Benarkah Relasi Gender Setara Meningkatkan Kualitas Pendidikan Anak?

Oleh: Ustazah Rahmah

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Lenny N. Rosalin menuturkan, peran perempuan (ibu) dalam pendampingan pendidikan anak lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Pemilihan sekolah dan pendidikan lainnya menjadi tanggung jawab perempuan. Apalagi, pada masa pandemi, ketika anak harus bersekolah dari rumah, perempuan berperan sebagai pengganti guru dan dituntut memiliki kapasitas keterampilan dalam mendampingi anak belajar.

“Peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak menjadi penting, terutama dalam mencetak SDM generasi emas. Oleh karena itu, Kemen PPPA mendorong relasi gender yang setara dan adil antara kedua orang tua dalam pengambilan keputusan terkait pendidikan anak di dalam sebuah keluarga sebagai upaya peningkatan kualitas keluarga,” ujarnya. Dari sini, diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan anak. (kemenpppa[dot]go.id)

Tidak Mampu Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Pengertian relasi gender setara dalam keluarga adalah hak dan kewajiban ayah dan ibu yang setara/sama. Mereka sama-sama bertanggung jawab atas ekonomi keluarga, sama-sama mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, termasuk dalam pengambilan keputusan/kepemimpinan keluarga.

Dari sini, relasi gender setara antara ayah dan ibu dalam pengambilan keputusan terkait pendidikan diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan anak.

Dengan mengkaji secara mendalam tentang kualitas pendidikan anak ada, dua pihak yang sangat berpengaruh, yaitu sekolah dan keluarga. Kualitas pendidikan anak di sekolah dipengaruhi beberapa hal, antara lain kompetensi guru, baik terkait penguasaan terhadap materi pelajaran maupun kompetensi mengajar, materi pelajaran/bahan ajar, media pembelajaran, pemilihan model dan metode pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran yang tepat. Kemudian, harus menguasai media pembelajaran daring ketika proses belajar mengajar dilaksanakan secara daring.

Adapun faktor kedua yang memengaruhi kualitas pendidikan anak adalah keluarga. Beberapa hal yang memengaruhi antara lain kompetensi orang tua dalam memilih sekolah dan membantu belajar anak. Bahkan, menggantikan peran guru (terutama saat daring) memang sangat menentukan kualitas pendidikan anak.

Dengan demikian, untuk mengetahui permasalahan kualitas pendidikan anak, tentu harus mengkaji, faktor pendidikan manakah yang menyebabkan permasalahan?

Setelah mengkaji secara mendalam, apabila melihat sisi keluarga, akan kita temukan bahwa penyebab pendidikan anak tidak berkualitas adalah kurangnya kemampuan orang tua dalam memilihkan sekolah bagi anak. Orang tua memilih sekolah yang sekuler bagi anak; tidak terlibat dalam pendidikan, lepas tangan, dan menyerahkan ke pihak sekolah; pihak sekolah memaksa orang tua jadi pendamping atau “guru pengganti” saat daring; serta masalah ekonomi keluarga.

Inilah penyebab pendidikan anak tidak berkualitas. Bukan karena tidak adanya relasi gender setara/adil antara ayah dan ibu dalam pengambilan keputusan terkait pendidikan anak.

Justru relasi gender setara dalam keluarga akan mengacaukan mengenai pihak mana yang yang bertanggung jawab mengerjakan tugas tersebut. Ketidakjelasan penanggung jawab dan adanya overlapping tugas mendidik anak inilah yang menjadi gerbang utama masalah.

Di samping itu, relasi gender setara kedua orang tua akan membebani ibu karena bisa terjadi double bahkan triple burden. Saat pembelajaran daring karena pandemi korona, misalnya, ayah dan ibu sama-sama harus bertanggung jawab terhadap pendidikan ketiga anaknya. Ayah dan ibu dituntut menjadi guru pengganti dan berketerampilan mendampingi mereka.

Coba bayangkan, apabila ada ayah dan ibu yang sehari-hari bekerja—karena kesetaraan gender menuntut untuk turut bertanggung jawab secara ekonomi—lalu ia juga harus menjadi guru pengganti atau mendampingi ketiga anaknya. Si bungsu kelas 1 SD, kakaknya kelas 3 SD, dan si sulung kelas 6 SD, semuanya belajar secara daring. Apa yang akan terjadi? Tentu ayah dan ibu tidak akan bisa melakukannya dengan baik.

Dengan demikian, relasi gender setara dalam keluarga tidak dapat menyelesaikan masalah, melainkan justru menimbulkan masalah lainnya, yakni double bahkan triple burden. Oleh karenanya, kita harus mencari solusi yang betul-betul mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.

Titik Masalah

Masalah pembelajaran saat daring sesungguhnya terjadi karena dua hal. Pertama, pihak sekolah men-take over (mengalihkan) pekerjaan mengajar kepada keluarga atau menjadikan orang tua sebagai guru pengganti. Seharusnya, sekolah melakukan dengan maksimal dan optimal. Anak belajar tanpa melibatkan langsung orang tua, kecuali anak SD kelas bawah (1—3), itu pun sebagai pendamping, bukan guru pengganti.

Kedua, peran yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal pembagian peran dalam keluarga sudah jelas. Ayah sebagai pemimpin keluarga berkewajiban menafkahi keluarga; ibu mengurus rumah, mengasuh, dan mendidik anak di bawah kepemimpinan ayah.

Dalam pelaksanaan pendidikan anak, ayah dan ibu bermusyawarah, ayah yang memimpin dan mengambil keputusan, termasuk memilihkan sekolah yang mampu mengantarkan anak agar sukses dan bahagia dunia-akhirat.

Dalam operasional pendidikan anak, ibu terlibat lebih banyak dalam pendampingan anak belajar dan pendidikan keluarga. Ayah juga terlibat dalam menentukan tujuan pendidikan keluarga dan mengevaluasinya, tetapi ayah lebih fokus mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga.

Pengaturan seperti inilah yang mampu menyelesaikan masalah secara tuntas dan hanya didapati dalam peran keluarga berdasarkan syariat Islam.

Relasi Suami Istri menurut Pandangan Islam

Syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk tentang keluarga. Syariat Islam memberikan peraturan yang tidak memihak pada laki-laki atau pada perempuan sehingga tidak memerlukan adanya relasi gender setara atau tidak.

Syariat Islam hadir sebagai peraturan yang mampu menyolusi permasalahan manusia, bukan sekadar permasalahan laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian, titik tekannya adalah menyelesaikan masalah secara tuntas, bukan ada dan tidaknya relasi gender setara antara laki-laki dan perempuan.

Allah Zat Pencipta manusia, Maha Mengetahui kebutuhan dan permasalahan manusia. Oleh karenanya, Allah pun telah memberikan aturan yang cocok dan tepat bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan.

Adakalanya aturan Allah sama antara laki-laki dan perempuan; adakalanya berbeda. Terkait kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia (insan), di dalam nash akan ditemukan adanya hak, kewajiban, peran, dan fungsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. (Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi, Adakah dalam Islam?, hlm. 10—15)

Dalam Nizham Ijtima’i fil Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa dalam rumah tangga, Allah memberikan peran bagi suami sebagai pemimpin rumah tangga. Ia wajib memimpin, melindungi, mendidik, dan menafkahi anggota keluarganya. Sedangkan peran istri adalah sebagai ibu dan pengatur rumah yang bertanggung jawab mengatur rumahnya, serta mengasuh dan mendidik anak di bawah kepemimpinan suami.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 34,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dalam syariat Islam, ada hak dan kewajiban masing-masing suami istri, ada pula hak dan kewajiban bersama. Pendidikan anak termasuk kewajiban bersama, tetapi bukan relasi gender setara antara kedua orang tua dalam pengambilan keputusan terkait pendidikan anak di dalam sebuah keluarga.

Menurut syariat Islam, mendidik anak merupakan kewajiban bersama kedua orang tuanya. Team teaching—guru, keluarga, kedua orang tua—ada di bawah kepemimpinan ayah.

Mendidik anak adalah tugas orang tua. Bersama ayah, seorang ibu wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang saleh, yaitu berkepribadian Islam atau muslim yang tingkah lakunya berdasarkan akidah Islam.

Pendidikan sangatlah penting diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Tiada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi anak, kaum muslim, dan agama Islam, kecuali pemberian pendidikan yang baik kepada anak.

Rasulullah saw. bersabda,

ما نحل والد ولده افضل من ادب حسن

“Tidak ada pemberian seorang ayah yang lebih utama dari pendidikan yang baik.” (HR. Tirmidzi)

Orang tua harus mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya. Ayah harus mempunyai bekal ilmu agama agar mampu mendidik anak dan istrinya agar terhindar dari api neraka.

Allah SWT berfirman dalam QS. At-Tahrim: 6,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ibnu Abbas dalam Tanwir Miqbas Juz II menafsirkan, “(Hai orang-orang yang beriman) kepada Nabi Muhamad saw. dan Al-Qur’an, (Jagalah dirimu) jagalah dirimu, kaummu, (dan keluargamu) anak-anakmu dan istri-istrimu (dari api neraka). Didiklah, ajarilah mereka Al-Khair (agama Islam dan cara menerapkan aturan Islam) yang akan menyelamatkan dari neraka. (Ibnu Abbas, Tanwir Miqbas, Juz II, hlm. 95)

Ayah harus mampu memimpin keluarganya agar menjalani kehidupan sesuai syariat Islam kafah, baik urusan dunia maupun akhirat; baik saat bergaul, berekonomi, berpolitik, berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, maupun dan bernegara. Ayah juga memimpin dan memfasilitasi agar anak dan istrinya berislam secara kafah dan senantiasa mendakwahkannya.

Tidak kalah penting, ayah harus berkepribadian Islam yang kuat, mampu menjadi suri teladan, dan terdepan dalam kebaikan sehingga mampu memimpin anak dan istrinya khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam dalam ketakwaan.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Furqan: 74,

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤

“Dan orang orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’.”

Imam Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain menafsirkan “قُرَّةِ أَعْيُنٍ /penyenang hati” sebagai anak –istrinya senantiasa dalam ketaatan pada Allah dan maksud “jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” adalah menjadi pemimpin dalam kebaikan.

Mendidik anak adalah kewajiban bersama kedua orang tua di bawah kepemimpinan ayah. Hal ini ditunjukkan dalam HR. Tirmidzi, “Tidak ada pemberian seorang ayah yang lebih utama dari pendidikan yang baik.”

Juga dalam QS. At-Tahrim: 6, terdapat perintah bagi suami untuk mendidik istri dan anaknya agar terhindar dari neraka. Dengan demikian, kepemimpinan dan pemegang keputusan ada pada ayah, bukan pada ibu, bukan pula hak dan kewajiban ayah ibu yang setara.

Dari sini, pendidikan keluarga akan sukses dunia-akhirat, serta terhindar dari neraka apabila pendidikan bersumber dari ajaran agama Islam (lihat QS. Al-Furqan: 74) dan dilakukan bersama oleh kedua orang tua di bawah kepemimpinan ayah, bukan relasi gender setara antara kedua orang tua dalam mendidik dan pengambilan keputusan terkait pendidikan anak dalam sebuah keluarga.

Khatimah

Demikianlah, harus ada pembagian peran yang jelas di dalam keluarga. Ayah sebagai pemimpin keluarga berkewajiban menafkahi keluarga; ibu mengurus rumah, mengasuh, dan mendidik anak di bawah kepemimpinan ayah.

Dalam pelaksanaan pendidikan, ayah dan ibu bermusyawarah menentukan sekolah dan kurikulum pendidikan keluarga yang dapat mengantarkan anak sukses dan bahagia dunia-akhirat. Ayahlah yang memimpin dan mengambil keputusan.

Dalam operasional pendidikan anak, ibu terlibat lebih banyak, baik saat mendampingi anak belajar pelajaran sekolah, maupun menjadi guru bagi anak-anak (apabila memiliki kurikulum pendidikan khusus bagi keluarga).

Ayah juga harus terlibat menjadi guru, serta menentukan tujuan pendidikan keluarga dan mengevaluasinya. Hanya saja, porsi ayah tidak terlalu banyak sebab lebih fokus mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga secara umum dan kebutuhan pendidikan secara khusus. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]

Sumber:muslimahnews.net