Oleh: Editorial Muslimah News
Suaramubalighah.com, Opini — Senin (21-4-2025), Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), merilis data, jumlah korban anak yang tewas sejak berakhirnya gencatan senjata pada 18 Maret 2025 mencapai 600 orang dari 1.522 orang korban. Sementara jumlah anak-anak yang terluka mencapai lebih dari 1.600 orang, dari total 3.834 korban.
Pasca-gencatan senjata, situasi Gaza memang jauh lebih mencekam. Bumi Gaza pun kerap disirami hujan darah diikuti serpihan daging manusia akibat gelombang serangan bom Zion*s yang makin masif dan brutal. Mereka pun tidak segan-segan menyerang pengungsian dan membakar hidup-hidup para korban, hingga langit Gaza pun riuh dengan tangis dan jeritan yang sangat memilukan.
Mirisnya, semua ini terjadi di tengah pemberlakuan kembali blokade darat yang telah menyebabkan berbagai wilayah dilanda krisis pangan. Jutaan penduduk Gaza yang tersisa kehilangan pendapatan. Mereka pun mengalami kelaparan parah. Sampai-sampai dikabarkan sebagian dari mereka terpaksa memakan daging kura-kura untuk sekadar bertahan.
Masih Sibuk Beretorika
Terkait situasi ini, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) telah memberikan peringatan keras mengenai memburuknya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun mirisnya, para penguasa Arab beserta pemimpin muslim lainnya masih saja sibuk beretorika dan mencari dalih untuk menutupi ketakberdayaan mereka.
Pada Sidang Umum ke-150 Inter-Parliamentary Union (IPU) yang dilaksanakan pada 6 April 2025 lalu di Tashken, Uzbekistan, soal Gaza dan Palestina hanya dibahas sepintas lalu saja. Ketua Parlemen Turki Numan Kurtulmus, misalnya, hanya menyebut, Palestina adalah ‘ujian lakmus’ bagi keadilan dan hati nurani global. Ia pun mengakui bahwa ada kebutuhan akan sistem baru dan arsitektur politik dan ekonomi global baru. Hanya saja apa langkah konkretnya, tidak dibahas lebih mendalam.
Begitu pun ketika para perwakilan parlemen dunia berkumpul dan berdiskusi dalam acara bertema “The Group of Parliaments in Support of Palestine” di Istanbul, Turki pada 18 April 2025, masalah Gaza Palestina hanya dibahas sebatas perbincangan. Deklarasi yang dihasilkan pun hanya mengulang-ulang kata klise seputar kemestian mendukung kemerdekaan Palestina serta desakan agar Zion*s menghentikan genosida.
Bahkan seperti diduga sebelumnya, seruan jihad dan tuntutan pengiriman tentara yang disampaikan para ulama dunia yang tergabung dalam International Union Of Muslim Scholars (IUMS) pada 4 April 2025 pun akhirnya berlalu begitu saja. Para penguasa muslim di dunia sama sekali tidak menggubrisnya. Mereka tampak benar-benar berhitung atas konsekuensi yang akan diterima jika mereka membantu Gaza. Tampak betapa besar ketakutan mereka kepada Amerika, dan betapa besar pula cinta mereka kepada kursi kekuasaannya.
Memang tidak dimungkiri, rata-rata kekuasaan mereka tegak di atas dukungan dan legitimasi negara adidaya, khususnya Amerika. Itulah mengapa, mereka selalu berjalan bersisian dengan kebijakan Amerika. Bahkan sebagian dari mereka bertanggung jawab atas berdirinya negara hoaks yang menjadi pangkal masalah Palestina. Sementara penguasa Arab lainnya satu demi satu menuruti titah Amerika untuk menormalisasi hubungan dengannya. Padahal, penjajahan dan pembantaian itu nyata-nyata terjadi di depan mata mereka.
Sebagian mereka memang ada yang memilih bersikap “netral” atau malah berpura-pura galak pada Zion*s dan Amerika. Namun di belakang layar, tangan-tangan mereka justru bersalaman dengan musuhnya dan mendukung skenario musuhnya, seperti menyuarakan solusi dua negara. Mereka rela bermuka dua, hanya demi merebut simpati rakyat dan umat Islam dunia. Namun, pada saat yang sama mereka tidak mau kehilangan simpati dari para tuannya.
Wajar jika tidak ada satu pun dari mereka yang muncul sebagai ksatria bagi Gaza, Palestina. Suara dan tangan mereka kelu untuk memobilisir tentara dan senjata yang sejatinya ada pada genggaman mereka. Sampai-sampai warga Gaza pun putus asa meminta tolong pada mereka. Mereka lantang mengingatkan agar para penguasa itu bersiap menghadapi pertanggungjawaban berat di yaumil hisab.
Wahai Umat, Kekuasaan Sejatinya Milik Kalian!
Hingga 15 April 2025, Anadolu Ajansi melaporkan jumlah penduduk Gaza yang tewas sejak 7 Oktober 2025 sudah mencapai 51.000 orang. Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) pun telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Namun, semuanya tampak tidak ada guna. Pihak Zion*s atas bantuan Amerika makin bebas merdeka membuat kerusakan di bumi Gaza. Mereka begitu terobsesi untuk menguasai penuh Jalur Gaza sebagai bagian langkah menata ulang Timur Tengah menjadi Israel Raya. Mereka memang bercita-cita menguasai wilayah yang membentang dari Sungai Nil di Mesir ke Sungai Efrat yang melintasi tiga negara utama, yakni Turki, Suriah, dan wilayah Irak.
Semua realitas yang terjadi ini semestinya menjadi pengingat bahwa harapan penyelesaian masalah Gaza dan Palestina bukan ada pada para penguasa Arab, Turki, Indonesia, dan lainnya. Apalagi ada pada negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga internasional yang justru dibuat dan disetir untuk menjadi alat melanggengkan penjajahan mereka atas dunia.
Umat semestinya sadar bahwa sejatinya urusan Gaza, Palestina, ini ada pada tangan-tangan mereka karena sejatinya merekalah pemilik hakiki kekuasaan. Di tangan merekalah hak untuk memilih penguasa yang siap menjalankan syariat Islam, termasuk yang siap mengurus dan menjaga rakyatnya dari segala bentuk kezaliman dan upaya penjajahan.
Namun sayangnya, kekuasaan itu telah lama direnggut paksa oleh para penjajah dan diberikan pada para anteknya dengan berbagai cara. Yang paling halus tapi dampaknya fatal adalah dengan penerapan sistem sekuler demokrasi di negeri-negeri Islam. Dengan sistem ini, umat dibiarkan merasa menjadi pemilik kekuasaan, padahal sejatinya mereka hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan.
Oleh karenanya, tidak cukup hanya menuntut penguasa membela Gaza dengan turun ke jalan. Umat harus berupaya mewujudkan kepemimpinan yang benar-benar berlandaskan Islam, yakni seorang khalifah yang berfungsi sebagai rain (pengatur) dan junnah (penjaga) bagi umat dengan menerapkan hukum-hukum Islam.
Khalifah juga tidak akan tunduk pada kekufuran karena Islam jelas-jelas mengharamkan. Khalifah bahkan akan memobilisir seluruh kekuatan, termasuk memimpin jihad, mengerahkan tentara dan senjata, demi membela umat dan menghilangkan segala bentuk kezaliman, termasuk membela muslim Gaza. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.”(HR Muslim).
Sungguh saat ini posisi umat islam sedang berada di titik nadir berbagai bidang kehidupan. Jumlah mereka yang 2,4 milyar jiwa atau sekira 25% penduduk dunia, nyatanya tidak mampu mewarnai, apalagi memimpin peradaban dunia. Kondisi umat Islam di dunia hari ini benar-benar seperti gambaran Rasulullah saw., yakni seperti buih di lautan atau seperti hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Khatimah
Alhamdulillah suara pembelaan terhadap nasib warga Gaza masih bergema dimana-mana. Aksi-aksi bela Palestina pun terus berjalan di berbagai wilayah dunia termasuk di Indonesia. Meski narasinya belum satu suara dan masih banyak yang fokus pada sisi kemanusiaan dengan mengedepankan solusi-solusi parsial yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan, namun pelan tetapi pasti, dakwah ideologis mulai berpengaruh di tengah umat.
Umat tampaknya mulai menyadari bahwa masalah krisis Gaza dan Palestina bukan sekadar masalah kemanusiaan, tetapi merupakan masalah politik dan ideologi alias perang peradaban. Kenapa? Karena krisis ini awalnya berpangkal dari masalah/konspirasi politik berupa penjajahan yang didukung oleh kekuatan politik sehingga butuh penyelesaian politik, salah satunya dengan menggunakan kekuatan militer untuk mengusir penjajah dari bumi Palestina.
Alhasil akhir-akhir ini, seruan pembelaan yang umat sampaikan dalam aksi-aksi mereka sudah meningkat eskalasinya, yakni berupa tuntutan pengiriman tentara dan jihad fi sabilillah. Tuntutan ini bahkan mulai disampaikan oleh kalangan umat yang selama ini selalu fokus pada ajakan untuk menggalang bantuan logistik, gerakan boikot, dan ajakan melangitkan doa-doa semata.
PR-nya adalah bagaimana memahamkan umat bahwa seruan ini tidak mungkin disambut oleh para penguasa yang ada. Mereka justru membutuhkan seorang khalifah yang dibaiat oleh umat untuk menjalankan hukum-hukum syara termasuk memimpin jihad melawan musuh-musuh yang memeranginya. Sehingga seruan pengiriman tentara, semestinya disandingkan dengan seruan penegakkan Khilafah Islam yang akan menggantikan kedudukan para penguasa khianat.
Kedatangan kembali Khilafah memang sudah Allah janjikan dan merupakan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah saw.. Hanya saja, umat Islam dituntut untuk memperjuangkannya. Caranya adalah dengan menapaki jalan dakwah yang dicontohkan Rasulullah saw. bersama sebuah partai politik atau jemaah yang ikhlas berdakwah semata-mata karena Allah dan menjalankan seluruh aktivitas dakwahnya tanpa bergeser sedikit pun dari tuntunan-tuntunan Islam. [SM/Ah]
Sumber: Muslimahnews.net