Oleh: Najmah Saiidah
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Para pengusung Islam moderat terus berupaya keras menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang lurus dengan berbagai macam cara. Tidak sekadar menjadikan hukum buatan manusia lebih tinggi dari hukum Allah, tetapi lebih jauh dari itu.
Dengan cara yang sangat halus, mereka terus mengopinikan bahwa semua agama benar dengan alasan semua agama mengajak kepada kebaikan. Mereka melarang menyebut “kafir” terhadap selain Islam, padahal telah jelas dalam Al-Qur’an bahwa selain muslim adalah kafir.
Mereka juga menuntut seorang muslim untuk bertoleransi dengan pemeluk agama lainnya, bahkan mengucapkan selamat pada hari raya selain agamanya pun tidak mereka anggap sebagai penyimpangan dari Islam.
Berbagai propaganda dan jargon yang tampaknya bijaksana atau menyejukkan sengaja mereka sebarkan ke tengah umat, semisal “Islam damai”, “Islam mencintai perdamaian”, “Islam mengajarkan kerukunan”, dan sebagainya. Padahal, sesungguhnya semua ini merupakan racun berbalut madu yang bisa membunuh karakter din Islam yang sesungguhnya dari benak kaum muslim.
Salah satu bentuk propaganda mereka adalah sebagai berikut, “Moderasi agama sama sekali bukan terletak pada apakah agamanya, melainkan terkait dengan cara bagaimana beragama yang lebih menekankan pada sikap tengah-tengah atau wasathiyah. Pada akhirnya, cara keberagamaan demikian akan berdampak pada sikap toleran dan secara langsung akan berefek pada pengurangan Islamofobia di dunia.”
Sekularisasi Islam
Sepintas, pernyataan tersebut sepertinya baik-baik saja, seperti tidak ada yang salah, bahkan bisa jadi sebagian kalangan menilai pernyataan tersebut sebagai pernyataan yang “positif”. Akan tetapi, jika kita memperhatikan dengan saksama, kita akan menemukan bahwa pernyataan itu bukan pernyataan yang biasa saja.
Sungguh, itu adalah pernyataan yang membahayakan umat, racun berbalut madu. Pernyataan tersebut mengandung pengertian memisahkan “agama” dan “cara beragama”. Dengan kata lain, menekankan pemisahan kehidupan beragama dari agamanya, yang intinya tidak lain adalah sekuler, sekularisasi Islam.
Jika pernyataan tersebut ditujukan pada Islam, ini sama saja dengan memutilasi agama Islam. Bagaimana mungkin Islam sebagai diin syamilan wa kaamilan yang datang dari Allah Taala dianggap tidak mengatur cara beragama umat-Nya?
Sekali lagi, sungguh itu pernyataan yang sembrono, sama saja dengan memutilasi agama Islam, mengerat-ngerat Islam.
Islam Din Sempurna, Mengatur Seluruh Aspek Kehidupan
Innadiina ‘indallaahi al-Islam, hanya Islam din yang Allah ridai. Islam merupakan din yang sempurna. Seluruh ajarannya bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapan pun.
Islam telah memberikan aturan-aturan dengan terperinci sehingga seluruh problematik hidup makhluk-Nya, dalam situasi dan kondisi apa pun, dapat terselesaikan dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan.
Aturan-aturan tersebut senantiasa memuaskan akal, sesuai fitrah manusia, dan pada akhirnya menentramkan jiwa. Ini karena Islam lahir dari Zat yang menciptakan manusia, yang Maha Mengetahui hakikat makhluk yang diciptakan-Nya, bukan buatan manusia.
Mahaadil Allah yang telah memberikan aturan yang sedemikian terperinci untuk hamba-Nya. Dengan aturan-aturan tersebut, manusia dapat menjalani kehidupan ini dengan benar dan teratur sehingga bisa membawa pada kebahagiaan.
Aturan-aturan ini menjadi pijakan sehingga manusia mampu terus melangkah tanpa ragu atau bingung dan justru makin bersemangat dalam menjalani kehidupan. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kita, umat Islam, untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah sehingga dapat membawa pada kebahagiaan yang hakiki.
Allah Taala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِين
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Telah sangat jelas sesungguhnya tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari aturan Islam, mulai dari bersuci hingga penyelenggaraan negara pun seluruhnya diatur Islam.
Kita diajarkan oleh Islam ketika masuk kamar mandi dengan kaki kiri sambil membaca doa tertentu, cara bersuci, kemudian keluar kamar mandi dengan kaki kanan dan membaca doa tertentu pula.
Kita diajarkan cara bermuamalah dengan sesama manusia. Bahkan Rasulullah saw. mengajarkan kita cara membangun negara, cara memperjuangkan tegaknya Khilafah beserta penyelenggaraannya, tugas-tugas khalifah sebagai kepala negara, fungsi aparatur negara, dan sebagainya.
Masyaallah, luar biasa! Sungguh beruntung kita sebagai seorang muslim. Seluruh aspek kehidupan diatur oleh Islam. Artinya, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang terpisah atau yang terlepas dari Islam.
Demikian halnya dengan cara beragama, bagaimana mungkin terpisahkan dari agama jika terkait bersuci saja diatur? Selain itu, Islam mengatur sedemikian terperinci tentang cara bersikap dengan sesama muslim, juga dengan para penganut selain Islam.
Aturan Terperinci
Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari aturan Islam, begitu pula dengan kehidupan beragama. Islam mengatur tentang cara seharusnya seorang muslim bergaul dalam hidup bermasyarakat, baik dengan sesama muslim maupun dengan nonmuslim.
Dalam negara Islam, yaitu Khilafah, setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, (kafir dzimmi) mendapat hak yang sama. Negara tidak membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan, maupun dalam jaminan kebutuhan rakyat dan semisalnya. Seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan ras, agama, warna kulit, dan lain-lain. (Pasal 6 Masyru’ud dustuur).
Tidak ada paksaan bagi nonmuslim untuk memeluk Islam. Ini sebagaimana firman Allah Taala dalam QS. Al-Baqarah: 256, “Laa ikraaha fiddiin, qod tabayyana rusydu minal ghayyi. (Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam, sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat).” Hanya saja, negara memberlakukan syariat Islam atas seluruh rakyat berkewarganegaraan (Khilafah) Islam, baik muslim maupun nonmuslim.
Nonmuslim dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan peraturan umum. Dalam hal makanan, minuman, dan pakaian, diperlakukan sesuai agama mereka, sebatas apa saja yang diperbolehkan syara’. Adapun terkait nikah dan talak antara sesama nonmuslim akan diselesaikan sesuai agama mereka.
Inilah makna “tasamuh” (toleransi) yang sesungguhnya dalam Islam, bukan malah ikut merayakan hari raya mereka, menganggap agama selain Islam benar, ataupun bentuk toleransi yang kebablasan lainnya.
Islam pun memberi batasan-batasan tentang bersikap terhadap orang-orang kafir. Allah Taala telah mengharamkan untuk loyal terhadap orang kafir, tidak boleh mengikuti ajaran mereka dan ikut merayakannya, maupun menjadikan mereka sebagai teman/sahabat. Ini karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslim. Allah Taala pun telah mewajibkan untuk berloyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta terhadap orang-orang yang beriman dan mencintai mereka.
Karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, sekaligus Allah SWT telah mewajibkan untuk berloyalitas hanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta terhadap orang-orang yang beriman serta mencintai mereka.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/teman dekat(mu); sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai kekasih/teman dekat, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai kekasihmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan; dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 23)
Sabda Rasulullah saw., “Janganlah kalian tinggal bersama orang-orang musyrik, jangan pula bergabung dengan mereka. Barang siapa tinggal dan bergabung bersama mereka, ia bagian dari mereka.” (HR. Al-Hakim 2/141—142, dari Samurah bin Jundub)
Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah: 55—56)
Demikian pula sabda Rasulullah saw.,
“من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان”
“Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena-Nya, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Dawud (no. 4681) dan Hakim (no. 2694)
Namun, meskipun Islam memerintahkan untuk memusuhi orang-orang dan bangsa kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum muslim, dan juga tidak boleh bekerja sama dengan mereka, tetapi Islam pun mengharamkan berbuat zalim terhadap mereka tanpa alasan yang hak.
Islam menghormati hak-hak orang-orang kafir mu’ahad (yang sedang dalam perjanjian damai), dzimmi (orang-orang kafir yang tinggal sebagai warga negara Khilafah dengan membayar jizyah), dan musta’man (orang kafir yang meminta perlindungan dari Khilafah).
Islam mengharamkan darah dan harta benda mereka. Islam juga memberikan hak-hak dan kewajiban yang sama kepada mereka sebagaimana hak dan kewajiban kaum muslim.
Allah Taala berfirman, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya.” (QS. An-Nahl: 91). “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ’: 34)
Demikianlah, Islam telah dengan sangat terperinci mengatur tentang kehidupan beragama, sama sekali tidak memisahkannya dan tidak boleh memisahkannya dari Islam. Dengan demikian, upaya memisahkan kehidupan beragama dari agama Islam sama saja dengan memutilasi agama Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]
Sumber: muslimahnews.net