Menyoal Fatwa Internasional tentang Jihad

  • Opini

Oleh: Ummu Nashir N.S.

Suaramubalighah.com, Opini — International Union of Muslim Scholars (IUMS) atau Persatuan Ulama Muslim Internasional mengeluarkan fatwa “jihad melawan Israel”. Fatwa ini terbit menyusul agresi brutal Tel Aviv yang terus menerus berlangsung ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023 hingga hari ini.

Sekjen IUMS Ali al-Qaradaghi menyerukan seluruh negara muslim untuk segera campur tangan secara militer, ekonomi, dan politik. Tujuannya demi menghentikan genosida dan kehancuran Gaza yang dilakukan Israel.

“Ketakmampuan pemerintah Arab dan Islam dalam membela Gaza saat sedang dihancurkan, menurut hukum Islam merupakan kejahatan besar terhadap saudara-saudara kita yang tertindas di Gaza,” katanya. Pernyataan Qaradaghi ini didukung oleh 14 ulama muslim terkemuka lainnya. Isinya berupa seruan kepada semua negara muslim untuk meninjau perjanjian damai dengan Israel.

Terbitnya fatwa ini juga mendapat dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Prof. Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan fatwa ini sejalan dengan keputusan Ijtima’ Ulama Fatwa MUI yang menegaskan wajib hukumnya bagi umat Islam membela Palestina. MUI juga mendorong agar negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) melakukan konsolidasi internal untuk menghentikan kekejaman Israel.

Akan tetapi, pendapat berbeda dikeluarkan oleh Ketua PBNU K.H. Ulil Abshar Abdalla yang cenderung mendukung pendapat Darul Ifta. Dewan Fatwa Mesir ini menolak Fatwa IUMS dengan alasan bahwa jihad tidak dapat dilakukan tanpa izin penguasa (ululamri) yang sah. Menurut Ulil, reasoning fatwa dari Darul Ifta Mesir lebih tepat dan kuat bahwa jihad tidak bisa dilaksanakan oleh otoritas nonnegara. “Jihad harus diotorisasi oleh imam alias pemerintah yang sah,” ujarnya. (Hukum Online, 8-4-2025).

Tidak dimungkiri bahwa jihad memang tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya otoritas pemerintah yang menjalankannya. Oleh karena itu, semestinya para penguasa muslim dan umat Islam secara keseluruhan mengangkat seorang amir atau pemimpin kaum muslim, yakni seorang khalifah untuk bisa menjalankan fatwa jihad ini dan membebaskan Palestina dari penjajahan Zion*s. Inilah yang seharusnya difatwakan dan dijalankan terlebih dahulu, yakni wajib adanya pemimpin atas kaum muslim sedunia yang mampu melindungi umat di mana pun berada.

Selain itu, umat Islam juga harus memiliki pemahaman yang benar tentang konsep dan rambu-rambu jihad secara syar’i dan harus pula memiliki pemahaman yang benar terkait realitas yang terjadi di Tanah Palestina, tanahnya kaum muslim. Pemahaman kedua hal ini sangat penting karena akan menentukan sikap atau langkah apa yang harus dilakukan oleh umat Islam.

Apa yang Terjadi di Tanah Palestina?

Tentang keutamaan Palestina dengan Masjidilaqsa secara umum, keluarga muslim telah mengetahuinya. Namun, ada hal penting yang harus dipahami oleh umat Islam, yaitu tentang fakta dan situasi Palestina hari ini. Semua ini akan menentukan langkah apa yang harus ditempuh umat Islam untuk bisa menyelesaikan permasalahan Palestina—yang juga merupakan permasalahan umat Islam.

Sesungguhnya, Tanah Palestina adalah tanah kaum muslim. Ia telah berada di bawah kekuasaan Islam saat dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. pada 15 H. Beliaulah yang langsung menerima tanah tersebut dari Safruniyus di atas sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian ‘Umariyah.

Di antara isinya berasal dari usulan orang-orang Nasrani, yaitu agar orang Yahudi tidak boleh tinggal di dalamnya. Kemudian dibuka kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada hari bersejarah 583 H hari Jumat bertepatan dengan 27 Rajab.

Sepanjang masa kekhalifahan Islam, Palestina tetap berada dalam naungan Khilafah. Tidak pernah orang Yahudi mendapat peluang untuk mengambil sejengkal pun Tanah Palestina. Hingga pada 1901, ketika Khilafah Utsmaniyah mengalami krisis keuangan, pemuka Yahudi Hertzl menawarkan bantuan keuangan kepada Khalifah sebagai kompensasi penempatan mereka.

Namun, Sultan Abdul Hamid II menolak tegas tawaran tersebut. Sang Khalifah dengan lantang dan penuh wibawa menyampaikan pernyataan yang sangat terkenal yang ditujukan kepada Hertz, “Nasihatilah Doktor Hertz, janganlah ia mengambil langkah serius dalam hal ini. Sesungguhnya aku tidak akan melepaskan bumi Palestina meskipun hanya sejengkal! Tanah Palestina bukanlah milikku, tetapi milik kaum muslim. Rakyatku telah berjihad untuk menyelamatkan bumi ini dan mengalirkan darah demi tanah ini. Hendaknya kaum Yahudi menyimpan saja jutaan uangnya. Jika suatu hari nanti Khilafah terkoyak-koyak, saat itulah mereka akan sanggup merampas Palestina tanpa harus mengeluarkan uang sedikit pun. Selagi aku masih hidup, maka goresan pisau di tubuhku terasa lebih ringan bagi diriku daripada aku harus menyaksikan Palestina terlepas dari Khilafah. Ini adalah perkara yang tidak boleh terjadi!”

Benar saja, tatkala Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 1924, akhirnya Palestina jatuh ke tangan Zion*s Yahudi tanpa mereka harus mengeluarkan uang sepeser pun. Zion*s Yahudi berhasil mendirikan entitas “negaranya” pada 1948 dengan menduduki 77% Tanah Palestina dan setelah mengusir 2/3 (dua pertiga) rakyat Palestina dari tanah mereka.

Saat ini, tersisa jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Sejak pendudukan itu, sebanyak 478 desa dilumatkan dari total 585 desa yang ada di wilayah Palestina 1948. Sebanyak 804 ribu orang Palestina hijrah ke luar wilayah terjajah 1948. Sebanyak 30 ribu orang lainnya diusir dari tanah mereka ke daerah-daerah lain.

Sejak pendudukan Zion*s Yahudi pada 1948 hingga hari ini, sudah tidak terhitung jumlah orang Palestina yang tewas dibantai, luka-luka, cacat, hingga kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Banyak kaum perempuan dilecehkan kehormatannya dan banyak anak-anak menjadi yatim piatu, bahkan mereka pun menjadi korban kebiadaban mereka.

Data terbaru, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan bahwa sejak perang pecah pada Oktober 2023, lebih dari 15.000 anak dilaporkan telah menjadi korban tewas. Serangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang kembali digencarkan sejak 18 Maret lalu juga menyebabkan sekitar 100 anak di Gaza menjadi korban tewas maupun terluka per harinya. (Indonesia Defense, 10-4-2025).

Solusi Palestina Hanya dengan Jihad

Semua fakta itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Zion*s Yahudi terhadap saudara kita di Palestina bukan sekadar penjajahan, melainkan lebih dari itu, yakni genosida. Mereka membunuhi anak-anak hingga bayi-bayi yang tidak berdosa. Seyogianya semua fakta kebiadaban Zion*s Yahudi ini menjadikan umat Islam dan penguasa negeri-negeri Islam sadar dan tidak boleh tinggal diam terhadap apa yang dialami saudara-saudara dan anak-anak Palestina. Fakta ini juga menunjukkan bahwa Zion*s Yahudi tidak bisa dilawan secara individual, tetapi harus dilawan dengan jihad.

Hanya saja, harus dipahami bahwa aktivitas jihad ini bukanlah aktivitas individual dengan mengirim para sukarelawan atau menjadi sukarelawan, misalnya, ataupun mengirim senjata-senjata. Aktivitas jihad haruslah dimotori atau dikomandoi oleh seorang pemimpin kaum muslim yang menyerukan jihad ke seluruh alam.

Artinya, perlu adanya persatuan kaum muslim karena jihad hanya bisa terwujud secara sempurna dengan adanya kepemimpinan atau komando yang satu untuk seluruh kaum. Ini semua hanya akan terwujud secara hakiki ketika umat Islam bersatu padu dalam satu ikatan akidah Islam yang akan mampu menghimpun dan mempersatukan tentara kaum muslim untuk membebaskan Palestina.

Untuk mewujudkan itu semua, harus ada pemahaman yang benar tentang makna jihad yang sesungguhnya dan apa jalan yang harus ditempuhnya sehingga umat Islam mampu mengusir Zion*s Yahudi dari Tanah Palestina.

Memahami Makna Jihad secara Syar’i

Jihad secara bahasa bermakna ‘mengerahkan kemampuan’ (Al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i, VII/97), termasuk bersabar menghadapi kesulitan yang boleh jadi dalam peperangan maupun tekanan hawa nafsu. Ini termasuk konotasi bahasa bagi kata “jihad”. Namun, kata ini telah ditransformasikan oleh Al-Qur’an dari makna bahasa (haqiqah lughawiyyah) ke dalam makna syar’i (haqiqah syar’iyyah) sehingga mempunyai konotasi yang khas. (Al-‘Allamah Syekh Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, I/40).

Berdasarkan hal tersebut, fukaha mazhab mendefinisikan jihad. Menurut Mazhab Hanafi, jihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk berperang di jalan Allah, baik langsung, atau membantu dengan harta, pandangan, memperbanyak jumlah pasukan ataupun yang lain. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, jihad adalah perang orang Islam melawan kaum kafir yang tidak mempunyai perjanjian, untuk menegakkan kalimat Allah, atau keikutsertaannya untuk berperang, atau masuk ke negeri kaum kafir untuk berperang. (Syekh Muhammad ‘Ilyas, Manhu alJalil, Mukhtashar Sayyidi Khalil, III/135).

Hal yang sama ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau tidak membahas makna lain dalam bab “Jihad”, kecuali yang terkait dengan perang, memerangi kaum kafir, baik fardu kifayah maupun fardu ain, atau kesiagaan kaum mukmin dari serangan musuh dan menjaga perbatasan.

Sementara itu, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 menjelaskan bahwa jihad menurut pengertian bahasa adalah badzlul wus’i atau mengerahkan segenap kemampuan. Sedangkan secara syar’i, pengertian jihad adalah badzlul wus’i fil qitaali fii sabilillahi mubasyarotan aw mu’awanatan bi maalin aw ra’yin aw taktsiri sawaadin aw ghairi dzalika (mencurahkan segenap kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan dan lain sebagainya).

Makna syar’i dari “jihad” ini diambil dari Al-Qur’an dan Sunah. Firman Allah Swt. dalam QS At-Taubah ayat 41, “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj: 78).

Juga sabda Nabi ﷺ, “Wajib atas kalian berjihad di jalan Allah Taala karena sesungguhnya jihad di jalan Allah itu merupakan salah satu pintu dari pintu-pintu Surga, Allah akan menghilangkan dengannya dari kesedihan dan kesusahan.” (HR Al-Hakim dan Ahmad).

Makna jihad dalam nas-nas di atas, dilihat dari asbabunnuzul-nya dan penafsiran para mufasir yang muktabar, berekuivalen dengan “qital” seperti yang Allah firmankan, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).

Bagaimana dengan Jihad di Palestina?

Jika kita perhatikan nas-nas berkenaan dengan jihad, kita akan mendapati bahwa di dalamnya mengandung tuntutan untuk dilakukan, ditambah lagi adanya celaan bagi orang-orang yang tidak melaksanakannya ketika diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ. Artinya, jihad merupakan aktivitas yang diperintahkan Allah Swt., wajib hukumnya, dengan perincian bahwa jihad ada dua macam, yakni ofensif dan defensif.

Jihad ofensif adalah jihad yang bersifat menyerang, menaklukkan negeri-negeri yang menolak untuk menerapkan sistem Islam. Jihad ini dilakukan setelah negeri-negeri tersebut diberikan pilihan seperti yang Rasulullah ﷺ  tetapkan, yaitu ditawarkan untuk masuk Islam. Jika menolak, ditawarkan bergabung dengan Daulah Islam yang jika bersedia, mereka akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim serta diminta membayar jizyah. Yang menerima salah satu dari opsi ini (masuk Islam atau bergabung dengan Daulah), tidak akan diperangi. Namun, jika menolak keduanya, akan dilancarkan perang kepada mereka.

Ini karena jihad ofensif adalah bagian dari pengembanan dakwah Islam yang dilakukan Khilafah ke seluruh penjuru dunia. Alhasil, dalam pelaksanaannya, jihad ofensif harus dipimpin atau diperintahkan oleh khalifah. Jika belum tegak kekhalifahan seperti saat ini, jihad ofensif tidak dapat terlaksana.

Hukum asal dari jihad ofensif adalah fardu kifayah. Artinya, jika sebagian kaum muslim telah melaksanakannya sehingga tuntutan syarak dapat diwujudkan, kaum muslim yang lain pun terbebas dari kewajiban tersebut. Contoh dari jihad ofensif ini adalah serangan pasukan yang dipimpin Rasulullah ﷺ ke Hunain dan Tabuk. Pada masa para kekhalifahan, jihad ofensif terus dilaksanakan sehingga berhasil menaklukkan Persia, Syam, Mesir, bahkan Andalusia dan Semenanjung Balkan.

Sementara itu, jihad defensif dilakukan saat kaum muslim di suatu wilayah mendapat serangan musuh, tanah mereka diduduki. Dalam kondisi ini, hukumnya fardu ain bagi setiap orang. Begitu juga jihad, menjadi fardu ain bagi orang yang Khalifah telah memberikan perintah atasnya untuk berjihad. (Dr. Muhammad Khair Haekal, 2016, Mukhtashar Fiqih jihad).

Khatimah

Berdasarkan semua penjelasan di atas, di Palestina saat ini wajib hukumnya bagi kaum muslim Palestina untuk menegakkan jihad defensif. Apabila mereka tidak mampu, menjadi fardu kifayah bagi kaum muslim yang lainnya untuk membantu, mulai dari wilayah yang terdekat hingga yang lebih jauh.

Kaum muslim harus menyeru para penguasa muslim untuk menggerakkan pasukannya berjihad melawan Zion*s. Hal ini hanya dapat terwujud dalam satu komando seorang pemimpin kaum muslim yang satu. Juga hanya akan terwujud secara hakiki ketika umat Islam bersatu padu dalam satu ikatan akidah Islam yang mampu menghimpun dan mempersatukan tentara kaum muslim untuk membebaskan Palestina. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]

Sumber: Muslimahnews.net