Hidup Mulia atau Mati Syahid, Slogan yang Menggetarkan Musuh

  • Opini

Oleh: Ashaima Va

Suaramubalighah.com, Opini — Slogan “isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid), dipersoalkan oleh kaum liberal dan kaum moderat. Slogan ini dianggap memicu aksi kekerasan hingga terorisme, bahkan baru-baru ini dikaitkan dengan kaum muslimin yang ingin kembali pada kehidupan di bawah naungan syariat Islam. Mereka dituduh radikal hanya karena ingin menjalankan aturan Sang Pencipta. Lalu dengan serta-merta dikaitkan dengan slogan ini.

Benarkah slogan “hidup mulia atau mati syahid” bisa dipahami sebagai lebih baik mati daripada tidak hidup di bawah syariat Islam?

 Agaknya kesimpulan ini terlalu prematur. Kita butuh memahami secara mendalam syariat jihad dalam Islam.

Slogan “Hidup Mulia atau Mati Syahid”, Motivasi Perjuangan

Slogan “isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid) sangat erat kaitannya dengan motivasi perjuangan di jalan Allah SWT dan jihad fi sabilillah. Dan slogan ini merupakan inti sari dari sebuah hadis Nabi saw.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأَى عَلَى عُمَرَ قَمِيصًا أَبْيَضَ فَقَالَ: (ثَوْبُكَ هَذَا غَسِيلٌ أَمْ جَدِيدٌ؟) قَالَ: لَا، بَلْ غَسِيلٌ.

قَالَ: ( الْبَسْ جَدِيدًا، وَعِشْ حَمِيدًا، وَمُتْ شَهِيدًا )

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. melihat Umar memakai pakaian putih lalu beliau bersabda padanya: “Pakaianmu ini lama atau baru?” (Umar menjawab) “Sudah lama.” Beliau bersabda : “Pakailah yang baru, hiduplah terpuji, dan matinya dalam keadaan syahid). (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan At-Thabrani)

Dan ada juga slogan senada, “isy kariman wa mut kariman” (hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai seorang yang mulia pula). Pernyataan itu diucapkan oleh Asma’ binti Abu Bakar kepada putranya, Abdullah bin Zubair, sebagai nasihat penyemangat saat sang anak harus berjibaku dengan Yazid bin Muawiyah.

Bahkan slogan tersebut sangat erat kaitannya dengan motivasi perjuangan bangsa ini dalam mengusir penjajah. Kurang lebih dua minggu sebelum pecah perang 10 November 1945, KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan resolusi jihad  PBNU. Resolusi ini lalu kembali dikukuhkan pada Kongres Nasional Masyumi 8 November 1945. Resolusi Jihad ini disambut oleh Arek-Arek Suroboyo yang saat itu dipimpin oleh Bung Tomo. Pekik takbir menggema, akhirnya Kota Surabaya bisa diselamatkan dari aneksasi pasukan BIA (British Indian Army) dan pasukan NICA (Nederland Indisch Civil Administration).

Peristiwa ini menunjukkan bahwa rakyat negeri ini berutang pada kaum muslimin. Dengan semangat jihad, para penjajah bisa diusir dari negeri ini. Sejak dulu semangat inilah yang tertancap pada jiwa kaum muslimin dan telah menorehkan kisah kepahlawanan nan pemberani. Dengan slogan “hidup mulia atau mati syahid”, jihad telah menjadi kekuatan yang menggetarkan musuh.

Mendudukkan Perkara Jihad

Para imam mazhab sepakat bahwa jihad saat kaum muslimin diserang hukumnya adalah wajib. Bagi kaum muslim di wilayah yang diserang, hukumnya fardhu ‘ain. Sedangkan bagi wilayah sekitarnya yang tidak diserang, hukumnya fardhu kifayah, yaitu menjadi pembebanan wajib saat jumlah yang berperang belum memadai untuk melawan musuh. Jihad saat kaum muslimin diserang musuh dikenal sebagai jihad defensif.

Terdapat banyak dalil mengenai wajibnya berjihad saat kaum muslimin diserang oleh kaum kafir, di antaranya tercantum dalam ayat berikut:

وَقَٰتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190)

Selanjutnya jika kita mengkaji sirah Rasulullah, kita akan dapati bahwa Rasul yang mulia dan para sahabatnya melakukan jihad setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Yaitu setelah berdirinya negara Islam di Madinah Al-Munawarah. Jihad semacam ini dikenal sebagai jihad ofensif.

Allah SWT berfirman:

قَٰتِلُوا۟ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Juga terdapat hadis:

أمرت أن اڨاتل الناس حتى يقولوا لا اله إلا الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah.” (HR. Asy-Syaikhan dan Ahmad dengan lafal Muslim)

Hadis tersebut dan nas-nas yang lainnya memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi orang-orang kafir, sebagai suatu komunitas atau institusi negara bukan sebagai individu. Tujuannya adalah agar mereka mau tunduk dan patuh pada hukum-hukum Islam, bukan yang lainnya. Perkara selanjutnya apakah mereka mau masuk Islam atau tidak, maka itu diserahkan pada individu masing-masing.

Sehingga bisa dipahami, jihad ofensif dibebankan pada institusi negara bukan individu. Jihad ini pula bukan ditujukan untuk menggiring individu-individu manusia agar memeluk Islam. Jihad tersebut lebih ditujukan menghancurkan penghalang fisik yang menghalangi sampainya Islam pada umat manusia dan bangsa-bangsa. Sekaligus untuk menjadikan bangsa-bangsa dan umat-umat tersebut hidup di bawah pemerintahan Islam.

Apa yang mesti dilakukan saat belum ada institusi negara yang menerapkan Islam seperti pada masa kini? Jawaban untuk hal ini adalah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah selama di Makkah, yaitu saat belum ada institusi Khilafah. Rasulullah hanya berdakwah tanpa kekerasan (laa madiyah) dalam menyeru umat manusia agar mau beriman dan berhukum pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam kondisi kaum muslimin diserang musuh, maka slogan “hidup mulia atau mati syahid” sangat tepat diterapkan. Daripada terjajah dan dihinakan oleh musuh-musuh Allah, maka kaum muslimin harus melawan agar tetap mulia. Sekalipun mesti dibayar dengan nyawa. Dan tidak tepat jika slogan tersebut dikaitkan dengan dakwah untuk menyeru pada syariat. Dakwah saat ketiadaan Khilafah seperti saat ini, harus bersifat dakwah pemikiran tanpa kekerasan.

Jadi, tidak ada kaitannya slogan “isy kariman au mut syahidan” dengan aksi terorisme atau kekerasan yang diciptakan oleh Barat atas nama “war on terorism“.

 Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]