Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga – Setiap insan pasti mendambakan kehidupan keluarga yang harmonis, sakinah mawaddah wa rahmah, penuh ketenangan dan kasih sayang antar anggota keluarga. Namun kini, harapan itu kian sulit diwujudkan. Realitasnya, banyak kehidupan keluarga yang berantakan dan penuh kebencian, jauh dari ketenangan. Tidak sedikit pula yang justru gagal mempertahankan biduk rumah tangganya, dan berakhir dengan perceraian.
Ditambah lagi dengan kesempitan hidup dan kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik liberal, menjadikan kehidupan keluarga yang tenang, harmonis dan sejahtera seolah hanya mimpi. Bahkan tidak sedikit istri dan perempuan yang kesulitan mendapatkan rasa aman di rumah mereka, lantaran kasus kekerasan suami terhadap istri bahkan berakibat pada hilangnya nyawa.
Beberapa waktu terakhir, marak diberitakan seorang suami di Ciamis, yang diduga depresi karena problem ekonomi, telah tega membunuh istrinya dan memutilasinya menjadi beberapa bagian, lalu menawarkan daging istrinya itu pada warga. Sementara di Manado, seorang suami tega membunuh istrinya yang baru sebulan melahirkan, karena cemburu, setelah sang istri mengigau menyebut nama laki-laki lain.
Dan diberitakan pula di Surabaya, seorang istri ditawan selama 15 jam di mobil debt collector karena suaminya menghilang setelah terjerat utang bisnis sebesar 200 juta. Lalu di Cianjur, seorang oknum kyai tega menyerahkan istrinya yang cantik dan geulis kepada seorang oknum habib dari Empang Bogor, karena ancaman tidak akan mendapat syafaat dari Nabi saw. jika tidak ikhlas menyerahkan istrinya.
Itu hanya beberapa contoh kasus tentang tindak kekerasan dan kezaliman yang menimpa istri, yang umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Dan mirisnya, pelakunya adalah suaminya sendiri yang harusnya menjadi pemimpin dan pelindung bagi istri dan keluarganya.
Hilangnya Fungsi Qawwamah
Negeri ini tampaknya sedang sakit. Masyarakatnya banyak yang mengalami stres dan depresi akibat tekanan hidup yang kian berat. Maraknya kriminalitas, percobaan bunuh diri, serta berbagai bentuk kejahatan lainnya, menjadi bukti tak terbantahkan tentang sakitnya negeri ini. Termasuk kasus kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan suami terhadap istrinya sendiri.
Rumah yang idealnya menjadi tempat paling aman bagi istri dan keluarga, realitasnya jauh panggang dari api. Suami yang seharusnya menjadi pemimpin sekaligus pelindung bagi istri dan keluarganya, justru berubah menjadi ancaman tersendiri bagi keluarganya. Fungsi qawwamah sang suami benar-benar di ujung tanduk, nyaris hilang terkikis oleh sistem kehidupan yang rusak.
Benar, harus diakui bahwa kini fungsi qawwamah suami kian melemah bahkan nyaris hilang. Dan jika kita dalami, akan didapati bahwa keadaan tersebut berakar pada kehidupan masyarakat yang kian sekuler liberal, jauh dari tuntunan syariat. Akidah sekularisme memang mengerdilkan peran agama dalam kehidupan. Praktiknya, agama diadopsi hanya sebatas ibadah ritual, namun tidak dilibatkan dalam menata kehidupan sehari-hari.
Hidup dengan sikap takwa seolah hanya pilihan bagi yang mau saja. Sedangkan yang enggan, ia bebas berpikir, berpendapat dan berbuat apapun sesuai hawa nafsunya. Visi hidup untuk ibadah tidak dipahami dengan benar. Konsep rezeki dalam jaminan Allah pun tidak diyakini seutuhnya. Sabar dalam ketaatan makin sulit terwujud. Rakyat yang rapuh imannya seperti ini, tentu cenderung mudah stres dan mudah melakukan berbagai kejahatan di luar kendali akal sehatnya, termasuk kekerasan dan kejahatan suami terhadap istrinya sendiri.
Terlebih di masyarakat, muamalah yang berlangsung di berbagai bidang juga bercorak sekuler. Standar perbuatan tidak lagi didasarkan pada halal-haram secara utuh. Nilai-nilai hidup tidak lagi berdasarkan hukum syarak, tergantikan oleh asas manfaat menurut hawa nafsu manusia. Standar bahagia juga bergeser, dari semula mencari rida Allah, kini tergantikan oleh uang, materi, jabatan, popularitas, dan kesenangan fisik semata. Masyarakat tidak lagi memahami ajaran Islam secara utuh dan benar. Karena tidak ter-cover oleh pendidikan dalam keluarga, dan tidak di-support oleh sistem pendidikan yang ada. Akibatnya, banyak suami dan keluarga yang abai bahkan tidak tau tentang makna qawwamah yang harusnya hadir dalam setiap kehidupan rumah tangga.
Sementara negara, kian abai pada tugas utamanya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Penerapan sistem ekonomi kapitalisme, telah meniscayakan perampokan SDA secara brutal di negeri ini, namun nyatanya legal atas nama investasi dan Proyek Strategis Nasional. Berlimpahnya SDA negeri ini tidak berbanding lurus dengan tingginya taraf hidup dan kesejahteraan rakyat seluruhnya.
Semua itu disebabkan oleh tata kelola SDA yang salah, zalim dan abai terhadap panduan syariat Islam. Itulah yang melahirkan kemiskinan sistemik di masyarakat. Banyak suami yang menganggur dan sulit mendapatkan pekerjaan, sementara harga-harga kebutuhan keluarga makin tak terjangkau. Akibatnya, tingkat stres masyarakat bertambah, dan menaikkan potensi terjadinya kriminalitas, termasuk kekerasan dan kejahatan suami terhadap istrinya.
Maka jelaslah bahwa penerapan sistem hidup kapitalisme sekuler liberal, telah menjadikan perempuan tidak aman, karena sangat rentan menjadi korban kekerasan dan tindak kriminal orang terdekat bahkan suaminya. Para suami yang seharusnya memiliki qawwamah dalam rumah tangga dengan memberikan nafkah lahir batin serta perlindungan keamanan bagi istri dan anak-anaknya, nyatanya tak terwujud. Kapitalisme sekulerlah yang telah melemahkan bahkan menghilangkan fungsi qawwamah suami, dan menjadikan suami berkarakter culas bahkan tega berlaku jahat dan zalim pada istrinya sendiri.
Makna Qawwamah
Sebagai agama sekaligus pandangan hidup yang sahih, Islam telah memberikan panduan detil dan tegas tentang fungsi qawwamah (kepemimpinan) suami terkait relasi suami istri dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an, “Laki-laki (suami) itu qawwam (pelindung) bagi perempuan (istri)…” (QS. An-Nisa’/4: 34).
Qawwaamuuna adalah bentuk jamak dari qawwam, yang berasal dari kata qaama. Seseorang yang menjalankan tugas dan apa saja yang diharapkan darinya dinamai qaaim. Dan jika orang tersebut melaksanakan tugasnya dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang maka dinamakan qawwam.
Dalam ayat tersebut ada penegasan bahwa qawwamah (kepemimpinan) yang dimaksudkan adalah kepemimpinan yang sifatnya mengatur dan melayani (me-ri’ayah), bukan kepemimpinan instruksional dan penguasaan. Dan termasuk di dalamnya adalah kewajiban menafkahi serta memenuhi apa saja yang dibutuhkan. Oleh karenanya, kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah kepemimpinan yang menegakkan urusan-urusan perempuan (istri).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud “ar-rijaalu qawwaamuuna ‘ala an-nisa” adalah laki-laki (suami) itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik bagi perempuan kala menyimpang. Sementara Imam ath-Thabari dalam tafsirnya menyatakan “maksud ayat ini adalah bahwa laki-laki merupakan pelindung (pemimpin) bagi kaum perempuan dalam mendidik dan mengajak mereka kepada apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka…”
Dalam sebuah catatan muraja’ah Kitab Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah yang ditulis oleh Ummu Azhar Ghassani dijelaskan, bahwa lafaz qawwaamuuna berasal dari qaaimun. Dan ketika lafaz qawwaamuuna disandingkan dengan ‘alaa, itu menunjukkan makna ri’ayah (melayani) yang sangat luar biasa. Yaitu menunjukkan bahwa qawwamah itu bermakna penjagaan yang luar biasa, mengurusi, meluruskan, mengarahkan, mendidik, men-ta’dib, serta menetapkan visi daan misi rumah tangga.
Maka para ulama tafsir memaknai kata qawwaamuuna tersebut, dengan penegasan bahwa dia (suami) yang mengurusi, yang menangani segala urusan dan kebutuhan, yang menjaganya, dan yang mendidik. Dikatakan bahwa fulan qiwam keluarganya, yaitu dialah yang mengurusi urusan mereka (keluarganya) (Abu Bakar ar-Razi, Mukhtar al-Shihah). Dan dikatakan qaama amiir terhadap rakyatnya, maknanya walinya, yaitu yang menolong, membela, mewakili dan mengurusi .(Al-Zamakhsyari, Asas al-Balaghah).
Dari penjelasan ini semua, dapat dipahami bahwa fungsi qawwamah (kepemimpinan) suami dalam keluarganya adalah fungsi dan peran strategis yang agung dan mulia. Sebagai qawwam, suami memiliki amanah penting, yaitu sebagai pihak yang wajib melayani (riayah), mengatur, menolong, membela, menjaga dan melindungi, mengurusi, meluruskan, mengarahkan, mendidik dan men-ta’dib, memenuhi berbagai kebutuhan, menafkahi, serta menetapkan visi dan misi rumah tangga.
Dan laki-laki (suami) adalah qaaim, yang berkewajiban menghadirkan fungsi qawwamah secara terus-menerus dan berkesinambungan dalam rumah tangganya. Suami juga yang kelak akan dihisab, ditanya dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT tentang istri dan keluarganya, yaitu tentang ketaatan mereka pada Allah. Masya Allah. Penting untuk diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi qawwamah tersebut, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap istri dan keluarganya. Namun sebaliknya, suami harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, bersikap lunak, penuh kelembutan dan kasih sayang, hingga istri dan anak-anaknya tidak menjauh dan berpaling darinya. (lihat QS. Ali Imran/3: 159).
Mengembalikan Fungsi Qawwamah
Setelah nyata bahwa penerapan sistem hidup kapitalisme sekulerlah yang telah melemahkan bahkan menghilangkan fungsi qawwamah suami, maka harusnya negeri ini segera melakukan koreksi mendasar terhadap pola perjalanan kehidupan yang dijalankan dalam masyarakat dan negaranya. Negeri ini harus segera membebaskan rakyatnya dari jeratan sistem hidup kapitalisme sekuler liberal demokrasi yang telah melemahkan dan menghilangkan fungsi qawwamah para suami. Apalagi negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Sudah sepantasnya negeri ini segera mencampakkan kapitalisme sekuler yang rusak dan merusak, lalu kembali pada Islam kaffah.
Kemuliaan tugas dan tanggung jawab seorang suami dalam keluarga, serta kewajiban suami menghadirkan fungsi qawwamah bagi istri dan keluarganya, harus benar-benar didasari oleh landasan takwa. Namun hal ini hanya salah satu pilar saja yang akan mengokohkan terwujudnya ketahanan keluarga yang tangguh. Disamping itu, butuh pemastian tentang berjalannya amar makruf nahi munkar sebagai kontrol sosial yang sehat dan dinamis di masyarakat.
Masyarakat harus cerdas dan tidak boleh cuek terhadap berbagai pengaturan dan kebijakan negara yang melanggar syariat, zalim dan kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat. Seperti makin mahalnya harga-harga kebutuhan rakyat akibat sistem ekonomi yang dijalankan tidak beerdasarkan aturan Islam. Atau berbagai UU yang merugikan rakyat, dan sebagainya. Sehingga kehidupan keluarga dan masyarakat selalu tenang karena tetap on the track sesuai hukum syarak.
Dan yang terpenting dari itu semua, butuh adanya support system sahih yang dijalankan oleh pemimpin yang amanah dan bertakwa. Negara tidak boleh absen dari fungsi utamanya sebagai raa’in (pengatur urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyatnya). Negara wajib menjamin rakyatnya bisa hidup dengan tenang dan sejahtera, jauh dari berbagai tekanan hidup yang dapat menyebabkan tingginya tingkat stres di masyarakat. Sehingga menutup peluang terjadinya kekerasan dan kejahatan akibat perilaku di luar kontrol sebagai implikasi stres bahkan depresi. Negara juga yang wajib memastikan bahwa setiap suami paham makna qawwamah dan mereka mampu menghadirkannya dengan benar dalam keluarga.
Untuk itu, harus ada kemauan kuat dan kemampuan pemimpin negeri ini secara politik untuk segera beralih pada sistem Islam dan mengadopsinya sebagai way of life, demi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini sesuai tuntunan syariat Islam kaffah, termasuk yang berkaitan dengan hilangnya fungsi qawwamah dalam keluarga,. Oleh karena itu perlu adanya perjuangan dakwah Islam politik yang diemban secara berjamaah dan terarah menuju tegaknya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]