Oleh: Idea Suciati
Suaramubalighah.com, Opini — Pengimplementasian penguatan moderasi beragama sesuai Perpres Nomor 58 Tahun 2023 semakin masif. Baru-baru ini Kementerian Agama meluncurkan Sekretariat Bersama (Sekber) dan Aplikasi Pemantauan Implementasi Moderasi Beragama (API-MB). Sekber ini akan menjadi wadah sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, kampus, dan masyarakat untuk memantau serta melaporkan implementasi program moderasi beragama.
“Sesuai dengan Perpres tersebut, setiap kementerian/ lembaga, pemerintah provinsi, dan kabupaten/ kota wajib melaporkan secara berkala perkembangan moderasi beragama,” jelas Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Suyitno di hadapan ratusan peserta peluncuran Sekber dan API-MB di Jakarta, Kamis (3/10/2024). (kemenag.go.id, 4-10-2024).
Upaya ini merupakan langkah strategis dalam mewujudkan moderasi beragama yang inklusif di seluruh kementerian/ lembaga, kurang lebih 19 kementerian dan lembaga dilibatkan. Adapun Aplikasi Pemantauan Implementasi Moderasi Beragama (API-MB), sesuai namanya aplikasi ini akan menjadi instrumen pemerintah untuk memantau implementasi moderasi beragama. Setiap kementerian/ lembaga, pemerintah provinsi, dan kabupaten/ kota wajib melaporkan secara berkala perkembangan moderasi beragama. Setelah aplikasi ini resmi diluncurkan, Suyitno mengatakan untuk pemantauan terhadap laporan dari setiap instansi akan dilakukan secara langsung oleh Kantor Staf Kepresidenan.
Selain itu, Kementerian Dalam Negeri telah menyusun pedoman penyusunan APBD agar isu moderasi beragama bisa diakomodasi dalam perencanaan anggaran setiap tahun. Implementasi program moderasi agama diharuskan masuk ke dalam RPJMD dan program di setiap OPD daerah. Itu artinya, Daerah harus mengimplementasikan program moderasi beragama yang sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024 ke dalam RPJMD. Pendanaan harus dialokasikan baik dari APBN maupun APBD setiap tahun. Oleh karena itulah, Pusat membentuk sekretariat bersama untuk memantau pelaksanaannya dari tingkat daerah hingga ke pusat.
Bukan Masalah Utama
Mengamati berbagai program di atas, menunjukkan betapa seriusnya pemerintah mengurus moderasi beragama. Seakan-akan masalah intoleransi dan ekstremisme adalah problem utama yang harus serius diselesaikan dengan proyek moderasi beragama ini. Bahkan, seolah apapun masalah yang terjadi di negara ini, moderasi agamalah solusinya.
Padahal jelas dengan kasat mata bahwa masalah utama negeri ini adalah salah urus penguasa terhadap urusan rakyat sehingga menimbulkan banyak persoalan cabang berupa kemiskinan, kerusakan generasi dan hancurnya keluarga, eksploitasi SDA oleh kapitalis, korupsi, dan berbagai problem lainnya, seperti benang kusut yang sulit diurai.
Sebut saja masalah kemiskinan. Apakah kemiskinan yang terus meningkat di negeri ini adalah akibat sikap beragama masyarakat yang kurang toleran? Bukankah kemiskinan struktural yang terjadi justru akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal? Bagaimana negara menyerahkan pengelolaan SDA milik umat kepada segelintir elite kapital oligarki. Sehingga banyaknya SDA yang negeri ini miliki tidak pernah dirasakan manfaatnya untuk rakyat secara umum. Rakyat ibarat anak ayam yang mati di lumbung padi. Susah makan, susah kerja, susah sekolah, susah sehat, semua susah.
Lalu masalah kerusakan generasi, kriminalitas, kebodohan, rendahnya kualitas pendidikan, pergaulan bebas, apakah semua itu akibat sikap agama yang kurang moderat? Rasisme atau intoleran? Bukankah kerusakan generasi justru akibat gaya hidup liberal sekuler yang diadopsi dari Barat? Generasi muda jauh dari pemahaman agama. Kebebasan kebablasan dalam berbicara, berperilaku, beragama seolah dilindungi atas nama hak asasi manusia. Ironisnya sistem pendidikan dan kurikulumnya justru semakin dijauhkan dari nilai-nilai agama. Pelajaran seni, kearifan lokal, budaya justru lebih didorong dan diapresiasi.
Kekacauan politik negeri ini, praktik korupsi kolusi nepotisme terpampang nyata, politik saling sandera, kongkalingkong penguasa dan pengusaha. Semua itu apakah karena pemahaman agama para poltikusnya yang ekstrimis, intoleran atau kurang moderat? Bukankah semua itu terjadi akibat penerapan sistem demokrasi yang memberikan hak membuat hukum kepada manusia? Akhirnya sekelompok manusia yang rakus dan zalim yang membuat aturan demi kepentingan diri dan golongannya.
Yang menarik, sebuah survei pernah dilakukan untuk mengetahui pendapat generasi muda khususnya Gen Y dan Z tentang aspek-aspek apa yang sudah baik dan perlu diperbaiki di negeri ini. Survei ini dilakukan Good News From Indonesia (GNFI) bekerja sama dengan Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) pada tahun 2022. Salah satu hasilnya menunjukan bahwa 19,8 persen responden menganggap yang menjadi permasalahan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah korupsi. Korupsi bertengger pada posisi pertama, diikuti dengan masalah harga kebutuhan pokok naik, dan krisis ekonomi. (goodstats.id,12-08-2022).
Dari survei di atas, kita bisa mengetahui apa sebetulnya masalah utama yang paling dikhawatirkan masyarakat. Maka, bagi siapa pun yang mau menggunakan akalnya akan memahami bahwa masalah utama negeri ini bukanlah sikap beragama masyarakat yang ekstrimis, intoleran, atau kurang moderat. Melainkan korupsi, kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan, kerusakan generasi, dan sebagainya, yang seluruhnya adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi di negeri ini.
Moderasi Beragama Menambah Masalah
Alih-alih menjadi solusi, moderasi beragama justru akan menambah masalah baru bagi negeri ini. Moderasi beragama adalah hasil rancangan penjajah Barat yang ingin tetap mengokohkan hegemoninya di dunia, khususnya di negeri-negeri muslim. Moderasi beragama digagas oleh lembaga think-thank AS dan merancangnya sebagai program lanjutan dari War on Terrorism. Targetnya sama, yakni mengubah cara pandang muslim terhadap agamanya, sehingga tidak menganggap buruk terhadap Barat. Barat menetapkan empat ciri sikap moderat yakni (1) bisa dilihat berbangsa dan bernegara, (2) Memiliki sikap toleransi, (3) Menerima kearifan lokal, dan (4) Anti kekerasan. Seolah baik, padahal proyek ini mengandung bahaya.
Moderasi beragama akan menjadikan standar baiknya seorang muslim mengikuti dikte Barat bukan lagi syariat. Moderasi beragama justru akan menjauhkan umat Islam dari agamanya. Karena syariat akan ditimbang dan dipandang berdasarkan cara pandang Barat. Hal ini akan mengokohkan sistem kehidupan sekuler di negeri ini. Semakin jauhnya umat dari agamanya maka semakin mudah kapitalis global merampok kekayaan negeri ini dan menancapkan cara pandang Barat. Tujuan utama lainnya adalah Barat ingin umat sendiri yang menghadang tegaknya Islam kaffah dan Khilafah. Hal itu karena Barat tahu pasti bahwa hanya Khilafah yang mampu menghentikan hegemoni mereka.
Oleh karena itu, umat wajib waspada dan menolak moderasi beragama dan kembali pada pangkuan Islam kaffah sebagai solusi problem utama negeri ini.
Mubaligah Harus Menolak
Di sisi lain, sangat disayangkan masih ada ulama bahkan Imam Besar yang justru menjadi corong moderasi beragama ini. Salah satu contohnya, beberapa waktu lalu Imam Besar Masjid Nabawi, Syekh Ahmad bin Ali Al-Hudzaifi berkunjung ke Indonesia pada 8-11 Oktober 2024 yang salah satu tujuannya untuk mempromosikan nilai-nilai Islam toleran dan moderat. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan nilai-nilai Islam toleran dan moderat yang digaungkan itu senafas dengan upaya Pemerintah Indonesia dalam memperkuat moderasi beragama di setiap lini kehidupan.
Selain itu, Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) Dr Moch. Syarif Hidayatullah meminta kepada pendakwah untuk mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika dengan sungguh-sungguh, agar dakwah keagamaan dapat menjadi corong moderasi.
Seharusnya, para Imam Besar, ulama, termasuk para mubaligah adalah sosok-sosok yang mengetahui betul bahaya moderasi beragama ini. Sehingga, bukannya menjadi corong, melainkan harus bersuara tegas menolak program Moderasi Beragama. Karena lewat lisan-lisan mulia para ulama dan mubaligah yang penuh ilmu, akan mencerahkan umat, bukan malah menyesatkannya.
Nabi saw. bersabda, “Dan ulama adalah pewaris para anbiya, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu…” (HR. Abu Dawud).
Arus moderasi beragama haruslah dihentikan dan diluruskan, dikembalikan kepada Islam kaffah. Islam yang dipahami berdasarkan penggalian syar’i (ijtihad), bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan bersumber kepada cara pandang dan interpretasi Barat.
Allah SWT dalam firman-Nya menyeru para ulama menjadi ‘ulama rabbani’:
وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ
Artinya : “… Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya…” (QS. Ali Imran/3: 79).
Menurut tafsir Ath Thabari, “rabbani” maknanya adalah orang yang dijadikan sandaran bagi yang lain baik dalam fikih, ilmu, urusan agama maupun urusan dunia. Mujahid mengatakan rabbani adalah ulama yang menggabungkan antara ilmu fikih dan kemampuan dalam mengatur serta mengurus rakyat demi kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. (Tafsir Ath-Thabari, 5/525).
Para ulama dan mubaligah yang lurus akan senantiasa berdiri di garda depan mengawal dan membersamai umat. Mencerdaskan dan menyadarkan umat bahwa problem utama umat saat ini adalah tidak diterapkannya syariat islam secara kaffah. Sehingga semua upaya perjuangan akan mengarah pada perjuangan menerapkan kembali islam secara kaffah dengan menegakan Khilafah Islamiyah. Hanya itulah solusi dari semua persoalan bangsa ini.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]