Oleh: Arini Retnaningsih
Suaramubalighah.com, Opini — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan Universitas Indonesia (UI) dan Centre for Shared Civilizational Values (CSCV) menyelenggarakan International Conference on Humanitarian Islam atau Muktamar al-Dawli al-Islam Lil Insaniyah di Kampus UI Depok, Jawa Barat pada 5—6 November 2024. Ahmad Ginanjar Sya’ban selaku Ketua Panitia Pelaksana Konferensi Humanitarian Islam menerangkan, konferensi ini dihadiri sejumlah kiai, cendekiawan, dan akademisi internasional dari Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Australia, Afrika, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan acara, Presiden Prabowo yang diwakili Menag Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Indonesia beraspirasi menjadi negara maju yang berperan penting dalam membawa perdamaian dunia. “Humanitarian Islam menjadi pilihan strategis dalam upaya menuju visi tersebut,” jelasnya (Situs NU, 5-11-2024).
Bagi sebagian umat, humanitarian Islam masih merupakan konsep asing meski NU telah menggodoknya sejak sepuluh tahun lalu. Meletusnya Perang Ukraina pada November 2022, lantas disusul genosida Yahudi Israel terhadap Palestina pada Oktober 2023, menjadi momen bagi NU untuk mengangkat gagasan humanitarian Islam ini ke kancah internasional. Ide ini pun digadang-gadang akan mampu menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di dunia.
Namun, butuh penelaahan mendalam untuk bisa menjawab, benarkah humanitarian Islam mampu menjadi solusi bagi perdamaian dunia?
Makna Humanitarian Islam
Konsep humanitarian Islam awalnya digagas oleh PBNU, maka maknanya selayaknya dikembalikan pada makna yang dirumuskan oleh mereka. Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf menyebut konsep humanitarian Islam ini sebetulnya dipelintir sedikit dari aslinya. Ini karena term tersebut berasal dari bahasa Arab, al-Islam lil insaniyah yaitu Islam untuk kemanusiaan. Artinya, Islam yang mengabdi, melayani seluruh umat manusia, bukan umat Islam saja.
Masih menurut Yahya, frasa bahasa Inggris yang dipilih bukan Islam for humanity sebab istilah ini bisa disalahpahami bahwa umat manusia diharuskan masuk Islam semua. Akhirnya, istilah tersebut dipelintir sedikit, tetapi tetap dengan makna yang dimaksud, yakni menjadi “humanitarian Islam”. (Situs NU, 26-10-2024).
Ketua Forum Kebangsaan Universitas Indonesia Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan bahwa humanitarian Islam merupakan pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai universal dalam ajaran Islam, yaitu nilai-nilai yang menekankan aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip dasar seperti keadilan (‘adl), kesejahteraan (ar-rafahiyyah), kebaikan (mashlahah), dan kasih sayang (rahmah), menjadi landasan dalam merespons berbagai krisis yang dihadapi dunia. (Situs NU, 11-9-2024).
Senada, Ketua PBNU H. Ahmad Suaedy menyatakan bahwa humanitarian Islam yang diusung oleh Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Chlil Staquf merupakan implementasi dalam skala global dari ajaran ahlusunnah wal jamaah an-nahdliyah atau aswaja an-nahdliyah tentang tawasuth (tengah-tengah), tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang), dan i‘tidal (adil).
Dari sini, humanitarian Islam bisa kita katakan sebagai konsep yang menekankan aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam. Sebuah konsep bahwasanya Islam datang untuk melayani seluruh umat manusia, bukan umat Islam semata.
Dengan demikian, ajaran Islam yang dianggap bertentangan dengan hal ini harus ditafsir ulang dan direkonstruksi. Misalnya, makna “jihad” tidak boleh dipahami sebagai ‘berperang untuk meninggikan kalimat Allah’. Bagi Islam, jihad terbesar adalah menahan hawa nafsu. Bahkan, memberi makan orang yang kelaparan dan menyediakan obat untuk orang sakit juga termasuk dalam kategori jihad. (Situs NU, 1-11-2024).
Latar Belakang Munculnya Humanitarian Islam
Humanitarian Islam merupakan rangkaian dari proses pencarian NU bagi solusi perdamaian dunia. Mulai sejak 1984, Gus Dur pernah mengajukan istilah “pribumisasi Islam”. Pada era Kiai Hasyim Muzadi, muncul istilah Islam rahmatan lil ‘alamin. Pada era Kiai Said Aqil Siroj, muncul istilah “Islam Nusantara”. Sementara itu, Gus Yahya memperkenalkan dua diskursus saling memperkuat, yaitu fikih peradaban (fiqh al-hadharah) dan humanitarian Islam (al-Islam li al-insaniyyah).
Gus Yahya menjelaskan, tatkala konsep humanitarian Islam disusun di PP Tambak Beras pada 2017 silam, konsep ini justru menolak moderasi beragama. Menurutnya, moderasi telah menempatkan Islam sebagai tertuduh sehingga menjadi objek yang harus dimoderasi. Berbeda dengan konsep humanitarian Islam yang berangkat dari pemikiran bahwa Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin, harus punya jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul di dunia.
Strategi humanitarian Islam sendiri telah berkembang sangat pesat sejak 10 tahun terakhir. Setelah PBNU berhasil menyelenggarakan konferensi internasional R20 di Bali sebagai side event G20, disusul di Princeton University, akademisi Amerika yang dipelopori oleh Robert W. Hefner menyatakan keinginan untuk menggelar konferensi internasional yang lebih akademis tentang humanitarian Islam. Mereka meminta PBNU untuk menjadi tuan rumah sekaligus membiayai penyelenggaraan di Indonesia.
Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa gerakan global humanitarian Islam merumuskan visinya untuk mengajak semua orang yang berkehendak baik, dari setiap agama dan kebangsaan, untuk bergabung dalam gerakan global yang memperjuangkan terwujudnya tatanan internasional yang adil dan harmonis, yang dibangun di atas prinsip penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia. Gus Yahya berharap, dengan pemahaman ini, kita dapat keluar dari jebakan “dusta besar” mengenai moderasi beragama dan terus memperjuangkan keadilan dan keharmonisan dalam tatanan dunia (gusyahya[dot]id, 14-9-2024).
Menakar Efektivitas Humanitarian Islam sebagai Solusi
Konferensi internasional G20 Religion Forum (R20) yang digelar di Nusa Dua, Bali pada 2—3 November 2022 bisa dikatakan sebagai cikal bakal diangkatnya gagasan humanitarian Islam di dunia internasional. Acara yang diinisiasi oleh PBNU dan Liga Muslim Dunia (MWL) ini menyerukan kepada para pemimpin agama, pemimpin politik, dan seluruh masyarakat dunia untuk bergabung dalam gerakan global yang didasari nilai-nilai peradaban bersama.
Sekalipun pada 2022 sudah diserukan, tetapi kondisi perpolitikan dunia justru makin bergolak. Perang Ukraina tidak bisa dicegah meletus persis setelahnya, pada November 2022. Disusul kemudian oleh genosida Israel terhadap Palestina sejak Oktober 2023 yang terus berlangsung sampai sekarang. Korban di pihak rakyat Palestina sudah melampaui 42 ribu jiwa, sebagian besar di antaranya anak-anak dan perempuan. Pembantaian rakyat Palestina ini kemudian dilanjutkan Israel dengan serangan ke Lebanon dan Iran.
Lantas, bagaimana sikap umat Islam? Ada yang diam, terutama para penguasa Arab yang hanya bisa beretorika. Ada yang seperti NU dan beberapa kelompok umat Islam, berupaya menyusun konsep-konsep dan gagasan untuk menjadi solusi perdamaian dunia.
Katakanlah bahwa konsep humanitarian Islam ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh agama-agama lain seperti yang diharapkan, juga oleh berbagai institusi dan lembaga keagamaan, apakah akan membuat Israel berhenti memerangi dan menjarah Palestina? Apabila semua agama menyeru agar Israel mundur dari Palestina, apakah Israel akan mematuhinya? Mampukah ia menghentikan Israel dan menciptakan perdamaian dunia?
Kita semua pasti menjawab tidak. Bahkan PBB, lembaga yang menghimpun negara-negara di dunia pun tidak mampu menghentikan Israel. Sekian banyak resolusi yang dikeluarkan, hanya menjadi angin lalu. Terakhir, justru markas URNWA, lembaga PBB yang mengurusi masalah kemanusiaan di Palestina, diratakan dengan tanah oleh Zion*s laknatullah ini.
Humanitarian Islam pun hanya merupakan ide, nilai-nilai, dan komitmen. Ia tidak memiliki kekuatan memaksa orang atau institusi, apalagi negara, untuk menerapkannya selama ia sekadar nilai. Suatu aturan dan nilai, untuk bisa berjalan, membutuhkan sistem yang menerapkannya dalam kehidupan. Sistem ini harus memiliki kekuatan untuk memaksa, serta menjatuhkan sanksi dan memerangi ketika diperlukan.
Apakah PBB bisa diharapkan? Jelas tidak. Selama PBB sifatnya hanya perhimpunan bagi bangsa-bangsa, ia akan terus tersandera oleh kepentingan politik negara-negara anggotanya. Oleh sebab itu, kita bisa memprediksi, humanitarian Islam juga tidak akan mampu memecahkan persoalan Palestina, alih-alih dunia.
Kekeliruan Ide Humanitarian Islam
Islam, adalah agama mabda’i, ideologis. Mabda adalah pemikiran mendasar yang menyeluruh, yang kemudian melahirkan aturan-aturan kehidupan sesuai dengan pemikiran tersebut. Inilah perbedaan utama antara Islam dan agama-agama lain. Kalau agama-agama lain hanya diambil nilai-nilai ajarannya saja, tidak menjadi masalah karena memang agama tersebut tidak memiliki syariat yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun Islam, tidak mencukupkan pada nilai, melainkan suatu sistem yang mengatur kehidupan, mencakup nilai, pemikiran, aturan, berikut metode penerapan aturan.
Oleh karena itu, penerapan Islam membutuhkan institusi negara yang menjamin aturan bisa diterapkan secara sempurna. Negaralah yang punya kekuatan untuk menjatuhkan sanksi dan memerangi pihak yang menentang sehingga aturan, nilai, dan pemikiran bisa diterapkan.
Ide humanitarian Islam mengambil nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam, tetapi menolak untuk mengambil aturan dan institusi yang menerapkannya. Ini adalah bentuk sekularisme, memisahkan antara nilai-nilai agama dan penerapannya dalam kehidupan. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 208, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.”
“Masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah,” ditafsirkan Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H sebagai ‘masuk dalam seluruh syariat agama, mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya’.[i]
Syariat agama bukan hanya mencakup salat, zakat, saum, dan haji, tetapi juga aturan ekonomi, seperti haramnya riba, menimbun harta, monopoli dan sebagainya; aturan sosial, seperti pengaturan interaksi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; aturan politik dan pemerintahan, seperti memilih penguasa dan wajibnya taat pada penguasa yang menerapkan syariat; juga sistem sanksi yang mengatur hukuman atas berbagai pelanggaran ketentuan agama.
Masuk Islam secara kafah berarti menjalankan semua syariat tersebut dan bukan hanya mengambil sebagian dan meninggalkan sebagiannya sebab perbuatan semacam ini diancam oleh Allah dalam firman-Nya dalam QS Al-Baqarah ayat 85, “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Humanitarian Islam, “Baju Baru” Moderasi?
Apabila kita mencermati dengan saksama penuturan Gus Yahya tentang perkembangan ide humanitarian Islam, ide ini didukung oleh para akademisi Barat. Bahkan, Konferensi Internasional Humanitarian Islam dipelopori oleh akademisi Amerika Robert W. Hefner, Profesor Antropologi dari Boston University.
Mengapa Barat mendukung ide ini? Barat, selama ini berusaha untuk menjadikan umat Islam mengadopsi sekularisme. Tanpa sekularisme, umat tidak akan mau menerima demokrasi karena demokrasi berarti memberikan wewenang membuat hukum pada wakil rakyat, bukan pada agama. Inilah tujuan dari pengarusan moderasi beragama di tengah negeri-negeri muslim.
Dari sini sebenarnya tampak benang merah yang menghubungkan moderasi beragama dan humanitarian Islam. Keduanya menjadikan agama hanya diambil nilai-nilainya dengan mencampakkan syariat yang terkait dengan pengaturan kehidupan.
Pernyataan Gus Yahya bahwa humanitarian Islam berbeda dengan moderasi beragama, sebenarnya hanya “beda baju”, tetapi dalamnya sama, yakni nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, persamaan, dan toleransi. Pengakuan bahwa semua manusia sama tanpa melihat keimanannya, juga bahwa semua agama mengajarkan kebaikan sehingga harus berkasih sayang dengan semua umat beragama, pun halnya setiap manusia harus bekerja sama mewujudkan kedamaian dunia. Poin-poin ini adalah sama antara kedua konsep tersebut.
Ketika dikatakan bahwa moderasi beragama berasal dari konsep Barat dengan menempatkan Islam sebagai tertuduh, humanitarian Islam juga tidak berbeda. Itulah sebabnya kita melihat betapa kuatnya dukungan Barat terhadap ide ini karena mereka menganggap ide ini bisa dimanfaatkan untuk menguatkan program moderasi sebelumnya. Hal ini karena akar keduanya sama, yakni sekularisme Barat. Alhasil, kita bisa mengatakan bahwa humanitarian Islam hanya salah satu baju baru bagi moderasi beragama.
Oleh karenanya, sekalipun ide ini didukung oleh banyak pihak, bahkan kalangan akademisi dan intelektual, semestinya kita tidak menerimanya begitu saja karena yang menjadi tolok ukur bagi umat Islam adalah syariat, bukan nilai-nilai kemanusiaan saja.
Hanya Penerapan Sistem Islam yang Bisa Mewujudkan Perdamaian Dunia
Islam memiliki aturan terperinci dalam upaya membangun kedamaian dunia. Ketika Daulah Islam terbentuk, Daulah akan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Seluruh umat manusia bisa melihat kesejahteraan yang dihasilkan dari penerapan Islam sehingga mereka terbuka untuk menerima dakwah tersebut.
Bagi yang tidak bersedia masuk Islam, mereka diberi pilihan untuk menjadi kafir zimi, yaitu tetap dalam agama semula, tetapi tunduk pada aturan Islam dalam kehidupan umum mereka dan membayar jizyah (semacam pajak bagi nonmuslim). Dengan membayar jizyah ini, mereka dilindungi dan hak-haknya dijamin sama sebagaimana kaum muslim.
Bagi yang menolak dan memilih berperang, Daulah akan memerangi dan menaklukkannya bukan dalam rangka menjajah dan menjarah, tetapi untuk menerapkan Islam dan mengantarkan mereka pada rahmatan lil ‘alamin. Sementara itu, bagi negara-negara yang memilih tetap kafir, tetapi ingin menjalin hubungan damai, maka Daulah bisa membuat perjanjian damai dalam batas waktu yang disepakati.
Dengan aturan ini, dalam sepanjang sejarahnya, Islam benar-benar membuktikan bahwa berbagai agama bisa menyatu dalam satu negara. Oleh karena itu, tidak aneh jika sejarawan Barat nonmuslim, seperti Max I. Dimon, telah melukiskan kerukunan hidup antarumat beragama di Spanyol selama 500 tahun di bawah naungan Daulah Islam. Bahkan, Maria Rosa Menocal (2006), seorang intelektual Barat, menggelari kerukunan ini sebagai “sepotong surga di Andalusia”.
Dengan demikian, tidak semestinya kita mencari solusi dari solusi yang ditawarkan oleh ideologi di luar Islam. Kita harus yakin bahwa solusi Islam adalah solusi terbaik yang akan mampu menuntaskan setiap persoalan.
Khusus persoalan Palestina, solusi yang seharusnya diambil adalah mempersatukan umat Islam untuk membela Palestina dalam bentuk jihad memerangi Zion*s agar hengkang dari bumi Palestina selamanya. Hal ini hanya bisa diwujudkan ketika kaum muslim memiliki institusi yang mampu mengoordinasikan seluruh pasukan muslim dari berbagai penjuru dunia, menghapuskan sekat-sekat sempit nasionalisme negara, dan mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki kaum muslim. Institusi yang memiliki kekuatan seperti ini haruslah sebuah negara yang menyatukan kaum muslim, yakni Daulah Khilafah Islamiah.
Dari seluruh pemaparan ini, humanitarian Islam sekalipun didukung oleh akademisi, ulama, dan intelektual, tetap harus kita waspadai karena standarnya bukan akidah Islam, melainkan nilai-nilai kemanusiaan universal. [SM/Ln]
———
Sumber: Muslimahnews.net
[i] https://tafsirweb.com/829-surat-al-baqarah-ayat-208.html