Kekerasan oleh Santri, Butuh Solusi Islam Kaffah

  • Opini

Oleh: Qisthi Yetty

Suaramubalighah.com, Opini —  Sistem pendidikan lembaga pesantren telah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 1945. Kiai dan santri berjuang di garis terdepan dalam mengusir penjajah di Tanah Air. Pondok pesantren memberi andil besar dalam kemerdekaan Indonesia dan mewarnai perjalanan bangsa ini sampai sekarang. Pondok pesantren menjadi salah satu lembaga pendidikan terbaik sebagai tempat menuntut ilmu. Namun, seiring dengan arus sekularisasi dan liberalisasi yang menghantam negeri ini, berbagai persoalan mulai muncul di dunia pendidikan, termasuk pondok pesantren.

Pada 2022, kekerasan yang dilakukan oleh santri menjadi sorotan. Di antaranya, kekerasan di Ponpes Gontor menyebabkan santri berinisial AM (17) meninggal dunia diduga akibat penganiayaan oleh seniornya. Kemudian pengeroyokan di Ponpes Darul Qur’an Lantaburo, Cipondoh, Tangerang, pada Agustus lalu, RAP meninggal dunia diduga akibat dikeroyok. Polisi telah menetapkan 12 santri sebagai tersangka dalam kasus ini. Pada bulan yang sama, perkelahian di Ponpes Daar El-Qolam Tangerang menyebabkan seorang santri meninggal dunia usai berkelahi dengan temannya di lingkungan pondok.

Muncul pertanyaan, mengapa di lembaga pendidikan yang berbasis agama terjadi kekerasan oleh santri? Mengapa santri kehilangan identitas diri menjadi arogan, emosinya tidak terkontrol hingga cenderung bebas?

Tidak Hanya di Pesantren

Kekerasan dan perundungan anak tidak hanya terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Bahkan sebelum ini, kasus kekerasan dan perundungan lebih banyak terjadi di lembaga pendidikan nonpesantren.

Kendati demikian, bukan berarti kita boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren. Walaupun jika dibandingkan jumlah pesantren di seluruh Indonesia yang berjumlah 26.975, kejadian di satu atau dua pesantren tidak mencerminkan wajah pondok pesantren secara keseluruhan.

Masalah kekerasan dan perundungan ini tidaklah sederhana, melainkan bersifat sistematis, yakni kehidupan yang sekuler liberal. Tidak bisa menyalahkan individu santri semata, juga keluarga atau institusi pesantrennya saja. Santri tidak hanya tinggal di lingkungan pesantren dengan berbagai macam peraturannya, melainkan juga dengan keluarga dan lingkungannya yang berinteraksi dengan landasan kehidupan sekuler liberal.

Hal ini menyebabkan kehidupan umat Islam menganut gaya hidup bebas dan rentan stres sosial karena mengukur segala sesuatu dengan materi (duit). Inilah pemicu seseorang mudah terpancing amarah hingga hilang akal yang melakukan sesuatu di luar nalar hingga bisa menghilangkan nyawa manusia. Astagfirullah.

Media massa pun memprovokasi generasi muda, tidak terkecuali para santri dengan berbagai konten “sampah” yang merusak, untuk hidup dengan standar gaya hidup materialistis, kering akan idrak shillah billah (hubungan dengan Allah Ta’ala). Sementara itu, santri tidak 100% tinggal di lingkungan pesantren. Suguhan gim, iklan, video, dan sebagainya saat santri liburan atau pulang ke rumah orang tuanya, tidak bisa dihindari. Ditambah pola asuh dan karakter orang tua (yang sekuler dan kering kasih sayang) yang tidak sejalan dengan pesantren. Hal ini pun memengaruhi santri dalam menyelesaikan masalah dengan jalan serba instan tanpa proses bijak dan penuh kesabaran, serta cenderung main tangan (kekerasan).

Paradigma Sekuler Kapitalistik

Terlebih, saat ini pesantren pun terkungkung oleh program moderasi beragama, yakni moderat dan sangat terbuka dengan nilai-nilai Barat. Bahkan, orientasi pendidikannya pun telah berubah menjadi sekadar ajang mengejar skill (entrepreneurship) dan gelar.

Fokus pesantren mencetak generasi ulama yang faqqih fiddin, beramal sesuai ilmu yang diperoleh, dan terdepan ber-amar ma’ruf nahy munkar, menjadi dikebiri dan digiring. Pesantren hanya menjadi pencetak pekerja dan wirausaha untuk mendongkrak perekonomian bangsa yang telah bangkrut akibat penerapan ekonomi kapitalisme. Mirisnya, siapa pun yang terlalu dekat dengan agama, justru rentan distigma radikal dan ekstrem.

Peran negara juga antara ada dan tiada. Paradigma sekuler kapitalistik yang diembannya membuat fungsi strategis negara terkooptasi kepentingan pemilik modal. Alih-alih peduli dengan urusan rakyatnya, kebijakan negara justru menjadi biang munculnya berbagai penderitaan. Diperparah dengan sistem hukum dan hankam yang gagal menjamin rasa aman.

Walhasil, individu dan keluarga hidup tanpa pegangan. Beban ekonomi yang makin berat menjadi alasan mereka masuk dalam berbagai tindak amoral. Sementara itu, masyarakat kehilangan tradisi amar ma’ruf nahy munkar.

Butuh Solusi Sistemis

Solusi kekerasan oleh santri ini butuh solusi sistemis, yakni penyelesaian dengan penerapan syariat Islam kaffah (menyeluruh). Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas berpikir dan beramal bagi seluruh pihak, baik santri, orang tua, masyarakat, maupun negara. Harus mengubah sistem sekuler (dikotomi pendidikan) ke sistem pendidikan dengan metode belajar talqiyan-fikriyan-muatsaran, yaitu proses menjadikan ilmu menjadi pemahaman dengan proses berpikir, bukan sekadar dihafalkan.

Dengan metode ini, belajar akan berpengaruh ke dalam jiwa sehingga mendorong untuk diamalkan. Ini karena Islam bukan hanya teori, melainkan untuk diamalkan.

Adanya sanksi dalam proses belajar, sebagaimana hadis Nabi saw., “Pukullah jika tidak mengerjakan salat pada usia 10 tahun,” merupakan pemberian pukulan mendidik, bukan dalam rangka menyakiti.

Kedua, penerapan sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir, yaitu mencegah dan memberi efek jera. Dalam Islam terdapat sanksi tegas, di antaranya dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 178—179, yaitu berupa jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.

Maksud dari jinayah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS. Al-Baqarah: 178).

Meski terdapat dorongan dan motivasi untuk memberi maaf, tetapi setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan sebab ancaman pidananya sangat berat, yaitu qishash ataupun diat yang nilainya besar.

Riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash menyatakan, “Untuk pembunuhan seperti sengaja [diatnya adalah] sebesar 100 ekor unta yang 40 ekor di antaranya adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan, diat tersebut dapat mencapai miliaran rupiah.

Kebaikan Sanksi Islam

Dalam qishash, terdapat kebaikan. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Maknanya [qishash] adalah kalian memiliki jaminan hidup dalam hukum yang Allah Azza wa Jalla syariatkan. Ini karena apabila seseorang tahu akan dibunuh secara qishash, jika ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus kepadanya.”

Pemberian sanksi yang tepat akan menjamin keadilan karena berasal dari Zat Yang Maha Adil, yaitu Allah Ta’ala. Selain itu, juga efektif membuat jera pelaku untuk berbuat yang sama pada kemudian hari, serta mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.

Dalam Islam, perundungan hingga kekerasan bisa terkategori perilaku yang dilarang atau diharamkan. Dalam QS. Al-Hujurat: 11 dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita yang lain ( karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Islam pun memerintahkan untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama muslim karena Allah Ta’ala. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh yang lainnya akan merasakan sakit.” (HR. Muslim)

Khatimah

Untuk menyelesaikan kekerasan oleh santri secara serius, jalan satu-satunya adalah dengan menerapkan syariat Islam oleh individu santri, keluarga (orang tua), dan sekolah (masyarakat). Untuk mewujudkan ini semua, butuh sistem yang kondusif, yakni Khilafah Islam. Wallahu a’lam. [SM/Ah]

Sumber: muslimahnews.net