Menjawab Tuduhan Kaum Feminis tentang Keadilan Islam Terhadap Perempuan

Oleh : Najmah Saiidah

Suaramubalighah.com, Takbir Afkar- Persoalan perempuan memang kerap menjadi agenda penting untuk diperbincangkan, terlebih-lebih ketika berkembang opini tentang ketidakadilan, ketertindasan atau eksploitasi terhadap kaum hawa ini. Peran dan hak-hak perempuan selama ini ‘dianggap’ masih berada pada posisi terpinggirkan, dinilai hanya sebagai pelengkap atau sub-ordinat kaum laki-laki, terutama jika memasuki pembahasan keluarga atau politik (=kekuasaan).  Dan seringkali yang dipersalahkan adalah adanya sistem formal yang dianggap masih memihak kepada kepentingan kaum laki-laki.

Sistem/struktur masyarakat  patriarkhi, yaitu konsep yang mengagungkan atau memberikan kekuasaan kepada laki-laki, dianggap sebagai biang keladi langgengnya ketidakadilan terhadap perempuan.   Seorang feminis muslim, Asghar Ali Engineer dalam bukunya Hak-hak Perempuan dalam Islam mengungkapkan : Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali masyarakat matriarkhar, yang jumlahnya tidak seberapa.  Perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.  Dari sinilah muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.  Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki dan karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki.  Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki atau suami.  Alasannya, untuk kepentingannyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul.  Dengan dibatasi di rumah dan di dapur, dia dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya.

Dan pada akhirnya Islam dituding sebagai agama yang tidak memihak atau tidak adil kepada perempuan karena sebagian aturan-aturannya dianggap mengekang kebebasan kaum perempuan.  Aturan-aturan Islam ‘klasik’ dianggap terlalu maskulin, cenderung bias gender,  menempatkan perempuan pada posisi nomor dua setelah kaum laki-laki.  Sehingga akhirnya  aturan-aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini, karena bertentangan dengan konsep kesetaraan dan keadilan, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan waris, poligami, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, nafkah, pakaian muslimah, terlebih-lebih kepemimpinan laki-laki dalam negara.Karenanya tidak aneh jika kemudian muncul tuntutan dari feminis muslim untuk merekonstruksi ulang hukum-hukum tersebut.  Salah seorang di antaranya adalah Riffat Hassan, menurutnya:diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan gender yang menimpa perempuan dalam lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an.  Oleh sebab itu ia menyerukan untuk melakukan dekonstruksi pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa sebagai perempuan pertama.  Benarkah Islam tidak adil terhadap perempuan ?

Mencari Akar Masalah

Merebaknya paham kapitalisme-sekularisme di tengah-tengah kaum muslimin yang melahirkan kebebasan dan gaya hidup individualis-materialistis rupanya telah memberi pengaruh besar terhadap kaum muslimin dan mengkondisikan mereka untuk menerima apapun yang berbau ‘modern’.  Sehingga wajar jika kebahagiaan diukur dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi seperti terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani atau sebanyak mungkin materi yang dihasilkan.  Maka para perempuan bersaing dengan kaum laki-laki untuk menghasilkan karya dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, sehingga peran perempuan sebagai istri dan ibu seringkali diabaikan dan dianggap sebagai peran yang tidak berarti karena tidak dapat memberikan kontribusi secara ekonomi kepada keluarga.           

Para perempuan bersaing dengan laki-laki untuk merebut posisi tertinggi dalam suatu pekerjaan, lembaga bahkan dalam pemerintahan tanpa mencermati terlebih dahulu apakah langkah tersebut diperbolehkan atau tidak oleh Islam. Mereka bangga menjadi seseorang yang mampu memberi kontribusi besar secara ekonomi kepada keluarga dan menyerahkan pengurusan anak-anaknya kepada orang lain.  Mereka nyaris menanggalkan kebanggaan menjadi seorang muslimah dan meninggalkan kemuliaannya sebagai istri dan ibu, pengasuh dan pendidik bagi anak-anak dan masyarakatnya, bahkan peran ini diremehkan oleh mereka.  Bahkan di panggung politik pun demikian, mereka berlomba meraihnya tanpa memperhitungkan tugas dan peran strategis mereka sebagai pencetak generasi berkualitas

Benarkah Islam Tidak Adil Terhadap Perempuan ?

Awal kemunculan Islam  membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan tatanan kehidupan masyarakat. Tidak ada satupun yang bisa mengingkari–bahkan kaum feminispun—fakta, bahwa justru Islamlah yang menghapus tindakan semena-mena yang dilakukan di masa jahiliyah terhadap bayi perempuan yang lahir.  Dari fakta ini saja,jelas bahwa Islam sangat  Islam sangatlah menjunjung tinggi nilai keadilan. Nilai keadilan yang diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Keadilan merupakan salah satu unsur penting dalam Islam yang harus ditegakkan.  Karenanya tidak sedikit ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umat-Nya agar berlaku adil dalam segala hal. Salah satunya : “Berlaku adillah karena adil (adl) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Maidah:8).  Jika Al-Qur’an memerintahkan bersikap adil, mana mungkin Islam tidak adil ? Termasuk kepada perempuan ?  Sungguh merupakan tuduhan yang salah alamat !

Dari sisi makna adil pun sesungguhnya apa yang diusung oleh feminis tidaklah tepat, jika dinilai harus sama segala sesuatunya bagi laki-laki dan perempuan.  Karena faktanya pun memang tidak bisa dipersamakan dalam segalanya hal terkait bagi laki-laki dan perempuan dengan sama persis, karena memang masing-masing memiliki keistimewaan.  Secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, dan perbedaan ini memberikan konsekuensi logis yang akhirnya ada hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.  Semisal bagi perempuan memiliki rahim sedang laki-laki tidak, sehingga hukum berkaitan kehamilan dan pengasuhan anak diberikan kepada perempuan, tidak kepada laki-laki.

Konsep keadilan dalam perspektif Alquran dapat dilihat pada penggunaan lafaz adil dalam berbagai bentuk dan perubahannya. Muhammad Fuad Abdul Baqiy dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz mengemukakan, lafaz adil dalam Alquran disebutkan sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surah.Secara etimologis al-adl bermakna al-istiwa (keadaan lurus). Kata ini semakna dengan jujur, adil, seimbang, sama, sesuai, sederhana, dan moderat.Kata yang semakna dengan ini, yaitu al-qisthu dan al-Miza yang berarti berlaku adil, pembagian, memisah-misahkan, membuat jarak yang sama antara satu d-an yang lain, hemat, neraca.  Menurut  Ibnu Khaldun, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya, memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat. 

Perlindungan dan Penghormatan Islam Terhadap Perempuan

Islam yang diturunkan Allah Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui hakikat kaum perempuan, telah menempatkan mereka pada posisi yang layak demi kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, bila para muslimah memahami, sungguh menarik bahwa dalam konsep Islam, pahala surga bagi perempuan lebih mudah untuk diraih daripada kaum laki-laki. Seperti dialog yang terjadi antara Asma’ binti Yazid dengan Rasulullah SAW, Asma’ berkata, “Wahai Rasulullah bukankah Engkau diutus oleh Allah untuk kaum laki-lakidan juga perempuan, kenapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum laki-laki, mereka diwajibkan jihad kami tidak, malah kami mengurus harta dan anak mereka di kala mereka sedang berjihad, mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum’at kami tidak, mereka diperintahkan mengantar jenazah sedangkan kami tidak.” Rasulullah SAW tertegun atas pertanyaan perempuanini sambil berkata kepada para shahabat, “Perhatikan betapa bagusnya pertanyaan perempuanini.” Beliau melanjutkan, “Wahai Asma’! Sampaikan jawaban kami kepada seluruh perempuandi belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum laki-laki itu.” (Diterjemahkan secara bebas, HR. Ibnu Abdil bar).

Islam memandang bahwa perempuan adalah sosok manusia dengan seperangkat potensi yang ada pada dirinya.  Sebagaimana laki-laki, perempuan dibekali  potensi berupa akal, naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), serta kebutuhan jasmani sebagai sarana untuk mengabdi kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu Allah memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan, seperti kewajiban sholat, puasa, zakat, haji, amar makruf nahi munkar dan sebagainya.  Akan tetapi adakalanya Syariat Islam menetapkan adanya pembebanan hukum (hak dan kewajiban) yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.  Kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kaum laki-laki tidak kepada perempuan, juga terkait dengan masalah perwalian diserahkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula dengan kepemimpinan dalan negara, diberikan kepada kaum laki-laki dan diharamkan kepada perempuan.  Sedangkan masalah kehamilan, penyusuan, pengasuhan anak serta peran dan fungsi lain sebagai ibu dan pengatur rumah (ummu wa rabbatul bait) dibebankan kepada perempuan saja dan tidak kepada laki-laki.  Tetapi semua itu tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi atau ketidakadilan syariat Islam terhadap kaum perempuan.  Sebab, jika dicermati pembedaan tersebut karena memang ada perbedaan tabiat fitri yang dimiliki oleh masing-masing dan menyangkut peran dan posisi masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Justeru pembedaan ini merupakan cerminan dari Maha Adil dan Maha sayangnya Sang Pencipta terhadap ciptaannya, betapa Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan kaum perempuan. Demikian halnya dengan kewajiban memakai kerudung dan jilbab, serta keharusan ditemani mahrom ketika perempuan melakukan perjalanan lebih dari 24 jam, atau ketika ia pergi haji atau umroh.  Semua ini sesungguhnya merupakan penjagaan Islam bagi perempuan, Maha Adil, Maha Sayang dan Kasihnya Allah terhadap perempuan. 

Karenanya dengan pembedaan ini keduanya, laki-laki maupun perempuan dituntut untuk saling mengisi dan berbagi dalam mengemban amanah sebagai hamba Allah, yang semuanya harus bermuara pada tujuan yang sama yaitu meraih ridho Allah swt.  Apapun dan bagaimana kondisinya, apapun yang dibebankan oleh Allah, baik sebagai hamba Allah, anggota keluarga—apakah sebagai anak, istri dan ibu—dan juga anggota masyarakat, apakah beban yang diberikan sama atau berbeda dengan kaum laki-laki, maka perempuan akan memperoleh kemuliaannya selama seluruh beban hukumnya dilaksanakan dengan ikhlas dan benar sebagai bukti ketundukan dan ketakwaannya kepada Allah swt.  

Wallahu a’lam bishshawwab.

                `