Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.
Suaramubalighah.com, Opini — Berbagai isu moderasi beragama sedang giat-giatnya digaungkan oleh pemerintah dengan alasan toleransi beragama dan keberagaman adalah salah satu cara untuk mengcounter isu radikalisme. Terbaru, dalam Media Radar Tasik (24 Oktober 2022), Kementerian Agama telah menerbitkan Surat Edaran No.28 tahun 2022 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai Kementrian Agama pada 19 Oktober 2022. Di antaranya ada model pakaian batik bermotif sinkretisme yang disebut dengan “Batik Moderasi Beragama”.
Dalam batik hitam putih tersebut bermotif tempat ibadah semua agama. Ada masjid, gereja lengkap dengan simbol salibnya, pura, kelenteng dan patung Buddha. Berjejer ornamen-ornamen nuansa salib. Konon Inilah batik PDH (Pakaian Dinas Harian) yang akan dipakai pegawai Kementerian Agama. Hal ini memunculkan reaksi untuk menanggapi pengadaan batik moderasi beragama ini. Salah satunya yang disampaikan GPI (Gerakan Pemuda Islam) Sumut, menyampaikan sikap penolakannya terhadap batik moderasi beragama versi Kemenag. Ketua umum GPI menegaskan hal tersebut menyalahi etika dan dapat memicu kegaduhan. (waspada.id, 01/10/2022)
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Muhyiddin Junaidi pun bersuara untuk menyampaikan kritik pada pakaian batik moderasi beragama yang akan dijadikan pakaian dinas harian pegawai Kementerian Agama.
Batik Moderasi Beragama dan Pluralisme
Batik moderasi beragama cermin nyata ide pluralisme. Pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing. Motif masjid, gereja, salib, kelenteng, dan pura di batik moderasi beragama menggambarkan kelompok-kelompok yang berbeda memiliki kedudukan yang sama. Sementara batik tersebut akan dipakai oleh pegawai yang mayoritas muslim. Sungguh ini menyalahi konsep toleransi itu sendiri bahkan ini wujud nyata sebuah pemaksaan.
Sungguh ironis. Moderasi beragama dengan ide pluralismenya konon katanya menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan membolehkan kelompok yang berbeda untuk tetap menjaga keunikan budayanya masing-masing untuk kehormanisan masyarakat. Akan tetapi, faktanya pluralisme bukannya membawa keharmonisan, justru disinyalir telah banyak menciptakan sisi negatif akibat isu perbedaan dan persatuan antarumat beragama. Hal ini disalahgunakan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan sendiri dari setiap konflik yang ditimbulkan.
Pluralisme sejatinya membawa keresahan umat manusia, setidaknya ada tiga poin sisi negatif dari ide pluralisme. Pertama, rentan terhadap konflik. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan nilai dasar. Baik nilai dasar budaya maupun agama. Perbedaan tersebut mengaburkan batasan pada nilai-nilai dasar akidah dan baik buruk, serta kesopanan suatu bangsa.
Kedua, karena pluralisme bertentangan dengan akidah umat Islam. Misalnya dalam pluralisme agama, mereka melarang adanya truth claim terhadap suatu agama. Padahal Islam mengajarkan bahwa satu-satunya agama yang diridai Allah hanya Islam.
Ketiga, paham ini lebih banyak membawa kemudaratan dalam masyarakat. Implementasi dari pluralisme dalam kehidupan selalu membawa hasil akhir seperti kontroversi, kegelisahan, dan keresahan di masyarakat.
Melihat kebijakan ala moderasi beragama tersebut, tidakkah terlihat seperti dipaksakan? Moderasi beragama dengan ide pluralismenya telah membawa kerusakan umat beragama. Untuk keluar dari cara berpikir yang telah diajarkan agamanya secara sempurna, mereka mencampuradukkan setiap ajaran agama yang ada dengan tujuan keharmonisan.
Pluralisme dalam Pandangan Islam
Islam merupakan satu-satunya agama yang diridai Allah SWT sebagai agama yang benar karena berasal dari Sang Penciptanya sendiri. Bahwasanya Allah memang menciptakan manusia di muka bumi ini dengan berbagai perbedaan yang ada, mulai dari ciri fisik, bahasa, karakter budaya, ras, suku, dan agama. Akan tetapi keragaman tersebut tidak membawa pada kegaduhan, keresahan, dan konflik di antara mereka. Mengapa? Sebab Allah telah mengatur bagaimana Al-Qur’an diturunkan untuk manusia sebagai pedoman menjalankan kehidupannya di dunia sesuai dengan syariat-Nya.
Fiirman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat menyampaikan bagaimana manusia diciptakan berbeda tetapi memiliki satu tujuan yaitu ketakwaan.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (QS. Al Hujurat [49]: 13)
Islam memandang serta mengakui adanya pluralitas, yakni keberagaman manusia dari sisi suku, bahasa, dan agama. Dan ini merupakan sesuatu yang alamiah (sunatullah). Namun Islam melarang mencampuradukkan hak dan batil sebagaimana pluralisme. Allah SWT berfirman: “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya,” (QS. Al-Baqarah: 2)
Seorang muslim mengenakan pakaian (aksesori) yang ada motif (simbol) agama lain ialah sesuatu yang dilarang. Para ulama sepakat menggunakan simbol agama lain masuk ke dalam hukum tasyabbuh. Kata “tasyabbuh” berasal dari kata “tasyabbaha“, yang bermakna al-tamtsiil (menyerupai). Yang menurut istilah para fuqaha, tasyabbuh bermakna menyerupai atau meniru-niru perkataan, perilaku, dan kebiasaan orang-orang kafir. Terlebih jika batik tersebut untuk salat, jelas itu diharamkan.
Batasan toleransi dalam Islam sudah sangat jelas yakni menghormati tanpa harus mencampuradukkan hak dan batil ataupun mengikuti cara hidup agama lain. Seperti yang disampaikan dalam firman Allah SWT,
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun [109]: 6)
Kebijakan seragam batik moderasi beragama sungguh telah menyalahi syariat Islam dan memaksakan pluralisme pada umat Islam. Sungguh tidak sepantasnya, seorang pemimpin mayoritas penduduk beragama Islam memaksakan moderasi beragama dengan melanggar ketentuan syariat Islam. Sebab, maksud hati akan membawa perbedaan kepada keharmonisan, justru hal ini akan membawa pada kontroversi dan kegaduhan di masyarakat.
Umat Islam harus senantiasa meningkatkan kesadaran berpikirnya dan harus segera bangkit agar senantiasa tidak ditindas dengan kebijakan yang melenceng. Dan saat umat Islam kembali kepada aturan Islam yang kaffah, memiliki pemimpin yang menegakkan kembali sistem pemerintahan yang bisa menegakkan hukum-hukum syariat di muka bumi. Sehingga ketenangan dan ketentraman benar-benar terwujud dalam kehidupan. Yakni kehidupan yang baldatun thoyyibatun warabbun ghofur dalam naungan Khilafah Islam. Wallahu a’lam bishshawab. (SM/mly)