanggung jawabnya sebagai pelindung dan penjaga generasi. Ini karena kebijakan negara sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana kondusif, yaitu lingkungan yang beriman, aman, nyaman, dan jauh dari kemaksiatan.

Islam  Solusi Tuntas

Sistem Islam memiliki seperangkat aturan khas yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara paripurna di setiap level komunitas masyarakat. Islam memiliki langkah preventif dan sistem sanksi yang berefek jera dan menutup celah terulangnya kasus serupa.

Dari aspek preventif, Islam membangun kerangka konsepnya berdasarkan fitrah manusia. . Sesungguhnya Allah SWT menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan. Ini bukan sesuatu yang harus menjadi kontroversi sebab Allah pun telah menurunkan seperangkat hukum yang mengarahkan naluri ini berjalan sesuai fitrah.

Langkah preventif itu antara lain, pertama, memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan mereka. Islam memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab (gamis) (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan menggunakan khimar (QS An-Nuur: 31). Melengkapi perintah ini, Allah pun memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan.

Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat. Rasulullah saw. bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ باِمْرَأَةٍ إِلاَّكاَنَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan” (HR Ahmad, At-Tirmidzi  Al-Hakim. Al-Hakim kemudian menyatakan bahwa hadits ini sahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim. Pendapat ini disepakati pula oleh Adz-Dzahabi)

Saat ini, pergaulan muda-mudi tidak terkecuali kalangan mahasiswa, menyuguhkan banyak realitas pergaulan yang serba bebas. Sudah seharusnya kampus berbenah dan mencari role model sistem pendidikan Islam yang merealisasikan sistem Islam dalam proses akademiknya.

Ketiga, negara adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu, negara tidak cukup membuat seruan mengenai pentingnya akademisi untuk waspada dengan potensi sexual harassment di lingkungan kampus. Lebih dari itu, negara memiliki peran strategis untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media.

Kita bisa lihat begitu mudahnya masyarakat sekarang mengakses situs-situs porno yang menayangkan adegan tidak senonoh. Teror tayangan inilah yang menjadi stimulus para pelaku, lalu melampiaskan syahwatnya melalui  pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sejenisnya.

Keempat, dalam Islam, pelaku pelecehan seksual wajib mendapat hukuman karena kekerasan seksual semisal pemerkosaan dan kriminalitas sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Bentuknya pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Sanksi (uqubat) pertama bagi pemerkosa (al-mughtashib) adalah berupa had zina. Bagi ghayru muhsan dengan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan/telah menikah berupa hukuman rajam.

Selain itu, sanksinya dapat berupa pembayaran shodaqu mitsliha oleh pelaku. Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa ,yang artinya, “Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shadaaqu mitslihaa (mahar untuk wanita yang semisal korban). Jika korbannya budak, maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa.” (Imam Maliki, Al-Muwaththa, 11/734).

Negara juga dapat menjatuhkan sanksi ta’zir untuk pelaku pemerkosa sesuai pandangan khalifah.

Demikianlah upaya preventif dalam Islam untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual berikut sanksi bagi pelaku. Sistem hukum Islam tidak hanya mencegah berulangnya kasus, tetapi juga mewujudkan sistem sosial dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat. Di sisi lain, sistem sanksi yang tegas akan mewujudkan efek jera bagi pelaku, memastikan terwujudnya keadilan bagi korban, hingga menutup celah hadirnya pelaku dengan kasus serupa.

Menyelesaikan masalah kekerasan seksual di kampus sesungguhnya membutuhkan penelaahan jernih yang sesuai dengan fitrah manusia. Merujuk pada solusi-solusi liberal tidak akan menuntaskan masalah. Sebaliknya, kampus harus berbenah dan mendiskusikan sistem Islam (syariah kaffah dan Khilafah) sebagai sebuah konsep alternatif untuk memastikan lingkungannya steril dari kekerasan seksual.

Peran mubalighah sangat strategis  dalam mengedukasi umat pada jamaahnya dan jejaring tokoh lainnya termasuk tokoh intelektual dan pengambil kebijakan untuk  mendorong mereka menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah sehingga berbagai persoalan termasuk diantaranya persoalan kekerasan seksual dapat diatasi dan negara akan menjadi baldatun thayyibatun warabbun ghafur.

Wallahu ‘alam. [SM/Ln]