Penyelenggaraan Haji dengan Standar Syariah Kaffah

  • Opini

Oleh: Qisthi Yetty

Suaramubalighah.com, Opini – Haji adalah ibadah yang Allah SWT tetapkan sebagai fardhu ‘ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS Ali ‘Imran [03]: 97).

Nabi saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Namun sangat disayangkan penyelenggaraan haji setiap tahunnya senantiasa menyisakan catatan untuk dievaluasi. Tahun 1444 H (2023 M) dinilai penuh dengan kekurangan. Biaya haji yang naik hampir dua kali lipat di tahun 2023, untuk dua orang jemaah reguler adalah Rp. 99.625.400,53 (Rp. 99,6 juta) atau Rp. 49.812.700,26 per orang, dan ternyata tidak otomatis pelayanan ibadah hajinya berkualitas.

Pada pelaksanaan ibadah haji 2023, Kemenag menyebut Indonesia mendapat tambahan 8.000 kuota haji. Tambahan tersebut membuat Indonesia mendapatkan 221.000 kuota jemaah haji. Kuota ini terdiri dari dari 203.320 kuota jemaah haji reguler dan 17.680 kuota jemaah haji khusus.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR sekaligus Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan ada lima permasalahan;  Pertama, terkait persoalan distribusi asupan makanan bagi jemaah haji saat di Mina. Distribusi makanan acak-acakan sehingga banyak jemaah yang kelaparan dan letih.

Kedua, jumlah kamar mandi di Arafah yang terbatas bagi jemaah. Jumlah kamar mandi tidak sesuai dengan jumlah jemaah haji sehingga memicu antrean panjang.

Ketiga, Timwas Haji DPR menemukan persoalan akomodasi atau transportasi jemaah haji. Ia menilai transportasi jemaah haji selama Armuzna tidak terkelola dengan baik. Kasus telantarnya jemaah di Muzdalifah dianggapnya sebagai kesalahan fatal. “Kasus bus Taradudi yang membawa jemaah dari Muzdalifah ini salah satu kesalahan fatal dari manajemen pergerakan jemaah yang tidak disiapkan mitigasinya.

Keempat, fasilitas pelayanan haji bagi para lansia (kursi roda dan golfcar) yang tidak optimal. Tahun ini tidak ada pembatasan usia lansia. Semestinya harus diantisipasi.

Kelima, kinerja mashariq atau penyedia layanan haji dari Arab Saudi yang tidak memenuhi komitmen selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Terutama soal kapasitas tenda dan kamar mandi yang tak memandai.

Kapitalisasi Penyelenggaraan Haji Kian Nyata

Biaya yang tinggi dan antrean yang cukup lama,  tidak menjamin pelayanan terhadap jemaah haji berkualitas. Sistem kapitalisme memberikan pelayanan publik dengan standar minimum bukan premium. Negara hanya sebagai regulator antara rakyat (jemaah haji) dengan pihak swasta (perusahaan). Untung-rugi menjadi aspek penting dalam pelayanan.

Syed Saleh hadir bersama 20 anggota delegasinya untuk bertukar pengalaman, utamanya terkait sejumlah persoalan yang dihadapi selama fase Armina. Dalam pertemuan ini terungkap bahwa persoalan yang dialami sejumlah jemaah dari dua negara sama, khususnya saat di Armina. Hal itu tidak lain akibat kinerja Mashariq yang tidak profesional. Padahal, Mashariq adalah perusahaan swasta yang ditunjuk otoritas Arab Saudi untuk melayani jemaah haji dari beberapa negara di Asia Tenggara.

Kapitalisasi itu nampak dari kebijakan pengunaan pesawat, dalam kontrak setiap negara pengirim jemaah harus alokasikan penerbangan yaitu 50 persen dari maskapai Arab Saudi. Direktur Bina Haji Kemenag Arsad Hidayat mengatakan persoalan perpindahan hotel jemaah haji di Madinah merupakan imbas perubahan konfigurasi tempat duduk pesawat.

Ketidakamanahan mashariq, sulit untuk dituntut, hanya protes yang bisa dilakukan. Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan akan melayangkan protes ke pihak mashariq atau perusahaan penyedia layanan haji.

Kepemimpinan berdasarkan nation state semakin mempersulit dalam memberikan pelayanan haji yang berkualitas. Karena masing-masing pemimpin memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

Dalam hal ini sangat penting adanya kepemimpinan tunggal untuk seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Yakni sistem Khilafah.

Penyelenggaraan Haji berkualitas dengan Sistem Khilafah

Penyelenggaraan haji berbasis syariah Islam yang kaffah ialah solusi persoalan haji hari ini. Kepemimpinan dalam Islam yang berdasarkan syariat Islam adalah sistem Khilafah, yakni satu kepemimpinan untuk seluruh dunia. Hal ini sangat memudahkan pengaturan pelayanan ibadah haji. Sebab sistem Khilafah adalah hirasatuddin wa siyasatuddunya atau memelihara agama dan mengatur dunia. Sehingga penyelenggaraan haji harus optimal dan berkualitas.

Kebijakan yang bisa ditempuh oleh Khilafah sebagai sebuah negara penyelenggara ibadah haji di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Khilafah akan membentuk departemen khusus untuk mengurus urusan ibadah haji dan umrah. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan calhaj dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan sampai kepulangannya. Departemen inipun akan bekerjasama dengan departemen kesehatan dan perhubungan guna pelayanan terbaik bagi calhaj.

Kedua, besar kecilnya ongkos naik haji (ONH) yang ditetapkan oleh Khilafah ini pada dasarnya disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan oleh calhaj. Hal ini berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah suci. Biaya akomodasi yang dibutuhkan pun sejatinya adalah hal yang dipandang sebagai tugas kewajiban negara dalam melayani urusan jemaah haji dan umrah. Bukan semata-mata pada keuntungan bisnis semata. Khilafah pun tidak diperkenankan mempergunakan dana haji untuk berinvestasi atau dialokasikan pembangunan infrastruktur.

Namun, berbeda saat Khilafah membangun sarana transportasi massal yang bisa digunakan oleh calhaj. Pembiayaannya murni dari Baitulmal, bukan dari dana haji. Khalifah ‘Abdul Hamid II, Khilafah Utsmaniyah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Tapi, jauh sebelum itu, Khilafah ‘Abbasiyyah, yaitu Khalifah Harun Ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah) yang di setiap masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Ketiga, Khilafah adalah sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karena itu akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah, karena seluruh jemaah adalah warga Khilafah yang bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka mungkin hanya perlu menunjukkan kartu identitas diri saja bisa KTP atau paspor, sedangkan untuk visa berlaku untuk muslim yang menjadi warga negara kafir. Baik itu kafir harbi hukman maupun filan.

Keempat, pengaturan kebijakan kuota haji dan umrah. Khalifah dalam hal ini diberi kewenangan untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah.

Dengan demikian jhalifah pun harus memerhatikan beberapa hal terkait permasalahan pengaturan ibadah haji. Yaitu, pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.

Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik, jika negara Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah. Masalah logistik (makanan, minuman), kamar mandi/ WC dan transportasi pun dipersiapkan secara matang. Dan harus dipenuhi oleh negara agar jemaah bisa menjalankan ibadah haji secara tumaninah.

Wallahu a’lam. [SM/Ah]