Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Ramadan bulan istimewa. Setiap mukmin pasti memuliakannya. Ramadan juga disebut sebagai bulan Al-Qur’an. Karena di bulan ini, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia.
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)…” (QS Al–Baqarah/ 2: 185)
Pun Ramadan adalah bulan dilipatgandakannya pahala, bulan diijabahnya doa-doa hamba, dan bulan pengampunan dosa-dosa hamba di masa lalu.
“Barangsiapa berpuasa Ramadan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR Bukhori No. 38 dan Muslim No.760)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman ‘kecuali amalan puasa. Amalan puasa itu untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebhagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR Bukhari No. 1904, 5927 dan Muslim No. 1151)
Mukmin sejati pasti sangat merindukan Ramadan. Baginya, berjumpa lagi dengan bulan Ramadan adalah karunia besar dari Allah SWT yang harus ia syukuri. Maka tentu ia tidak akan membiarkan waktu Ramadan berlalu, kecuali diisinya dengan melakukan amal shalih terbaik demi meraih derajat takwa di sisi Allah SWT.
Amal saleh yang dimaksudkan disini adalah semua amal kebaikan yang telah disyariatkan dalam Islam. Yaitu menyempurnakan semua perkara yang diwajibkan oleh Allah SWT, seperti salat fardu, puasa wajib Ramadan, membayar zakat, birrulwalidaini, thalabul-ilmi, berdakwah, berjihad, dan lain sebagainya. Kemudian ditambah dengan memperbanyak amalan sunnah yang disukai oleh Allah SWT, seperti salat sunnah Rawatib, salat Tarawih, dan qiyamullail, infaq shadaqah, tadarus Al-Qur’an, berzikir, berdoa, dan lain-lain. Serta meninggalkan semua perkara yang diharamkan. Sebisa mungkin meninggalkan hal-hal yang makruh, serta bersikap wara’ (hati-hati) dalam melakukan perkara yang mubah (boleh) agar tidak terjerumus pada sikap lalai atau menyia-nyiakan waktu yang merugikan hidupnya.
Dan jika kita mempelajari kembali kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabatnya dalam menjalani ibadah Ramadan, dapat kita temui bahwa Rasulullah saw. dan sahabatnya menjadikan Ramadan sebagai bulan perjuangan untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh alam dengan dakwah dan jihad.
Banyak peristiwa penting di masa Rasulullah saw. yang terjadi di bulan Ramadan. Di antaranya Perang Badar Al-Kubra yang terjadi pada bulan Ramadan tahun 2 H. Saat itu pasukan kaum muslimin yang berjumlah 313 orang, harus menghadapi musuh kafir Quraisy yang berjumlah 1000 orang.
Demikian juga peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadan tahun 8 H. Kala itu Rasulullah SAW bersama 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Makkah, dan berhasil menaklukkan kota Makkah tanpa pertumpahan darah demi menghancurkan berhala-berhala serta segala bentuk kemusyrikan dan kekufuran.
Menjadikan Ramadan sebagai bulan perjuangan, dakwah, dan jihad selalu dilakukan juga oleh generasi kaum muslimin setelah masa Rasulullah saw. hingga kehidupan kekhilafahan selanjutnya. Sebut saja peristiwa Perang Hittin yang terjadi pada Ramadan tahun 548 H. Dalam perang tersebut, pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mengalahkan pasukan Salib.
Kemudian juga peristiwa Perang ‘Ain Jalut yang terjadi pada Ramadan tahun 658 H. Dalam perang itu, pasukan kaum muslimin bersama para ulama bangkit di bawah pimpinan Sultan Saifuddin Quthuz dari Dinasti Mamluk di Mesir untuk melawan invasi pasukan Mongol yang sebelumnya telah menghancurkan Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Dan akhirnya pasukan kaum muslimin mampu mengakhiri kekuasaan pasukan Mongol dari negeri Palestina.
Maka jelaslah bahwa bagi kaum muslimin, Ramadan bukan hanya bulan untuk menunaikan ibadah wajib yang bersifat ritual saja atau sekadar memperbanyak amalan sunnah. Namun Ramadan adalah bulan mulia saat kaum muslimin menyempurnakan semua perkara wajib, bahkan amalan wajib yang utama, yaitu menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad. Karena sejatinya Ramadan adalah bulan perjuangan.
Demikianlah suasana Ramadan yang senantiasa berlangsung sejak masa Rasulullah saw., para sahabatnya, tabiin dan tabiut tabiin, sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga masa kekhilafahan Islam selanjutnya. Ramadan selalu dihiasi dengan berbagai ketaatan, bahkan aktivitas penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad.
Ramadan di Era Kapitalisme Sekuler
Sungguh berbeda dengan kondisi Ramadan saat ini. Keagungan dan kemuliaan Ramadan tergerus oleh pola hidup sekuler kapitalistik yang liberal. Kaum muslimin makin lemah dalam memaknai Ramadan sebagai momen strategis untuk mewujudkan takwa hakiki dan melejitkan keagungan Islam sebagai pemimpin peradaban dunia yang menebarkan rahmatan lil‘alamin. Pusaran sistem hidup yang sekuler liberal ini telah membawa umat pada memaknai Ramadan dengan ibadah sebatas ritual dan rutinitas semata, dan menghilangkan karakter Islam yang tinggi dan mulia sebagai way of life.
Ditambah lagi dengan ide moderasi beragama yang terus diaruskan secara masif di negeri ini, makin menjauhkan umat dari ketaatannya pada syariat Allah. Karena memang ide moderasi beragama itu adalah sekularisasi dan liberalisasi dalam wajah lain. Maka jelas ide ini justru akan menjauhkan umat dari takwa yang menjadi target dari ibadah Ramadan.
Dan sesungguhnya Islam telah memerintahkan setiap mukmin untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa sebagaimana firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran/ 3: 102)
Dan konsekuensi logis dari takwa itu adalah ber-Islam secara kaffah, sebagaimana perintah Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, sungguh ia musuh yang nyata bagimu” (QS Al–Baqarah/ 2: 208)
Perintah untuk ber-Islam kaffah ini adalah kewajiban bagi setiap mukmin. Dan Islam tidak akan pernah bisa terwujud secara sempurna dan menyeluruh kecuali jika Islam benar-benar diterapkan secara total dalam institusi negara Khilafah. Sehingga kewajiban ber-Islam kaffah sejatinya adalah perintah untuk menegakkan Khilafah.
Khilafah Adalah Mahkota Kewajiban
Khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw., disebut oleh para ulama sebagai kewajiban yang paling penting (ahammu al–waajibaat), “Sungguh para sahabat radhiyallaahu ‘anhum telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam (khalifah) sebagai (salah satu) kewajiban paling penting (ahammu al–waajibaat). Faktanya mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban ini dengan menunda (sementara) kewajiban mengubur jenazah Rasulullah saw.” (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Syafi’i dalam Al-Shawaaiq Al-Muhriqah ‘ala Ahl Al-Rafdh wa Al-Dhalaal wa Al-Zindiqah, Beirut, Mu’assasat Al-Risalah, cet.1).
Sementara Imam Ibnu Taimiyah Al-Hanbali (w.728 H) dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa, Juz XVIII, hal. 391 menjelaskan bahwa menegakkan al-imaamah atau Al-Khilafah termasuk seagung-agungnya kewajiban (min a’zham wajibaat al-diin). Dan berjuang menegakkan Imamah/ Al-Khilâfah termasuk taqarrub paling utama (min afdhali al-qurbaat).
Abdurra’uf bin Taj Al-‘Arifin Al-Munawi dalam kitab Faydh Al-Qadir menyebutnya sebagai amal saleh yang paling utama (min afdhali a’maal al-shaalihat). Dan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa penegakan Khilafah adalah seutama-utamanya ibadah (afdhal al-‘ibadat). Karena memang Khilafah adalah mahkota kewajiban (taajul furuud). Dengan tegaknya Khilafah, semua perkara yang diwajibkan oleh syariat akan dapat dilaksanakan secara sempurna.
Berjuang Menegakkan Khilafah Adalah Taqarrub Paling Utama
Sejatinya telah sangat jelas bahwa berdakwah dan berjuang untuk menegakkan Khilafah demi terwujudnya Islam kaffah adalah taqarrub yang paling utama (min afdhal al-qurbaat). Allah SWT telah memberikan pujian kepada para pengemban dakwah Islam, sebagaimana firman-Nya, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal kebajikan dan berkata ‘Sungguh aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri)?” (QS Fushshilat/ 41: 33)
Dalam kewajiban dakwah tersebut ada aktivitas amar makruf nahi mungkar serta mengoreksi penguasa (muhaasabah lilhukkam). Dan muhasabah lilhukkam ini disifati sebagai sebaik-baiknya jihad (afdhalu al-jihaad).
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan seorang laki-laki yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (pada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian penguasa zalim itu membunuhnya.” (HR. Hakim dalam al-Mustadrak No.4884 dan Thabrani dalam al-Aswad No. 4079).Artinya Islam telah memberikan pujian terhadap aktivitas dakwah dan mengoreksi penguasa yang dijalankan sesuai tuntunan syariat.
Namun anehnya ada pihak yang secara serampangan mengatakan bahwa dakwah menyeru pada penegakan Khilafah sebagai perkara yang dapat membatalkan pahala puasa sebagaimana berdusta, ghibah, namimah, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat, sebagaimana klaim sebuah artikel di portal media online. Mereka menganggap bahwa keinginan mendirikan Khilafah adalah nafsu politik transnasional yang dapat menghanguskan pahala puasa. Karena menurut mereka nafsu tegaknya Khilafah tersebut dibumbui oleh manipulasi syariat Islam, yang mendorong maraknya fitnah dan namimah (adu domba) di tengah masyarakat.
Dikatakan “….ironisnya selama Ramadan, namimah tersebut ditingkatkan kadarnya dengan harapan terjadi chaos yang dapat dimanfaatkan untuk menegakkan khilafah. Para aktifis khilafah mengoptimalisasi Ramadan untuk agenda ideologisasi mereka dengan memasifkan provokasi yang jelas-jelas menghilangkan pahala puasa seluruhnya”.
Selanjutnya mereka juga menyatakan, “Optimalisasi Ramadan artinya mengerahkan segala upaya untuk mengonter isu khilafah. Jangan sampai nafsu akan Khilafah membuat puasa kita sia-sia karena pahalanya hangus…. Hanya dengan menghindari nafsu khilafah, Ramadan kita akan optimal… Maka waspadalah dengan nafsu khilafah yang sebabkan penyakit hati dan membuat puasa kita tersisa lapar dan haus belaka”.
Benarkah demikian? Mari kita telaah bersama.
Nafsu Tegakkan Khilafah Membatalkan Pahala Puasa?
Berjuang menegakkan Khilafah itu adalah kewajiban, sebagai konsekuensi ber-Islam secara kaffah yang diperintahkan Allah SWT (QS Al-Baqarah/ 2: 208). Karena tidak akan mungkin bisa ber-Islam kaffah kecuali dalam sistem Khilafah.
Bahkan ulama salafushshalih menyebut aktivitas penegakan Khilafah sebagai seagung-agungnya kewajiban (min a’zham wajibaat al-diin), termasuk taqarrub paling utama (min afdhali al-qurbaat), amal saleh yang paling utama (min afdhali a’maal al-shaalihat), dan seutama-utamanya ibadah (afdhal al-‘ibadat). Karena memang Khilafah adalah mahkota kewajiban (taajul furuud).
Artinya dakwah menegakkan Khilafah itu adalah dakwah menyerukan Islam kaffah, demi tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi, menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menyebarkan risalah Islam sebagai rahmatan lil‘alamin. Itu semua kewajiban dari Allah SWT, Zat Yang Maha Menciptakan manusia dan seluruh alam semesta, Zat Yang Maha Tahu baik dan buruk untuk kehidupan manusia.
Lalu, bagaimana mungkin perkara yang disyariatkan oleh Allah Zat Yang Maha Baik akan dapat menimbulkan berbagai keburukan seperti fitnah, namimah, chaos, atau penyakit hati yang katanya akan menghanguskan pahala puasa? Sungguh ini tuduhan tak berdalil yang salah alamat.
Dakwah menegakkan Khilafah yang hakikatnya dakwah menyerukan Islam kaffah itu, perintah Allah SWT. Artinya, perintah itu berdasarkan wahyu. Maka jelas bukan berdasarkan nafsu semata. Karena perkara yang didasarkan oleh nafsu, adalah perkara yang tidak didasarkan pada wahyu Allah, “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginan hawa nafsunya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS An–Najm/ 53: 3-4).
Jadi membuat konotasi (keinginan) menegakkan Khilafah sebagai nafsu, jelas tertolak secara syar’i. Bahkan bisa termasuk tuduhan serius yang sangat tendensius terhadap ajaran Islam yang mulia. Yang mempunyai anggapan tersebut tampaknya belum sepenuhnya memahami syariat Islam tentang Khilafah yang mulia. Atau karena kebenciannya pada syariat Islam?
Padahal Khilafah adalah bagian dari syariat yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Menciptakan manusia dan seluruh alam semesta, termasuk yang menciptakan pihak yang dengan lancangnya telah memfitnah Khilafah ajaran Islam tersebut.
Maka jelaslah bahwa kehendak memperjuangkan agama Allah dengan dakwah menyerukan Islam kaffah demi tegaknya Khilafah, adalah kehendak yang lahir dari keimanan dan ketundukan hamba pada ketetapan Allah SWT. Hal ini merupakan kewajiban setiap mukmin. Bahkan termasuk seagung-agungnya kewajiban.
Aktivitas dakwah, jihad, dan muhasabah lilhukkam bahkan harus terus ditegakkan sepanjang masa. Terlebih, dakwah dan amar makruf nahi mungkar adalah karakter yang sangat lekat dengan umat Islam sebagai khairu ummah (umat yang terbaik). Demi tersebarnya Islam sebagai rahmatan lil’alamin, dan demi terwujudnya keadilan, kebaikan, kedamaian, serta keberkahan hidup manusia dan seluruh bangsa di seluruh dunia.
Tentu saja dakwah dan jihad tersebut harus dilaksanakan sesuai tuntunan syariat Islam dan teladan Rasulullah saw.. Apalagi di bulan Ramadan, sudah semestinya setiap mukmin menghiasinya dengan berbagai ketaatan pada Allah SWT terutama aktivitas dakwah Islam kaffah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]