Oleh : Kholishoh Dzikri
Suaramubalighah.com,Takbir Afkar-Kemenangan kembali Taliban dalam menguasai Afghanistan memicu perdebatan sebagian kalangan tentang dar al Islam dan dar al- kufur. Stigma negatif tentang dar al-Islam mampu mempengaruhi benak sebagian kaum Muslimin hingga muncul penolakan terhadap konsep negara Islam. Dar al- Islam digambarkan sebagai negara bar-bar yang mudah menumpahkan darah, hak-hak perempuan dikebiri hingga kehidupannya terkungkung tanpa bisa menikmati kehidupan dunia. Bahkan tidak sedikit yang melontarkan statemen bahwa Islam tidak menentukan bentuk negara. Para cendekiawan Muslim pun tidak segan mengklaim bahwa negara Islam Khilafah tidak mungkin tegak kembali, sekedar menginginkannya pun dinilai sebagai mimpi disiang bolong.
Anggapan dan penilaian ini harus diluruskan dan umat perlu diberi pemahaman yang benar bahwa Islam menentukan jenis negara. Islam menentukan kriteria sebuah negara disebut sebagai dar al- Islam, dan Khilafah Islamiyah adalah negara Islam (dar al-Islam) yang dijanjikan oleh Allah subhanaallahu Wa Ta’ala dan Kabar gembira dari RasulNya.
DAR AL- ISLAM VS DAR AL- KUFUR
Frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase dâr al-kufr juga merupakan istilah syar’i yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan Dar al-Islam.
Istilah dâr al-Islâm dan dâr al-kufr telah dituturkan di dalam hadis dan atsar para Sahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi Muhammad Shalaallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Semua hal yang ada di dalam Dar al-Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.”. Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dar al-Islam, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dar al-Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk dar al-kufur, maka harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya.
Di dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf, hlm. 155-156 dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hijrah. Di dalam surat itu tertulis: “Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Dar al Hijrah dan Dar al- Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dar al-Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, VII/305 [969] mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.”.
Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Dar al-Islam dan dar al al-kufur.
Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut dar al-Islam (negara Islam).
Darul Kufur menurut Syafiiyah adalah negeri-negeri kaum kafir yang tidak ada perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Darul Islam adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad, atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah, atau ditaklukkan secara paksa seperti Khaibar…, atau ditaklukkan secara damai dan tanah menjadi miliki kaum Muslim, sementara kaum kafir membayar jizyah. Sa’di Abu Jayb, al-Qamus al-Fiqhi, hal. 84 (dikutip dari al-Jihad wa al-Qital, Jilid I, hal. 663)
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Atsar al-Harb, hal. 155 (dikutip dari al-Jihad wa al-Qital, Jilid I, hal. 667), menjelaskan bahwa patokan dalam menentukan setatus dar adalah dengan adanya kekuasaan dan pemberlakukan hukum. Jika kedua-duanya Islam maka dar tersebut adalah Darul Islam. Jika tidak maka Darul Harbi.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut ; Penetapan suatu negeri termasuk Dar al-Islam atau dar al-kufur harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Dar al-Islam dan negeri itu telah berubah dari dar al-kufur menuju Dar al-Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi dar al-kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah dar al-kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk dar al-kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk dar al al-kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap disebut dar al-kufur seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul kufur.
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling râjih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Darul Islam adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan (kekuasaan) dalam dan luar negeri, berada di bawah kendali kaum Muslim.
DAR AL-ISLAM HANYA ADA DENGAN KHILAFAH ISLAMIYAH
Konsep Dar al-Islam sesuai syariat Islam sulit dibayangkan jika bukan dalam bentuk negara. Hal itu terutama ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Islam menetapkan berbagai macam hukum yang mengharuskan peran sebagai sebuah negara. Hukum-hukum tersebut antara lain, Penetapan status kewarganegaraan. Seseorang diketahui bahwa ia seorang kafir dzimmi, kafir mu’ahid, kafir musta’min, atau kafir harbi, jika ada batas wilayah negara yang jelas.
Hukum jihad fi sabilillah. Adanya negara dan batas negara yang jelas juga berhubungan erat dengan hukum jihad di jalan Allah sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Anfal Ayat 39
وَقَٰتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ ٱنتَهَوْا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”.
Hukum perjanjian antar negara. Al-Quran telah menyitir dan menjelaskan secara rinci hukum-hukum perjanjian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Kufr dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 4,
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.
Hukum bersiaga di perbatasan negara. Kemestian adanya negara dan batas teritorial yang jelas dan tegas, juga ditunjukkan dengan kewajiban untuk bersiap siaga di perbatasan negara. Allah SWT telah berfirman dalam QS. Ali Imran: 200,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”.
Hukum hijrah, juga sangat terkait dengan adanya negara (dar). Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah SWA bersabda, “Hijrah itu tidak ada putus-putusnya selama musuh itu masih diperangi.” Hijrah adalah berpindah dari wilayah Dar Kufr, menuju wilayah Dar al-Islam.
Negara yang menerapkan berbagai konsep Islam yang berkaitan dengan negara lain (dar al-kufur) hanya negara Khilafah Islamiyah.
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadikan akidah Islam sebagai asas penyelengaraan negara dan pengaturan masyarkat serta menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur seluruh urusan masyarakat.
Khilafah Islamiyah bukan Monarkhi, bukan Kekaisaran, bukan Federasi, bukan pula Republik. Namun Ia adalah sistem pemerintahan yang khas berbeda dengan sistem pemerintahan lainnya.
Khilafah Islam tegak di atas empat pilar utama, yakni: (1) Kedaulatan ada di tangan syariah, yakni kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum ada di tangan Asy-Syari’ (Allah SWT), bukan di tangan rakyat. (2) Kekuasaan di tangan umat yakni rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. (3) kewajiban membaiat hanya seorang khalifah yaitu tidak dibenarkan umat Muslim sedunia memiliki banyak pemimpin seperti sekarang ini. (4) hak mengadopsi hukum ada di tangan Khalifah saja yakni Khalifah satu-satunya pemegang otoritas untuk mengadopsi hukum.
Apabila empat pilar utama tersebut tidak terpenuhi salah satu atau semuanya, maka sebutan Khilafah Islamiyah tidak bisa disematkan.
KHILAFAH MEMULIAKAN PEREMPUAN.
Para pengusung ide feminisme gencar mengkampanyekan tuduhan keji bahwa dar al-Islam ketika ditegakkan akan membelengge hak-hak perempuan. Fakta kehidupan perempuan di Afghanistan dalam pemerintahan Taliban yang diwajibkan memakai burqa’, dilarang bepergian tanpa mahram, semua hiburan atau siaran televisi yang dinilai tidak sesuai Syariat Islam ditutup, perempuan dilarang bekerja di semua sektor – menjadi legitimasi atas tuduhan keji mereka bahwa dar al-Islam (Khilafah Islamiyah) akan membelenggu dan merampas hak kebebasan perempuan.
Realitas perlakuan Taliban kepada perempuan Afghanistan tidak bisa menjadi landasan atas tuduhan mereka karena realitasnya Taliban bukan dar al-Islam yang menerapkan syariat Islam kaffah. Kita harus melihat secara cermat mana kebijakan yang merupakan aturan Islam yang wajib diterapkan namun dinilai membelenggu kebebasan dan kebijakan apa yang tidak tepat dalam pandangan Syariat Islam yang lurus.
Sepanjang sejarah dalam kehidupan Khilafah Islamiyah, Perempuan telah mendapatkan perlakuan yang sangat baik. Bahkan Khilafah telah menempatkan perempuan pada kedudukan yang mulia.
Dalam Khilafah tidak ada penzhaliman hak-hak baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebagai contoh, Umar bin Khatab sebagai Khalifah yang bijak telah mengangkat Syifa binti Sulaiman sebagai qadhi hisbah (salah satu jenis hakim dalam Islam). Ini membuktikan bahwa perempuan boleh terlibat dalam aktivitas politik.
Perempuan dalam Khilafah diperbolehkan duduk di majelis ummah. Perempuan berhak memilih penguasa dan mengoreksinya. Namun, dia tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuannya, seperti menjadi Sales Promotion Girl, model iklan, atau peragawati. Semua itu demi menjaga kehormatan dan mengangkat martabatnya.
Sejarah Islam telah memperlihatkan model cemerlang yang mengungkap peran perempuan dalam mengoreksi penguasa. Adalah seorang muslimah yang menggugat Khalifah Umar bin Khattab ketika Umar menetapkan pembatasan mahar, dengan membacakan surat An-Nisaa:20. Kemudian Umar bin Khattab menarik keputusannya, seraya mengatakan, “Wanita itu benar dan Umar Salah!”
Begitu pula sejarah Islam telah membuktikan dar al-Islam (Khilafah) memberikan perlindungan dan penjagaan kehormatan perempuan. Pada masa Khalifah Al-Mu’tashim Billah, ketika seorang muslimah jilbabnya ditarik oleh salah seorang Romawi, Khalifah serta-merta bangkit dan memimpin sendiri pasukannya untuk membela kehormatan seorang muslimah. Kepala Negara Daulah Khilafah Islamiyah ini mengerahkan ratusan ribu tentaranya ke Amuria-perbatasan antara Suria dan Turki. Sesampainya di Amuria, beliau meminta agar orang Romawi pelaku kedzaliman itu diserahkan untuk diadili. Saat penguasa Romawi menolaknya, beliau pun segera menyerang kota, menghancurkan benteng pertahanannya dan menerobos pintu-pintunya hingga kota itu pun jatuh ke tangan kaum muslimin.
Khalifah Umar bin Khatab suatu saat mendengar keluhan seorang wanita yang ditinggal suaminya berperang, beliau pun bertanya kepada putrinya, Hafshah ummul mukminin tentang lamanya istri sanggup ditinggal suaminya. Hafshah menjawab bahwa perempuan sanggup menahannya selama 4 bulan. Setelah itu Umar pun menurunkan keputusannya kepada panglima perang, agar mengumumkan kepada tentara yang sudah berkeluarga untuk kembali kepada istri mereka setelah 4 bulan.
Fakta sejarah penerapan Islam dalam sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah di dar al-Islam pada masa lalu telah membantah tudingan keji penggiat gender. Tudingan keji mereka sejatinya adalah karena kebencian karena mereka tidak bisa mengumbar hawa nafsunya ketika Islam ditegakkan.
KHATIMAH
Dar al-Islam adalah keniscayaan dalam pelaksanaan syariat Islam. Namun sebagaimana yang dipahami para fukaha dan realitas sejarah kegemilangan Islam, menunjukkan bahwa dar al-Islam hanya akan ada dengan ditegakkannya sistem Khilafah Islamiyah yang akan membedakan dar al-Islam dengan dar al-Kufur.
Adapun kemenangan Taliban di Afghanistan hingga hari ini belum menunjukkan bahwa mereka telah mendirikan dar al-Islam yang sesungguhnya dengan menegakkan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah.
Kemenangan Taliban hanya menjadi tameng penguat propaganda kebencian terhadap Syariat Islam dan Khilafah yang tujuan akhirnya tidak lain melanggengkan Demokrasi-Kapitalisme. WaAllahu A’lam.