Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Miris. Rupanya ulama perempuan di negeri ini masih terus dikorbankan demi memenangkan kepentingan kapitalisme sekuler. Betapa tidak, setelah terseret pada pusaran arus moderasi beragama yang sekuleristik, kini ulama perempuan pun didorong lantang bersuara untuk pemenangan para balon peserta kontestasi politik lima tahunan. Bahkan dalam Ijtima Ulama Nusantara yang diadakan oleh salah satu parpol berbasis Islam, direkomendasikan agar para kyai dan bu nyai untuk menjadi juru kampanye bagi pemenangan balon peserta kontestasi pilpres mendatang.
Sementara para tokoh dan pesohor negeri yang ingin maju di ajang kontestasi politik, makin rajin menyambangi para kyai dan bu nyai di pondok pesantren. Berharap doa dan dukungan ulama demi kemenangannya dalam ajang kontestasi. Beberapa forum yang disinyalir dihadiri oleh ribuan ulama termasuk ning dan bu nyai pun digelar di ponpes Jawa Timur dan kawasan Priangan Timur, demi mendukung salah satu balon kontestasi pilpres 2024.
Demikian juga di Jawa Barat. Ratusan nyai dan ning dari 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat beberapa saat lalu menggelar doa bersama agar Indonesia diberikan pemimpin yang tepat dan amanah, sembari menyatakan dukungan pada salah satu balon yang akan maju pada kontestasi politik lima tahuan itu. Ning dan bu nyai yang diakui sebagai bagian dari jaringan relawan Himpunan Santri Nusantara itu, dianggap sebagai energi baru untuk melakukan konsolidasi pengenalan salah satu balon pilpres yang mereka dukung. Intinya, pada titik ini, ning dan bu nyai memang telah masuk pada kondisi yang menjadikan mereka sebagai legalitas dukungan riil pada salah satu balon pilpres yang diusung.
Pola Berulang Politik Demokrasi
Kondisi ini memang wajar, bahkan akan terus berulang di alam demokrasi. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Suara kalangan muslim tentu sangat berharga sebagai penentu sampainya seseorang ke tampuk kekuasaan. Ironi memang. Di satu sisi banyak ulama yang dipersekusi, ajaran Islamnya kerap dikriminalisasi, umat Islam juga terus didrive dengan pola pikir dan gaya hidup sekuler liberal, komunitas umat yang hijrah lebih taat syariah pun dicurigai, bahkan sebagian umat Islam yang begitu mencintai agamanya dan sangat ingin terikat pada syariat Rabb–nya, malah dicap negatif sebagai radikal dan ancaman bagi negeri. Namun di sisi lain, suara umat Islam masih terus diharapkan sebagai legitimasi kekuasaan, apalagi di masa-masa kontestasi lima tahunan. Semua balon kontestasi hampir selalu minta dukungan kalangan muslim. Di situlah strategisnya posisi pesantren dan ulama bagi politik ala demokrasi. Meski biasanya setelah balon itu menang, umat Islam akan kembali dilupakan. Suara dan aspirasi umat Islam pun tak lagi didengar bahkan cenderung diabaikan.
Itulah politik ala demokrasi. Habis manis sepah dibuang. Mendekati ulama, kyai, ning dan bu nyai, bukan karena benar-benar mengharapkan keberkahan dari setiap nasihat dan wejangan ulama sebagai bekal menjadi peimimpin. Tapi cenderung hanya menjadikan ulama sebagai corong untuk memenangkan kepentingannya secara politik. Sebagai vote gater dan jurkam politik ala demokrasi saja. Jika demikian, patut untuk menjadi renungan kita bersama, apakah ini bermakna ulama (termasuk ulama perempuan) menjadi tumbal demokrasi?
Keutamaan dan Kemuliaan Ulama
Dalam Islam, posisi ulama sangat mulia. Keutamaan ulama sebagai orang yang paham agama, banyak dibahas dalam hadis Rasulullah saw. di antaranya, “Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya Allah memberikan padanya pemahaman dalam agama (tafaqquh fiddin)” (HR Bukhari No. 71, 3116 dan Muslim No. 1037)
Ulama, baik laki-laki maupun perempuan adalah orang yang paling takut pada Allah swt. Sebagaimana firman-Nya, “… Di antara hamba-hamba Allah yang takut pada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Al-Fathir : 28). Artinya, ulama itu bukan penentang syariatnya Allah. Tapi orang yang paling takut pada Allah, paling taat pada syariat Allah.
Ulama juga merupakan waratsatul anbiya’, pewarisnya para nabi dalam hal penyebaran risalah Islam dan amal dakwah amar makruf nahi munkar. Maka ulama akan melanjutkan misi dan tugas nabi dalam menyerukan Islam kaffah sebagai rahmatan lil alamin. Yaitu mendakwahkan Islam kaffah, mendidik, membina dan mencerdaskan umat dengan risalah Islam baik akidah maupun syariah.
Ulama tidak boleh hanya sibuk dengan urusan ibadah mahdhah saja. Ulama selayaknya terjun langsung membersamai umat, dan membuat umat memiliki kesadaran politik Islam yang benar, punya pandangan hidup berdasarkan ideologi Islam. Hingga umat paham Islam, tertunjuki pada Islam, dan melahirkan kerinduan serta kehendak kuat untuk mengamalkannya secara total. Maka umat akan terdorong untuk ikut memperjuangkan Islam hingga mampu menerapkan Islam secara kaffah dan bangkit menjadi khairu ummah.
Ulama juga rujukan umat dalam berbagai kebaikan, kesabaran dalam taat dan pemecahan persoalan hidup. Ulamalah yang paling memahami hukum syarak, yang mampu melakukan istimbath hukum dan ijtihad. Oleh karenanya, tentu ulama tidak akan terseret pada berbagai ide atau opini yang bukan berasal dari Islam, seperti ide sekulearisme, liberalisme, demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender, moderasi beragama dan sebagainya. Karena karakter asasi ulama yang tafaqquh fiddin, menguasai berbagai tsaqafah Islam, akan menjadikan ulama mampu membedakan haq dan batil, mana yang berasal dari ajaran Islam dan mana yang bukan.
Ulama sejati pun pasti memiliki kecerdasan politik Islam yang mumpuni, sehingga tidak akan tertipu oleh pragmatisme para politisi petualang yang oportunis. Kecerdasan politik inilah yang akan menjadikan ulama dapat bersikap tegas menolak segala bentuk pembajakan potensi ulama demi kepentingan penjajah dan kapitalis sekuler, yang sama sekali bukan untuk kepentingan Islam. Apalagi jika justru diarahkan menjadi tumbal bagi langgengnya demokrasi sekuler kapitalistik yang rusak dan merusak, ulama tentu akan tegas menolaknya.
Dengan kata lain, ulama tidak selayaknya terjebak dalam pusaran sekularisme demokrasi liberal yang fasad, karena itu semua tidak lahir dari rahim akidah Islam. Ikut terseret bahkan membiarkan diri larut dalam kepalsuan politik praktis pragmatis ala demokrasi yang menghalalkan segala cara, tidak boleh terjadi pada para ulama yang hanif. Karena hal itu akan membawa pada kehancuran Islam. Imam Ad-Darimi telah meriwayatkan perkataan Sayidina Umar bin Khaththab ra, “Islam itu dapat hancur dengan ketergelinciran ulama, orang munafik yang berdebat dengan (berdalilkan) Al-Qur’an, dan pemerintahan para penguasa yang menyesatkan”
Ulama bersama umat harus terus istikamah di jalan penyeruan Islam kaffah, melakukan kontrol ketat terhadap berbagai kebijakan politik pemimpin melalui mekanisme amar makruf nahi munkar. Sehingga para penguasa tetap ada pada koridor syarak dalam memimpin, hadir secara utuh di tengah-tengah rakyatnya sebagai raain (pengatur seluruh urusan rakyat) dan junnah (perisai yang melindungi rakyat dari segara bahaya). Karena lalai atau melemahnya ulama akan membawa pada rusaknya para pemimpin. Sebagaimana yang pernah diingatkan oleh Al-Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, “Rusaknya rakyat itu disebabkan rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa itu disebabkan rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan kecintaan mereka atas dunia dan kedudukan” (Al-Ghazali, Ihya’ “Ulum Ad-Din, 2/357).
Intinya, para ulama hendaknya menjauhi sikap ulama su’ (ulama jahat). Ulama yang menjadi stempel kekuasaan zalim, menggadaikan agama demi kepentingan dunia, bahkan membantu melanggengkan kerusakan, kemaksiatan dan penjajahan. Karena ulama jahat adalah seburuk-buruk manusia dan sumber kerusakan. Sebagaimana perkataan Imam al-Ghazali: Al–Harits rahimahullah berkata, “Saudaraku, ulama jahat itu adalah setan dari golongan manusia dan pembawa fitnah atas manusia. Mereka berhasrat pada harta dan kedudukan dunia. Mereka lebih mengutamakan dunia dibandingkan akhirat. Mereka menakwilkan agama untuk kepentingan dunia. Di dunia mereka tercela dan terhina. Di akhirat mereka adalah orang-orang yang merugi atau Zat Yang Mulia memaafkan mereka dengan karunia-Nya” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumu ad-Din, 3/265)
Maka, ulama harus tetap lurus dan terdepan dalam menjaga Islam agar dapat diterapkan secara kaffah, bersih dari segala ide dan ajaran yang bukan berasal dari wahyu Allah, serta menjaga agar para pemimpin bersikap adil dan selalu taat syariah. Ulama adalah pembela dan penjaga Islam yang penuh amanah, bukan cap stempel bagi kekufuran, keburukan dan kemaksiatan. Ulama bukan pula corong aktif yang mudah terbeli oleh dunia dan dibajak potensinya demi langgengnya kekufuran, kemaksiatan dan penjajahan. Karena sejatinya, ulama itu mulia dan dicintai oleh Allah sepanjang tetap istikamah dalam menjalankan tugas mulianya sebagai waratsatul anbiya’. [SM/Ln]