Oleh: Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Ide-ide feminisme menjadi isu global semenjak PBB mencanangkan Dasawarsa I untuk Perempuan pada tahun 1975–1985. Sejak itu, isu-isu keperempuanan mewabah dalam berbagai bentuk forum baik di tingkat internasional, nasional, regional, maupun lokal. PBB di bawah kendali Amerika Serikat jelas sangat berkepentingan dan berperan besar dalam penularan isu-isu tersebut, baik dalam forum yang khusus membahas perempuan seperti forum di Mexico tahun 1975, Kopenhagen tahun 1980, Nairobi tahun 1985, dan di Beijing tahun 1995, maupun forum tingkat dunia lainnya, seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Perkembangan Sosial, serta KTT Bumi dan Konferensi Kependudukan1.
Hingar bingarnya isu-isu feminisme tersebut melahirkan beraneka respon dari berbagai pihak di dunia Islam, di antaranya ialah semakin banyaknya para propogandis feminisme baik secara individual maupun kelompok, dari lembaga pemerintah maupun LSM-LSM. Feminisme yang aslinya merupakan derivat ide sekularisme atau sosialisme itu, akhirnya menginfiltrasi ke dalam dunia Islam. Maka tersohorlah kemudian nama-nama feminis muslim semisal Fatima Mernissi (Maroko), Taslima Nasreen (Bangladesh), Riffat Hassan (Pakistan), Ashgar Ali Engineer (India), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), serta Didin Syafrudin, Wardah Hafizah, dan Myra Diarsi (Indonesia). Secara kelompok, di Indonesia khususnya dapat disebut beberapa gerakan perempuan penganjur feminisme, seperti Yayasan Kalyanamitra, Forum Indonesia untuk Perempuan dan Islam (FIPI), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Yayasan Solidaritas Perempuan dan sebagainya2.
Senyatanya, ide-ide feminisme yang dilontarkan kelompok-kelompok tersebut nampaknya cukup berpotensi menitikkan air liur kaum muslimah yang lapar perjuangan, yakni mereka yang mempunyai semangat dan idealisme yang tinggi untuk mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik. Itu karena di samping didukung teknik penyuguhan yang “ilmiah”, ide-ide feminisme itu dikemas dengan retorika-retorika dan jargon-jargon emosional yang dapat menyentuh lubuk-lubuk perasaan mereka, seperti jargon “perjuangan hak-hak wanita”, “penindasan wanita”, “subordinasi wanita” dan lain-lain. Selain itu, realitas masyarakat yang berbicara terkadang memang menampilkan sosok kaum wanita yang memilukan. Terpuruk di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kesejahteraan, politik, sosial dan lain-lain. Walhasil, tak diingkari gerakan-gerakan perempuan itu berpotensi menyedot simpati para muslimah. Lalu, mesti bagaimana kaum muslimah bersikap?
Feminisme: Ruh Gerakan Perempuan
Feminisme, sebagai ruh gerakan perempuan, dapat diberi pengertian sebagai “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut” 3. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi lelaki, serta sistem patriarki dan melakukan sesuatu tindakan untuk menentangnya, adalah seorang feminis4.
Adapun seorang feminis muslim, menurut Yuhanar Ilyas, selain harus memenuhi kriteria tersebut, yakni memiliki kesadaran akan ketidakadilan gender (gender inequalities), yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam5.
Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin6. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.
Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi7.
Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan mereka8. Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal dan feminisme sosialis8.
Ketika ide-ide feminisme ini tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab-sebab terjadinya ketidakadilan gender. Menurut Asghar Ali Engineer, terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat asumsi-asumsi teologis bahwa perempuan memang diciptakan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumi-asumi ini menurut Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al Qur’an untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan9.
Para feminisme muslim pun lalu mengajukan konsep kesetaraan sebagai jawaban terhadap problem ketidaksertaan gender tersebut. Asghar, salah seorang dari mereka, mengajukan konsep kesetaraan antara lelaki dan perempuan dalam Al Qur’an yang menurutnya mengisyaratkan dua hal:
Pertama, dalam pengertiannya yang umum, harus ada penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara.
Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, seperti kesetaraan hak untuk mengadakan akad nikah atau memutuskannya, kesetaraan hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan pihak lain, kesetaraan hak untuk memilih atau menjalani cara hidup, dan kesetaraan hak dalam tanggung jawab dan kebebasan10.
Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taqiyyuddin An-Nabhani ialah menjadikan kesetaraan (al-musaawah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan11. Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang di atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak-hak antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan konsep kesetaraan hak itulah, para feminis muslim membatalkan dan mengganti banyak ide dan hukum Islam yang mereka anggap tidak sesuai dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun mereka tidak menyebutnya sebagai “penggantian” atau “pembatalan” hukum Islam, melainkan “penafsiran ulang” atau bahkan “pelurusan” dan “koreksi”. Jadi seolah-olah hukum-hukum Islam itu keliru, atau ditafsirkan secara keliru, sehingga perlu diluruskan oleh para feminis muslim. Para mufassir atau mujtahid yang meng-istimbath hukum-hukum yang dianggap mengekalkan ketidakadilan gender tersebut, oleh kaum feminis muslim dicap secara sepihak sebagai orang yang terkena bias gender dalam ijtihadnya, serta dinilai hanya bermaksud mengekalkan dominasi laki-laki atau penindasan wanita. Mereka, misalnya, menolak konsep penciptaan Hawa dari Nabi Adam as., konsep kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum kesaksian 1:2 (satu laki-laki dua perempuan), hukum kewarisan 2:1 (dua bagian laki-laki satu bagian perempuan), kewajiban berjilbab/batasan aurat perempuan, kebolehan poligami, dan sebagainya. Mereka menolak pula keharaman melakukan hubungan seksual dengan suami saat isteri haid, dan menolak keharaman wanita melakukan shalat saat haid. Mereka tolak pula ketentuan hukum shaf laki-laki dalam sholat di bagian depan shaf perempuan. Mereka menolak hukum haramnya wanita menjadi penguasa. Sebaliknya, mereka malah membolehkan wanita menjadi imam shalat dalam jemaah yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka bolehkan pula wanita memberikan khotbah Jumat dan mengumandangkan azan12.
Untuk menjustifikasi penafsiran mereka, mereka menggunakan metode historis–sosiologis untuk memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan. Tegasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyarakat dalam konteks ruang (tempat) dan waktu (fase sejarah) yang tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah, maka peraturan dan hukum turut pula berubah 13. Dalam hal ini, para feminis memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukum-hukum Islam seperti di atas. Karenanya, hukum-hukum itu harus ditafsirkan ulang agar sesuai dan relevan dengan konteks masyarakat modern saat ini.
Menolak Feminisme
Feminisme apa pun bentuknya harus ditolak, mengingat argumen-argumen berikut ini:
Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat terutama pada abad XIX–XX M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal-kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Maka dari itu, mentransfer ide ini ke tengah umat Islam, yang memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Klaim bahwa wawasan sosiologis bersifat universal, mengandung kepongahan yang dapat mengakibatkan dilema serius bagi para sosiolog. Robert M. Marsh menandaskan :
“Sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut kecil dunia, dan dengan demikian, amat terbatas sebagai suatu skema universal.”14
Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tak bersandar pada satu pun dalil syar’i. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai menjadi Musyarr’i (Sang Pembuat Hukum), bukan Allah Azza wa Jalla. Maka dari itu, tanpa keraguan lagi dapat ditegaskan, feminisme adalah paham kufur. Allah SWT berfirman :
“Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (TQS. Al-Maaidah : 44).
Adapun para feminis muslim yang mencoba membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil syar’i, sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil syar’i sebagai tumpuan ide feminisme. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah mengambil asumsi-asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari ayat atau hadis untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau hadis yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang mereka anut secara fanatik, maka ayat atau hadis itu harus diubah maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender. Ketika mereka mendapatkan ayat atau hadist yang tidak sesuai dengan konsep tersebut, seperti hukum waris 2:1 (dua bagian laki-laki setara dengan satu bagian perempuan), atau ketidakbolehan perempuan menjadi penguasa), mereka lalu menta`wilkan –tepatnya : memperkosa– ayat atau hadits tersebut agar sesuai dengan selera mereka. Ini artinya, sebenarnya ide feminismelah yang menjadi standar, bukan ayat atau hadits itu sendiri. Andaikata ayat atau hadits yang menjadi standar, niscaya mereka akan tunduk kepada makna yang terkandung dalam ayat atau hadits apa adanya, serta tidak akan melakukan berbagai re-interpretasi yang malah menghasilkan pendapat-pendapat rusak seperti yang telah disebutkan di atas.
Ketiga, para feminis muslim, menggunakan metode historis-sosiologis khas kaum modernis untuk memahami nash-nash syara’. Metode ini sebenarnya berasal dari sistem hukum Barat yang memandang kondisi masyarakat sebagai sumber hukum15. Fakta masyarakat dianggap sebagai dalil syar’i yang menjadi landasan penetapan hukum. Jelas di sini bahwa metode “ushul fikih” mereka adalah “ushul fikih” yurisprudensi hukum Barat, bukan ushul fikih yang murni diambil dari para ushuliyun kaum muslimin. Tentu saja ini sangat keliru. Sumber hukum tiada lain adalah wahyu, yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan realitas masyarakat yang ada. Realitas sosial pada saat suatu ayat hukum turun, atau ketika suatu hukum disimpulkan dari ayat atau hadits oleh seorang mujtahid, adalah fakta yang kepadanya hukum diterapkan, bukan fakta yang darinya hukum dilahirkan. Jadi sebenarnya ada perbedaan tegas antara wahyu sebagai sumber hukum dengan realitas masyarakat sebagai objek penerapan hukum. Karena itu, hukum Islam tidak perlu ditafsir ulang, sebab selama manathul hukmi (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) di masa sekarang sama dengan masa Nabi dan sahabat, hukum tertentu untuk satu masalah tertentu tidaklah akan berbeda. Jika ada manathul hukmi di zaman sekarang yang tidak terdapat pada masa sebelumnya, yang harus dilakukan adalah ijtihad untuk menggali hukum baru bagi masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada agar sesuai dengan realitas baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum seperti yang dilakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah ijtihad, melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab manathul hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.
Keempat, para feminis muslim gagal memahami kehendak Syari’at Islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan. Mereka menganggap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan, otomatis menyebabkan kesetaran hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Ini keliru. Karena, cara berpikir demikian adalah cara befikir logika (mantiqi) yang tidak berlandaskan pada dalil syar’i mana pun. Selain itu fakta Syari’at Islam menunjukkan bahwa kedua ide itu (yaitu kesetaraan kedudukan dengan kesetaraan hak) tidaklah ber-relasi sebab-akibat yang bersifat pasti (absolut) seperti dipahami feminis muslim, yakni kesetaraan kedudukan lelaki dan perempuan, pasti menghasilkan kesamaan hak dan kewajiban di antara keduanya.. Memang benar, Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Islam memberikan beban hukum (taklif syar’i) yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal wajibnya sholat, puasa, zakat, haji, amar ma’ruf nahi munkar, dan sebagainya. Ini ketentuan secara umum. Namun, Islam menetapkan adanya takhshish (pengkhususan) dari hukum-hukum yang bersifat umum, jika memang terdapat dalil-dalil syar’i yang mengkhususkan suatu hukum untuk laki-laki saja atau untuk perempuan saja. Dan takhshish harus proporsional, yakni hanya boleh ada pada masalah yang telah dijelaskan oleh dalil syar’i. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
“Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.”
“Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”
Dengan demikian, dapatlah diterima bila Islam mengkhususkan hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk perempuan, bukan lelaki, karena memang terdapat dalil-dalil syar’i untuk itu. Dapat dibenarkan bila Islam mengkhususkan pakaian perempuan yang berbeda dengan laki-laki, karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan pengkhususan ini. Demikian seterusnya16. Pengkhususan inilah yang diingkari oleh para feminis, padahal pengkhususan ini semata berdasarkan dalil syar’i dari Al Kitab dan As Sunnah, bukan mengikuti hawa nafsu para mufassir atau mujtahid, yang dicap oleh kaum feminis secara zalim sebagai laki-laki yang terkena bias gender dalam penafsirannya terhadap Al Qur`an dan As Sunnah. Yang juga patut dicatat, pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya dominasi/penindasan dari satu pihak kepada pihak lain, sebagaimana ilusi feminisme. Ilusi seperti ini tentu logis bagi feminisme, karena feminisme beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan lelaki/wanita mutlak ditentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban, yang berarti, tolok ukurnya adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas, bukan kualitasnya. Ilusi ini timbul karena paham materialistik yang inheren dalam ideologi kapitalisme/sosialisme. Padahal dalam Islam, tolok ukur kemuliaan adalah ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa –bukan sebanyak apa– seseorang itu menjalankan aktivitas dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Bukan diukur secara kuantitaif yang mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan banyak-sedikitnya peran atau aktivitas yang dilakukan. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (QS. Al Hujuraat : 13).
Allah SWT berfirman :
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk : 2)
Dalam ayat di atas Allah menyatakan bahwa hikmah penciptaan hidup dan mati adalah, Dia menguji kita siapakah di antara kita yang ahsanu ‘amala (lebih baik amalnya), bukan aktsaru ‘amala (yang lebih banyak amalnya). Jadi yang dinilai Allah adalah tingkat ihsan (kebaikan) dari suatu amal atau kualitas amal, bukan kuantitas amal.
Mewaspadai Gerakan Perempuan
Jelaslah, gerakan perempuan yang mengusung ide-ide feminisme memang cukup patut diwaspadai. Di balik advokasinya terhadap kaum wanita yang seakan tulus, ternyata terselip racun-racun ideologis yang berbahaya dan amat mematikan. Memang benar, kita perlu mencerdaskan kehidupan kaum wanita, tetapi haruskah kita bunuh diri secara bodoh dengan menenggak racun-racun pemikirannya tanpa sadar?
Gerakan perempuan setidaknya berbahaya terhadap umat Islam karena tiga hal berikut : Pertama, Menjadi legitimator ide-ide feminisme yang kufur dengan mengatasnamakan agama. Dengan kata lain, mereka memperalat dan memperkosa agama untuk mengabdi kepada ide feminisme yang kufur. Umat di sini akan dapat terkecoh bila tidak waspada dan membekali diri dengan Tsaqafah Islamiyyah yang memadai. Kedua, Menjadi alat kontrol bagi pemerintah sekuler yang ada, agar konsisten menjalankan ide-ide feminisme yang berbentuk peraturan internasional yang dikeluarkan PBB. Ini artinya, gerakan perempuan menjadi perpanjangan tangan negara-negara kapitalis-sekuler seperti Amerika Serikat dalam mendominasi dunia Islam. Ketiga, Mengkondisikan umat Islam –-khususnya muslimah-– agar ridha dan ikhlas menerima ide-ide feminisme yang batil, dengan cara terus mempropagandakannya melalui beraneka media dan sarana di berbagai forum.
Dari adanya ketiga hal tersebut, jelaslah ke mana arah yang dituju oleh gerakan-gerakan perempuan penganut feminisme. Arahnya adalah turut berpartisipasi dalam konspirasi internasional negara-negara kapitalis untuk menjadikan ideologi kapilatisme yang kufur sebagai agama bagi seluruh umat manusia dan membuang ideologi Islam yang sahih dari perannya mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/AH]
CATATAN:
- Farha Ciciek, Wacana Keperempuanan Mutakhir, Makalah dalam Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, di Pusat Studi Islam Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 14 Desember 1995.
- F. Syarifah, Di Balik Serbuan Feminisme, Jurnal Al Ihsas edisi 02/Th. I Dzulqaidah 1416 H/April 1996. hlm. 11–16.
- Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 5.
- Ibid, hlm 6.
- Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. 55–56.
- John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, Cetakan XVIII, 1990, hlm. 265 dan 517.
- Mansour Fakih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 11–20.
- Yunahar Ilyas, op, cit, hlm. 46–53. Feminisme Liberal diarahkan pada perubahan/pembaharuan undang-undang dan hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi produktif (menghasilkan materi/uang). Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari sistem patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan ekonomi.
- Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994, hlm. 55.
- Asghar Ali Engineer, Ibid, hlm. 57.
- Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fil Islam, Darul Ummah, Beriut, 1990, hlm. 77 – 78.
- Untuk uraian terperinci mengenai ide-ide feminis muslim ini, lihat Yunahar Ilyas, op.cit., hlm 61 – 104. Juga lihat laporan Simposium Nasional Rekonstruksi Fikih Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Kontemporer, Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tanggal 9–11 Desember 1995.
- Yunahar Ilyas, op.cit., hlm 142 – 144
- Robert M. Marsh, Comperative Sosiology, Brace and World, New York, 1967, hlm 19.
- Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri’ wa Sannul Qawanin fid Daulah Islamiyyah, Darun Nahdlah Al Islamiyyah, Beirut, 1992, hlm. 12.
- Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Dustur, t.p., t.t.p., 1963, hlm. 235–257
Sumber: shiddiqaljawi.id