Kategori Kafir (Nonmuslim) dalam Daulah Khilafah

Oleh : Kholishoh Dzikri

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar —  Beberapa waktu yang lalu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan para ulama NU sepakat bahwa kategori nonmuslim atau kafir tidak relevan dalam konteks negara modern. (news.detik.com, 31/03/2022)

Kafir atau Nonmuslim

Kafir adalah kata yang sudah tidak asing lagi di kalangan muslim. Kata kafir banyak ditemukan dalam Al-Qu’ran. Diantaranya firman Allah SWT berikut,

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ 

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman”(QS. Al-Baqarah: 6)

Siapapun yang mengkaji terminologi kafir dalam berbagai kitab-kitab terpercaya (muktabar), akan mendapat kesimpulan yang sama, kafir yaitu siapa saja yang tidak memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw..

Dalam kitab Mu’jam Lughah Al Fuqahaa`, karya Prof. Rawwas Qal’ah Jie disebutkan bahwa,

الكافر: من لا يؤمن بالله ولا بمحمد رسول الله ، أو من ينكر ما هو معلوم من الإسلام بالضرورة ، أو ينتقص من مقام الله تعالى أو الرسالة

“Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad saw., atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam (seperti wajibnya sholat, haramnya zina, dan lain-lain), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah al Fuqahaa`, hlm. 268).

Dalam kitab Al Mu’jam al Wasith disebutkan :

الكافرمن لا يؤمن بالوحدانية أو النبوة أو الرسلة أل بثلاثنها

“Kafir adalah siapa saja orang yang tidak beriman kepada keesaan Allah, atau tidak beriman kepada kenabian Muhammad saw., atau tidak beriman kepada syariat Islam, atau tidak beriman kepada ketiga-tiganya. (Kamus Al Mu’jam al Wasith, Juz II hlm. 891).

Dari definisi di atas, jelas sekali yang dimaksud dengan istilah kafir adalah nonmuslim (ghairu muslimin), baik kafir asli maupun kafir murtad. Dalam kitab Ahkam at Ta’amul Ma’a Ghair al Muslimiin, Syekh Khalid Muhammad Al Majid menyimpulkan,

“Orang-orang nonmuslim (ghairu al muslimin) adalah siapa saja yang tidak beriman kepada agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw., atau siapa saja yang tidak beriman kepada salah satu ajaran pokok yang diketahui secara pasti sebagai bagian agama Islam. Mereka ini dalam istilah syar’i disebut kafir.”(Syekh Khalid Muhammad Al Majid, Ahkam at Ta’amul Ma’a Ghair Al Muslimin, hlm. 3).

Al-Qur`an dengan tegas (Qath’i) menyatakan bahwa orang kafir adalah Ahli Kitab (orang Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik yang menganut agama buatan manusia (agama ardhi) seperti ; Hindu, Budha, Majusi, dll.. Allah SWT telah berfirman,

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”, (QS. Al-Bayyinah : 1)

Jadi kafir atau nonmuslim telah jelas definisinya dan kepada siapa saja kategori tersebut ditujukan.

Kategori Kafir dalam Konteks Negara Islam

Dalam konteks kenegaraan,  Islam membagi negara menjadi dua. Pertama, negara Islam yaitu negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam pengaturan dalam dan luar negerinya,dan  keamanan ada di tangan kaum muslimin.  negara Islam ini adalah Khilafah Islamiah telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad  saw. dan telah disepakati para sahabat Nabi Muhammad saw dan Ulama muktabar dalam kitab-kitab karya mereka.  Kedua, negara kafir (Darul Kufur) yaitu negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam pengaturan urusan dalam dan luar negerinya. Dalam kehidupan saat ini Darul Kufur bisa berbentuk republik, monarki, parlementer, dsb..

Islam membedakan kafir menjadi tiga golongan sesuai dengan sikap mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Setiap golongan memiliki hukum dan perlakuan  yang berbeda.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Dahulu kaum musyrikin terbagi menjadi dua golongan di hadapan Nabi saw dan kaum muslimin. Diantara mereka ada golongan yang dinamakan ahlul harb, Nabi memerangi mereka dan mereka pun memerangi beliau. Ada golongan yang disebut ahlul ahd, nabi tidak memerangi mereka, dan mereka tidak memerangi beliau.

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Zâd al-Ma’âd (3/145) mengatakan : “Setelah surat Barâ`ah (at-Taubah) turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : kafir harbi (al-muhâribîn), ahlu al-‘ahd dan ahlu adz-dzimmah”.

Kafir harbi  adalah orang kafir yang yang tidak masuk dalam perlindungan umat Islam, baik muahid, atau musta’min.  

Kafir harbi ini dibagi menjadi kafir harbi  hakiki (haqiqatan/ fi’lan) yaitu warga negara kafir yang  sedang berperang secara riil dengan negara Islam (kaum Muslim) dan kafir harbi hukman yaitu negara kafir yang  sedang tidak berperang secara riil dengan kaum Muslimin.

Terhadap kafir harbi fi’lan, kaum muslimin tidak boleh mengadakan hubungan apapun kecuali hanya perang (Qital/jihad). Kaum muslimin tidak boleh mengadakan perjanjian dengan kafir harbi fi’lan sebelum mereka berdamai, serta tidak boleh diberikan jaminan keamanan bagi rakyat negara kafir harbi  fi’lan kecuali mereka datang untuk masuk Islam atau menjadi ahlu dzimmah (warga negara khilafah). Mereka adalah kaum kafir yang boleh diperangi karena menampakkan permusuhan terhadap kaum Muslim. Allah SWT, telah menetapkan dalam firmanNya,

فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَضَرْبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا۟ ٱلْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّۢا بَعْدُ

وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir…” (QS. Muhammad: 4).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Apabila hukum asal dari peperangan yang disyariatkan itu adalah jihad dan tujuannya adalah menjadikan agama ini seluruhnya untuk Allah SWT sehingga menjadi yang tertinggi (Al Islamu ya’lu wa la yu’la alaih), maka orang  kafir yang menghalang-halangi harus diperangi. Sementara orang kafir yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, pendeta (rahib), orang jompo, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka  tidak boleh dibunuh menurut jumhur ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan (Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, Dirâsât Mu’asharah Fi al-Aqîdah wa al-Ahkâm wa al-Adâb, Abdurrahman bin Abdilkarim al-‘Ubaid, Jum’iyah Ihyâ at-Turâts)

Adapun dengan negara kafir harbi hukman maka boleh mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan, menjaga hubungan ketetanggaan yang baik, dan lainnya. Negara kafir harbi hukman yang telah mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam maka disebut sebagai daulah muahidah dan warga negaranya disebut sebagai kaum muahidin (ahlu ahd). Istilah lain bagi kafir muahid, seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitabnya, Ahkam adz-Zimmah adalah al-hudnah atau ahs-shulh. Kafir mu’ahid berhak mendapat jaminan keamanan ketika memasuki negara khilafah dengan tujuan berniaga, wisata, atau tujuan lainnya.  Allah SWT  telah berfirman,

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

“Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya”
[QS. at-Taubah :6]

إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

 “Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” [QS. at-Taubah :4].

Hubungan negara khilafah  dengan negara kafir Muahid adalah didasarkan pada apa yang terkandung dalam teks-teks perjanjian yang telah disepakati. Dalam hubungan ekonomi, negara khilafah dan kaum muslimin tidak boleh menjual senjata atau perlengkapan sarana militer kepada negara kafir muahid atau warga negaranya (ahlu muahidin) dengan alasan dapat menguatkan serta memberi kemampuan kepada mereka untuk mengalahkan negara Khilafah sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabahani dalam kitab Daulah Islam. Jika di dalam perjanjian antara negara khilafah dan negara kafir muahid terkandung pasal yang mengijinkan untuk mengekspor sarana militer kepada mereka, maka pasal itu tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan syariat Islam.  Jika transaksi yang dilakukan tidak sampai pada tahap seperti itu, maka khilafah (kepala negara khilafah) diperbolehkan menjual senjata ataupun sarana militer kepada pihak kafir muahid, khususnya ketika negara khilafah mampu memproduksi dan segala macam produk militer ke luar negeri seperti yang dilakukan oleh negara adidaya saat ini seperti Amerika Serikat.

Kafir mu’ahid ini tergolong sebagai kafir harbi hukman, karena setelah berakhirnya perjanjian dengan negara khilafah, ia akan kembali terkategori sebagai kafir harbi sebagaimana kafir harbi haqiqatan/ fi’lan yang negaranya tidak terikat perjanjian dengan negara khilafah.

Adapun musta’min adalah orang yang masuk ke negara lain dengan izin masuk (al-aman), baik muslim  atau kafir harbi. Jika seorang muslim masuk ke darul harbi hukman, dia tidak boleh mengambil harta kaum kafir dalam darul harbi tersebut, misalnya dengan mencuri  atau merampas. Sebab, seorang muslim terikat dengan perjanjian yang ia lakukan. Sebagaimana seorang muslim boleh masuk ke darul harbi hukman, seorang kafir harbi hukman juga boleh masuk ke dalam negara khilafah. Rasulullah saw. telah memberikan jaminan keamanan kepada kaum kafir pada saat Fathul Makkah. Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka berarti dia bererti dia aman.” (HR Muslim).

Namun demikian,  musta’min yang masuk ke wilayah negara khilafah,  tidak boleh tinggal di sana selama satu tahun. Jadi, izin masuk (al-aman) hanya diberikan— misalnya—untuk satu bulan, dua bulan, atau lebih di bawah satu tahun. Hal ini karena seorang harbi hukman dibolehkan tinggal di darul islam (Khilafah) kurang dari satu tahun tanpa diminta untuk membayar jizyah. Artinya, maksimal orang kafir harbi hukman boleh tinggal tanpa jizyah selama satu tahun. Jika dia tinggal lebih dari satu tahun, dia diberi pilihan,yaitu akan tinggal secara tetap sebagai warga negara Khilafah (ahl adz-dzimmah) dan membayar jizyah atau keluar dari wilayah khilafah.

Hukum bagi kafir musta’min pada dasarnya sama dengan hukum ahl adz-dzimmah. Jika dia memerlukan pertolongan, misalnya jiwanya terancam, negara wajib melindunginya sebagaimana negara melindungi ahl adz-dzimmah. Jika musta’min melakukan kejahatan dan perlakuan makar, dia akan dikenai sanksi sebagaimana ahl adz-dzimmah. Hal ini karena Darul Islam adalah tempat diterapkannya hukum-hukum syariat secara tanpa pandang bulu, baik terhadap orang Islam, ahl al-dzimmah, maupun musta’min.

Ahl adz-dzimmah disebut juga kafir dzimi atau sering disingkat dengan dzimi saja. Asal katanya adalah adz-dzimmah, yang berarti al- ‘ahd, bermakna perjanjian. Ahl adz-dzimmah adalah setiap orang yang beragama bukan Islam dan menjadi rakyat negara khilafah serta taat dan patuh dengan syariat yang diberlakukan  kepada mereka.

Islam telah menjelaskan banyak hukum  tentang ahl adz-dzimmah ini. Bahkan di antara ulama ada yang menulis kitab khusus mengenai hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ahl adz-dzimmah. Misalnya Ibn Qayyim al-Jauziyah, yang menulis kitab Ahkam Ahl adz Dzimmah. Diantara hukum-hukum tersebut adalah,

1. Ahl adz-dzimmah tidak boleh dipaksa meninggalkan agama mereka guna masuk Islam. Rasulullah saw. telah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya sebagai berikut,  “Siapa saja yang beragama Yahudi atau Nashara, dia tidak boleh dipaksa meninggalkannya, dan wajib atasnya jizyah”. (HR Abu Ubaid). Hukum ini juga berlaku untuk warga kafir pada umumnya, yang bukan Yahudi dan bukan Nashara seperti Hindu, Budha, Konghuchu, dsb..

2. AhI adz-dzimmah wajib membayar jizyah kepada negara. Jizyah dipungut kepada ahl dzimmah yang lelaki, balig, dan mampu. Jizyah tidak diambil dari anak-anak, perempuan, dan yang tidak mampu.

3. Muslim dibolehkan memakan sembelihan dan menikahi perempuan ahl adz-dzimmah jika mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab, yaitu orang Nashara atau Yahudi. Allah SWT Berfirman, “Makanan(sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab halal bagimu dan makanan (sembelihanmu) kamu halal bagi mereka. Demikian pula perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”. (TQS Al-Maidah :5)

Akan tetapi, jika ahl adz-dzimmah bukan Ahlul Kitab, seperti Majusi, Hindu, Budha, Konghuchu, dll. maka sembelihan mereka haram bagi umat Islam. Perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki muslim. Dalam surat Rasulullah saw. yang ditujukan kepada kaum Majusi di Hajar, beliau mengatakan, “Hanya saja sembelihan mereka tidak boleh dimakan; perempuan mereka juga tidak boleh dinikahi”.

Namun, diharamkan seorang muslimah menikahi seorang laki-laki kafir baik lelaki itu adalah seorang ahli kitab atau musyrik. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman,

“…Tidaklah mereka (wanita Mukmin) halal bagi mereka (lelaki kafir) dan mereka pun (lelaki kafir) tidak halal bagi mereka (wanita Mukmin). [TQS. Al-Mumtahanah : 10).

4. Boleh dilakukan muamalah antara umat Islam dan ahl adz dzimmah dalam berbagai bentuknya seperti jual-beli, sewa-menyewa (ijarah), syirkah, rahn (gadai), dan sebagainya. Rasulullah saw  telah melakukan muamalah dengan kaum yahudi di tanah Khaibar, di mana kaum yahudi itu mendapatkan separuh dari hasil tanaman kurmanya. Hanya saja, ketika muamalah ini dilaksanakan wajib diterapkan hukum-hukum Islam saja, tidak boleh menerapkan selain hukum Islam. 

Demikian Islam mengatur ahl adz dzimmah yang tidak lain adalah orang-orang kafir yang menjadi warga negara Khilafah. Mereka mendapatkan hak pelayanan sebagaimana hak warga negara Muslim. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara ini kecuali syariat Islam telah menentukannya..

Dari pembahasan ini telah jelas bahwa kategori kafir (Nonmuslim) dalam konteks kenegaraan sangat penting dan tidak boleh dihapuskan karena akan mengaburkan sikap darul Islam (Khilafah) dengan darul kufur (negara kafir) dalam hubungan internasional.  Juga menghilangkan pengaturan kewarganegaraan  dalam negara khilafah.  Negara khilafah tidak membatasi warga negaranya hanya dari kalangan kaum muslimin saja. Karena itu kategori dan identitas Muslim dan Kafir sangat diperhatikan. Oleh karena itu usulan menghilangkan kategori kafir (Nonmuslim) dalam konteks kenegaraan harus ditolak karena bertentangan dengan syariat Islam. Waallahu a’lam Bishshawab. [SM/Stm]