Khilafah: Support Sistem Perempuan Bahagia

Oleh: Qisthi Y. Handayani

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Sekularisme, asal katanya ialah sekuler. Istilah sekuler berasal dari bahasa latin saeculum, yang oleh Naquib Al-Attas diistilahkan dengan paham sekularisme atau sekuler adalah ideologi Barat yang menolak sistem agama dalam semua urusan dunia seperti politik, sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Sekularisme sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pemisahan Tuhan dari kehidupan manusia.

Sekularisme Ciptakan Kebahagiaan Semu

Sekularisme memandang kebahagiaan itu adalah tercapainya kebutuhan materi semata tanpa mengindahkan cara untuk memperolehnya. Dengan demikian sumber kebahagiaan dalam sekularisme adalah faktor yang berada di luar dirinya, yakni materi (kepuasan jasmani) seperti kekayaan, kecantikan, atau ketenaran.

Sekularisme ini telah meracuni pemikiran dan cara hidup umat Islam saat ini, tak terkecuali kalangan muslimahnya. Narasi keadilan dan kesetaraan gender (kesalingan) telah mengubah orientasi hidup para muslimah. Perempuan di mata sistem sekuler dinilai mulia, terhormat, dan bahagia jika menghasilkan materi atau uang (berkontribusi secara ekonomi/finansial) dengan bekerja atau berkarya.

Namun di satu sisi, fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) ingin optimal di peran domestik. Oleh kalangan feminis, kondisi demikian dinamakan toxic feminity. Dimana feminitas beracun atau toxic feminity adalah ketika seseorang bekerja untuk keuntungan orang lain (hampir selalu untuk laki-laki) tetapi merugikan dirinya sendiri.
Dengan adanya toxic feminity tersebut dianggap telah membuat banyak perempuan menjalani hidup dengan minim kebahagiaan, depresi, kelelahan, atau solusi yang sangat tidak logis untuk masalah yang kompleks.

Kalangan feminis pun menuntut agar perempuan diberi kebebasan dalam memilih jalan sesuai keinginan dan kemampuannya. Bukan memilih sesuai yang dituntut oleh Penciptanya (Al-Khaliq Al-Mudabbir). Mereka katakan, idealnya seorang ibu yang senang bekerja di luar rumah tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Begitupun sebaliknya, ibu yang bahagia menjadi ibu rumah tangga tidak dibebani dengan stigma negatif hanya menghabiskan uang suami. Dengan karakteristiknya yang pragmatis duniawi, maka konsep sekularisme tentang makna kebahagiaan justru bertolak belakang dengan pandangan Islam.

Makna Kebahagiaan yang Hakiki

Al-Qur’an maupun sunah Rasul telah memberikan jawaban, bahwa faktor dominatif yang menyebabkan orang bisa memperoleh kebahagiaan adalah sakinatul qalb atau ketenangan hati. Yaitu hati yang dipenuhi dengan kuatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan bertindak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.

Dalam Islam, kebahagiaan pada dasarnya merujuk pada salah satu kata dalam bahasa Arab yang disebut sa’adah. Sa’adah adalah kata bentukan dari suku kata sa’ada, yang berarti bahagia.

Definisi bahagia dalam tradisi ilmu tasawuf, seperti yang disampaikan Imam Al-Ghazali dalam karyanya yang monumental Ihya Ulumuddin, merupakan sebuah kondisi spiritual saat manusia berada dalam satu puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Kebahagiaan itu adalah manifestasi berharga dari mengingat Allah SWT.

Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam, kebahagiaan adalah meraih ridha Allah SWT. Kebahagiaan akan diraih, tatkala seseorang menjalankan kehidupan ini sesuai dengan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya untuk mencari ridha Allah SWT. Firman Allah SWT,

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلْجُوعِ وَٱلْخَوْفِ بِمَا كَانُوا۟ يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah memberikan kepada mereka pakaian, kelaparan, dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl [16]: 112)

Sebuah syair dalam bahasa Arab menyebutkan, “Wa-lastu araa as-sa’adata jam’u maalin wa-laakin at-tuqaa lahiya as-sa’iidu.” Artinya, kebahagiaan bukanlah mengumpulkan harta benda, tetapi takwa kepada Allah.

Dalam Al-Mufradat fi Gharaib Al-Qur’an (Juz I), Al-Raghib Al-Asfahany mengartikan kata sa’id dalam Surat Hud Ayat 105 dengan “pertolongan kepada manusia terhadap perkara ketuhanan untuk memperoleh kebaikan”. Dijelaskan pula bahwa kata sa’id yang berarti kebahagiaan adalah lawan dari kata syaqawah/syaqiyyun yang berarti sengsara. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Hud Ayat 105 sebagai berikut,

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِىٌّ وَسَعِيدٌ
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia..”

Tetapi, meskipun kata sa’id adalah terjemahan yang paling dekat dengan bahagia, kata falah, najat, dan najah adalah kata-kata dalam bahasa Arab yang serumpun dengan makna bahagia. Sebab saat orang mendapat keberuntungan, keselamatan, dan kesuksesan, maka perasaannya sudah pasti akan bahagia. Dengan begitu, perempuan akan menemukan kebahagiaan yang hakiki dengan cara menentukan aktivitasnya berdasarkan syariat Islam secara kaffah.

Khilafah, Sistem yang Support Perempuan Bahagia

Kaum perempuan hukum asalnya adalah menjadi seorang ibu dan seorang istri, serta memiliki hubungan suami-istri sesuai dengan apa yang diperbolehkan dan dianjurkan oleh syariat. Laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan dalam kapasitas mereka sebagai manusia. Tetapi pada saat yang sama, Allah SWT telah menciptakan sifat yang membedakan mereka satu sama lain. Allah SWT berfirman,

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Mahahalus, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk:14)

Hukum Islam yang berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan atau hukum yang mengatur perbedaan-perbedaan mereka, menciptakan keselarasan dan keseimbangan antar gender. Karena sesungguhnya Islam datang dengan berbagai aturan, ada yang khusus untuk laki-laki dan ada yang khusus untuk perempuan.

Perempuan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, kecuali Islam mengkhususkannya untuk perempuan atau laki-laki berdasarkan dalil-dalil syara’. Perempuan memiliki hak berdagang, melakukan aktivitas pertanian, perindustrian, dan melakukan berbagai macam transaksi (mu’amalat) lainnya. Perempuan dibolehkan memiliki setiap jenis pemilikan dan mengembangkan kekayaannya, baik sendiri maupun bekerja sama dengan orang lain, serta berhak menjalankan segala urusan kehidupan.

Islam telah menetapkan bahwa kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang menghasilkan ketenangan. Pergaulan suami-istri adalah pergaulan yang penuh persahabatan. Kepemimpinan suami terhadap istri adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab, bukan kepemimpinan seperti seorang atasan kepada bawahannya. Seorang istri diwajibkan taat dan seorang suami diwajibkan memberi nafkah yang layak menurut standar kebiasaan masyarakat di mana mereka tinggal.

Sebagaimana dibuktikan dari catatan pengadilan Khilafah Utsmaniyah, pengadilan-pengadilan negara memastikan bahwa para suami menafkahi istri dan keluarga mereka secara finansial. Jika mereka menolak, maka pengadilan akan memberlakukan pembayaran secara paksa. Ini termasuk memberikan salah satu harta suaminya kepada istri untuk memenuhi standar hidup yang biasa mereka jalani.

Perempuan yang diceraikan juga berhak menerima nafkah dari mantan suaminya untuk dirinya selama dalam masa ‘iddah -nya dan anak-anaknya berhak juga mendapatkan nafkah dari ayahnya hingga baligh bagi anak laki-laki dan menikah pada anak perempuan.

Catatan pengadilan syariah selama berabad-abad membuktikan bahwa perempuan memiliki akses yang baik ke sistem pengadilan, memiliki kepercayaan padanya untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak mereka, serta menganggapnya relevan dengan kehidupan mereka. Tingginya jumlah kasus hukum yang melibatkan perempuan –muslim dan nonmuslim– sebagai pihak yang berperkara, serta frekuensi perempuan menggunakan pengadilan dan mengurusi masalah hukum mereka sendiri, telah mencerminkan tingkat pemahaman yang tinggi bahwa perempuan memiliki hak-hak mereka dan menggunakan hukum-hukum negara. (Ronald C. Jennings, “Women in Early 17th Century Ottoman Judicial Records The Sharia Court of Anatolian Kayseri”, “Journal of the Economic and Social History of the Orient 18” (1975))

Catatan yudisial dari Khilafah Utsmaniyah menunjukkan bahwa pengadilan negara dengan keras menegur, memenjarakan, atau menghukum secara fisik orang-orang yang bersalah melakukan kekerasan terhadap perempuan. Di dalam kasus yang melibatkan seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya, hakim sering kali membuat sang suami menerima syarat bahwa jika ia melakukan kekerasan terhadap istrinya lagi, maka mereka akan diceraikan tanpa istri harus melepaskan hak finansial pernikahannya.

Catatan yudisial Khilafah Utsmaniyah membuktikan bahwa perempuan mampu mengelola kekayaan mereka sendiri tanpa campur tangan kerabat laki-laki termasuk suami, dan membelanjakannya sesuai keinginan mereka. Mereka memiliki tanah, kebun, toko, rumah, dan properti-properti lainnya. Seluruh pendapatan yang diperoleh dari semua kepemilikannya ini hanya untuk mereka. Harta milik istri dan penghasilan apa pun darinya, baik yang diperoleh sebelum atau sesudah menikah, secara eksklusif menjadi miliknya untuk ia kelola.

Pada tahun 1550, seorang pengelana Eropa, Ogier Busbecq, menulis tentang para perempuan di Ankara yang memintal, mewarnai, dan menjual benang mohair yang terkenal dari hewan-hewan mereka sendiri. Perempuan di Ankara juga sering berdagang dengan toko, rumah, dan tanah, serta mengoperasikan hammam (pemandian Turki) dan pabrik seperti di banyak kota lain.

Selanjutnya bukti sejarah penerapan syariat Islam secara kaffah mampu menciptakan kondisi perempuan penuh dengan kebahagiaan. Lady Craven, penulis dan pengelana dari Inggris, di dalam bukunya A Journey Through the Crimea to Constantinople (1789) menuliskan,
“Orang-orang Turki, di dalam perilaku mereka terhadap perempuan, adalah contoh bagi semua bangsa lain…., dan saya pikir mereka (perempuan Turki) dalam cara hidup mereka, mampu menjadi manusia hidup yang paling bahagia..”

Khilafah secara normatif berdasarkan Al-Qur’an dan hadits mengatur aktivitas perempuan secara detil dan rinci untuk menjaga kehormatan dan memuliakan perempuan, baik ranah domestik maupun publik. Serta berjalan secara harmonis bukan kontradiksi. Dan secara empiris, penerapan syariat Islam secara kaffah dalam sistem Khilafah, perempuan mendapatkan hak-hak syar’i -nya yang membuat perempuan bahagia. Semua ini membuktikan bahwa Khilafah ialah satu satunya sistem yang men- support perempuan hidup bahagia.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]