Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Memberikan makanan dan minuman yang halal menjadi hal penting yang perlu diperhatikan bagi tiap keluarga Muslim di seluruh dunia.
Perintah untuk mengonsumsi makanan halal tertuang dalam Al-Qur’an surah Al Maidah ayat 88,
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”
dan Al-Baqarah ayat 168,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”
Allah SWT memerintahkan umat Muslim untuk makan makanan halal yang baik dan jangan mengikuti setan, karena dia musuh yang nyata. Namun hari ini, masyarakat merasa resah dengan beredarnya makanan nonhalal di sekitar mereka. Sebagaimana yang terjadi di pasar Peunayong, Banda Aceh baru-baru ini, ditemukan peredaran daging babi dan anjing saat bulan Ramadan. Padahal menurut UU Aceh perbuatan tersebut terlarang bahkan dalam UU nomor 11 Tahun 2006 pasal 125, 126 dan 127 disebutkan bahwa setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan menegakkan syariat Islam yang ada di Aceh. Dan setiap orang yang bertempat tinggal di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Selain Aceh, Solo misalnya, dikenal sebagai surganya peredaran daging anjing. Daging anjing diperjualbelikan di masyarakat Solo yang mayoritas Muslim. Meski ada surat edaran tentang larangan peredaran daging anjing dan operasi pasar oleh aparat namun masyarakat tidak menggubrisnya. Seolah menjadi rahasia umum transaksi barang haram itu terus beredar.
Maka publik mempertanyakan di mana tanggung jawab negara dalam melindungi umat dari produk haram?
Islam Melindungi Umat dari Produk Haram
Istilah yang populer di Arab terkait pentingnya memerhatikan asupan makanan dalam tubuh adalah “al-bathnu ash ad-da’i” yang artinya perut itu pangkal penyakit maka mencegahnya adalah pangkal obat. Oleh karenanya setiap muslim wajib paham masalah perut ini. Bahkan negara memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi kepentingan rakyat terkait asupan makanan.
Makanan halal dan tayib adalah salah satu bagian dari syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Kaum Muslim tidak boleh abai terhadap syariat ini, mengingat jika dilanggar akan menyebabkan kemudaratan yang besar bagi umat manusia.
Kasus pandemi yang melanda dunia menjadi bukti bahwa makanan berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Pasalnya diduga makanan yang haram menyebabkan virus yang menyerang pernapasan menyebar sangat cepat. Sehingga tidak boleh ada yang masa bodoh terhadap urusan makanan.
Para ulama membagi makanan halal menjadi dua aspek, yaitu dilihat dari cara memperolehnya dan zatnya. Bila cara memperolehnya dengan cara halal dan zatnya juga halal, status makanan tersebut adalah halal.
Halal atau tidaknya makanan yang dikonsumsi seorang muslim sangat berpengaruh bagi seorang Muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR Tirmidzi)
Oleh karena itu, Islam memberikan ketentuan peredaran makanan halal harus dijamin oleh negara. Negara tidak boleh memberi izin para pedagang menjual makanan haram di tengah masyarakat muslim. Tentu saja larangan ini harus disertai sanksi tegas bagi pedagang yang membandel melakukan pelanggaran.
Adapun langkah yang harus dilakukan negara dalam menjamin makanan halal adalah sebagai berikut:
Pertama, kesadaran masyarakat tentang wajibnya makan, makanan halal harus ditanamkan dalam sistem pendidikan Islam. Masyarakat harus paham tentang pentingnya memroduksi dan mengonsumsi makanan halal.
Dorongan keimanan merupakan ruh bagi produksi dan konsumsi di tengah masyarakat muslim, sedangkan kemaslahatan dan kemudaratan bagi masyarakat nonmuslim yang hidup dalam naungan negara Islam (Khilafah). Sehingga masyarakat terhindar dari kesengsaraan.
Kedua, dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kehalalan produk yang beredar. Masyarakat bisa berperan dalam pengawasan itu dengan membentuk lembaga pengkajian mutu, yang hasil temuannya direkomendasikan kepada pemerintah.
Ketiga, negara harus mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan barang yang dibutuhkan masyarakat. Negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi kepada para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum Muslimin. Kaum Muslim yang mengonsumsi barang haram pun akan dikenai sanksi sesuai nas syariat.
Pemberlakuan sanksi ini, tentu harus berlaku bagi semua yang melakukan pelanggaran tidak bisa tebang pilih sesuai keinginan aparat penegak hukum. Jika aparat penegak hukum terlibat pelanggaran maka sanksi lebih keras harus diberikan agar efek jera dan penebusan dosa bagi pelaku.
Langkah ini tentu membutuhkan negara yang sangat amanah dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah. Tidak akan pernah dilakukan dalam sistem kehidupan yang menjauhkan Islam dari kehidupan dan negara (sekuler).
Gambaran penguasa (Khalifah) dalam menjaga kehalalan makanan bisa dilihat dari sosok Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang pernah menuliskan surat kepada para wali di daerah. Khalifah memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari nonmuslim. (Al-Amwal, Abu Ubaid, hlm. 265)
Hal itu dilakukan Khalifah dalam rangka melindungi umat dari mengonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan. Tentu kita merindukan pengaturan Islam dalam kehidupan untuk menjaga kita dari berbagai keharaman. Berarti kita harus menempuh jalan untuk memperjuangkan kembali tegaknya sistem Islam (Khilafah) agar selamat dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]