Dari Ibu Kaysa – Samarinda,
Assalamu’alaikum wr wb. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan siapa saja yang akan menikah wajib mengantongi sertifikat siap/layak menikah. Saya ingin bertanya beberapa hal terkait sertifikasi pernikahan :
Pertama, Apa yang dimaksud pemerintah dengan sertifikasi pernikahan ?
Kedua, Apakah sertifikasi bisa menyelesaikan masalah rumahtangga yang umumnya dipicu masalah ekonomi hingga berakhir pada perceraian?
Ketiga, Apakah Islam mengatur persiapan pernikahan sebelum melangsungkan pernikahan sehingga layak mendapat sertifikat?
Jawab:
Wa’alaikumussalam warahmatullaahi wa barakaatuh.
Ibu Kaysa yang dirahmati Allah…, memang benar negeri ini kembali dihebohkan dengan wacana kebijakan yang akan ditetapkan pemerintah, yakni kewajiban memiliki sertifikat siap nikah bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan. Rencana tersebut disampaikan Menko PMK, seperti diberitakan media CNN: Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, berencana membuat program sertifikasi persiapan perkawinan berupa kelas atau bimbingan pranikah wajib bagi setiap pasangan. Rencananya program ini berlaku pada 2020 dan Pemerintah tidak akan memungut biaya untuk program tersebut alias gratis.https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191115075450-20-448522/sertifikasi-siap-kawin-antara-kebutuhan-dan-merepotkan.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyiapkan pasangan tersebut mampu menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam rumahtangganya. Hal ini diperjelas Muhadjir dalam pernyataannya: “Setiap siapapun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga, terutama dalam kaitannya dengan reproduksi. Karena mereka kan akan melahirkan anak yang akan menentukan masa depan bangsa ini,”https://www.merdeka.com/peristiwa/menko-pmk-sertifikat-nikah-agar-calon-pengantin-siap-berumah-tangga.html
Rencana ini menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Diantara yang kontra adalah Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang. Marwan tidak setuju karena menurutnya menikah adalah urusan pribadi sehingga Negara tak perlu ikut campur mengurusinya:“Tak pantas itu diurus pemerintah, karena urusan yang sangat pribadi,”. Diapun mempermasalahkan bahwa urusan izin nikah bukan merupakan tupoksi teknis Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, melainkan Kementerian Agama. https://www.merdeka.com/peristiwa/menko-pmk-sertifikat-nikah-agar-calon-pengantin-siap-berumah-tangga.html
Sementara Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan pihaknya mendukung gagasan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) tentang kursus pra nikah. Menurutnya, hal itu sejalan dengan program bimbingan perkawinan (bimwin) calon pengantin (Catin) yang sudah diselenggarakan Kementerian Agama sejak dua tahun terakhir. Bimwin ditujukan untuk membantu pasangan suami isteri menghadapi masalah rumahtangga. Diharapkan setelah mengikuti pembekalan pasangan baru ini akan mampu menyelesaikan/menghindari masalah keluarga seperti perceraian, gizi buruk dan stunting yang banyak menimpa anak-anak.
Ibu Kaysa yang dirahmati Allah.., program sertifikasi ini digadang-gadang bisa meningkatkan kualitas keluarga sehingga diharapkan akan mampu menyelesaikan masalah rumah tangga. Namun apakah program ini akan efektif? Sebut saja sebagai contoh tingginya angka perceraian. Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, Abdul Manaf membenarkan tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama sejak terjadinya krisis ekonomi moneter 1997-1998 silam hingga saat ini yang berpengaruh pada tingkat angka perceraian di berbagai daerah. Menurutnya mayoritas penyebab perceraian didorong dua persoalan besar yang sering dialami dalam gugatan perceraian yakni persoalan ekonomi dan perselisihan yang tidak berkesudahan dalam membina mahligai rumah tangga. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1fb923cb04f/melihat-tren-perceraian-dan-dominasi-penyebabnya/
Mungkin saja salah satu penyebab masalah ekonomi ini karena suami kurang memiliki kemampuan atau kemauan untuk mencari nafkah keluarga. Ujungnya dia dianggap kurang bertanggung jawab sehingga memicu isteri melakukan gugat cerai. Namun, jika ditelaah lebih cermat, tidak sedikit suami yang sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi tetap saja rumahtangganya menghadapi krisis ekonomi. Ada juga suami yang mengalami PHK, bukan karena malas tapi disebabkan kebijakan ekonomi kapitalis yang mengedepankan efisiensi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya sekalipun harus menggantikan tenaga manusia oleh kecanggihan mesin. Jadi masalah ekonomi keluarga ini bukan semata kelemahan individu suami. Penyebabnya lebih besar dari itu, yakni salahnya kebijakan ekonomi yang diterapkan Negara. Kapitalisme telah menghantarkan Negara melalaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat. Kehadiran Negara dominan untuk membela kepentingan para pemilik modal. Padahal semestinya Negara ada untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya. Jika Negara serius ingin mengeluarkan rakyatnya dari himpitan kesulitan ekonomi, maka sudah seharusnya Negara mengevaluasi kebijakan tersebut dan menggantinya dengan kebijakan yang berorientasi pelayanan publik, bukan mementingkan kepentingan pengusaha.
Demikian juga penyelesaian konflik dan ketidakharmonisan diantara suami istri, tidak cukup dicegah hanya dengan training selama beberapa hari. Kadang pemicu perselisihan adalah karena masing-masing tidak memahami hak dan tanggung jawab suami-isteri, atau karena gaya hidup liberal yang menjerumuskan pada perselingkuhan, dan yang paling menentukan dikarenakan tidak adanya standar syari’ah dalam menyelesaikan prahara rumah tangga. Jadi, semua bermula dari tidak adanya pemahaman yang benar terkait keluarga. Meluruskan pemahaman tentu sangat sulit jika dilakukan hanya dalam waktu terbatas semisal pembekalan singkat.
Sementara untuk menyelesaikan kasus gizi buruk dan stunting pada anak, masalahnya bukan hanya terletak pada peningkatan pengetahuan orang tua terkait makanan yang baik bagi anak-anak mereka. Akar masalah yang paling mendasar adalah kemiskinan yang disebabkan oleh penerapan ekonomi kapitalis. Di tengah sulitnya mencari pekerjaan harga kebutuhan pokok malah terus melambung. Demikian juga kesehatan dan pendidikan kian sulit dijangkau oleh mayoritas masyarakat. Dalam kondisi yang semakin menghimpit seperti ini jangankan pencapaian kualitas makanan dan tercukupi nilai gizinya, sekedar untuk memenuhi jumlah asupannya saja sudah menjadi barang langka. Jadi, solusinya bukan hanya penyiapan pengetahuan calon pengantin, namun dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya serta memastikan masyarakat mempunyai daya beli yang cukup. Karenanya, sertifikat siap nikah bukan jaminan terselesaikannya masalah rumahtangga seperti percerian dan gizi buruk
Ibu Kaysa yang dirahmati Allah.., Dalam Islam tidak dikenal syarat kelayakan seseorang menikah harus memiliki sertifikat yang menandakan telah mengikuti pembekalan dan dinyatakan lulus. Persyaratan seperti itu boleh jadi malah dianggap mempersulit proses pernikahan. Tidak mustahil bagi orang yang lemah imannya namun naluri seksualnya sudah menuntut pemenuhan, dia akan melampiaskannya lewat perzinahan yang diharamkan Allah SWT.
Aturan Islam justru mempermudah seseorang untuk menikah. Bahkan Rasulullah saw menyebutkan bahwa pernikahan terbaik adalah yang paling mudah. Hal tersebut dinyatakan dalam sabda beliau:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’”(HR.Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid)
Dalam Islam tidak ada larangan menikah bagi siapapun yang memiliki keterbatasan ekonomi. Justru Allah mengingatkan bahwa Dia lah yang akan memberikan kecukupan, sebagaimana firman Nya:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”(An-Nuur[2]: 32).
Banyak sekali dalil yang menyatakan anjuran dan pujian bagi siapapun yang menikah. Diantaranya adalah dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”
Bahkan orang yang menikah demi untuk menjaga kesucian dirinya dari perbuatan yang diharamkan Allah dijanjikan layak mendapat pertolongan Nya, hal tersebut disampaikan Rasulullah saw dalam hadis beliau:
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ: اَلْمُكَـاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
“Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah; seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil kepada tuannya, orang yang menikah karena ingin memelihara kesucian, dan pejuang di jalan Allah.”(HR. At-Tirmidzi (no. 1352) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1512).
Ibu Kaysa…, sekalipun kelayakan siap nikah bukan menjadi syarat, namun bukan berarti Negara tidak bertanggung jawab dalam pemastiannya. Tanggung jawab ini akan direalisasikan lewat penerapan sistem pendidikan yang berbasis akidah dan pemberlakuan kurikulum yang akan melahirkan peserta didik yang mampu mengemban taklif sebagai hamba Allah. Keimananlah yang akan menjadi pendorong setiap orang untuk beramal. Termasuk motivasi kerja para suami semata demi untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya. Demikian juga isteri akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan panduan syari’ah.
Sementara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga, Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Negara akan memastikan setiap kepala keluarga memiliki matapencaharian agar bisa menafkahi keluarganya . Karenanya Negara akan membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal.
Ibu Kaysa.., akhirnya bisa disimpulkan bahwa sertifikasi pernikahan bukan solusi masalah rumah tangga. Kita justru harus mewaspadai dampaknya seperti maraknya pergaulan bebas (karena menikah dipersulit) dan muatan muatan yang bertentangan dengan Islam seperti kespro (kesehatan reproduksi), ide gender, dan moderasi agama yang menjadi salah satu tema pembekalan. Wallahu A’lam[]