Oleh: Halima Noer
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar__ Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN Ahmad Najib Burhani menilai konflik antarumat beragama di Indonesia kian menurun setelah adanya polarisasi agama pada kontestasi politik Pemilu 2014. Meredanya konflik antarumat beragama di Indonesia, katanya, bukan menjadi tujuan akhir.
Alhasil, sejumlah langkah dilakukan oleh pemerintah, termasuk menanamkan konsep “beragama maslahat” sebagai penerus dari konsep moderasi beragama. “Konsep ini merupakan upaya dalam menggali potensi kemaslahatan, manfaat, dan kesejahteraan,” ujarnya.
Konsep “beragama maslahat”, jelasnya, secara garis besar mengambil dari al-kulliyatu al-khamsah atau lima prinsip dasar hukum Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Kelima prinsip dasar hukum Islam tersebut adalah hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga diri), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), hifdzu al-maal (menjaga harta), dan hifdzu al-biah (menjaga lingkungan).
Melalui kelima konsep ini, ia berharap kerukunan antarumat beragama di Indonesia bisa makin ditingkatkan sehingga tidak hanya perdamaian dan kerukunan antarumat beragama yang bisa diwujudkan, namun berbagai hal produktif antarumat beragama juga bisa dikembangkan, demi kesejahteraan masyarakat menuju Indonesia Emas 2045. (Harakatuna, 31-10-2024).
Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa konsep “beragama maslahat” ini digagas demi untuk menggali potensi kemaslahatan, manfaat, dan kesejahteraan. Pertanyaannya, mampukah konsep ini membawa maslahat bagi Indonesia, ataukah justru membawa mafsadat?
Untuk membahas hal itu, perlu kita ketahui terlebih dahulu mengenai maksud dari konsep “beragama maslahat” tersebut.
Konsep Barat “Berbaju” Islam
Dikatakan, konsep “beragama maslahat” adalah penerus dari program moderasi beragama. Alhasil, sebagaimana moderasi beragama, konsep ini pada hakikatnya adalah konsep Barat yang diberi “baju” Islam agar umat Islam menerimanya.
Sebagaimana kita pahami, moderasi beragama adalah implementasi dari rekomendasi RAND Corporation (lembaga think tank AS). Pada 2003 lalu, RAND Corporation membuat laporan yang merekomendasikan AS untuk menciptakan “Islam yang cocok” bagi agenda Barat dan memecah belah umat Islam. Itulah Islam moderat. Pada 2007, RAND Corporation juga menerbitkan dokumen Building Moderate Muslim Networks yang memuat langkah-langkah membangun jaringan muslim moderat pro Barat di seluruh dunia.
Konsep “beragama maslahat” yang berlandaskan al-kulliyatu al-khamsah yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan ini, sepintas sangat mirip dengan konsep maqashid asy-syari’ah dalam ajaran Islam. Akan tetapi, sebenarnya keduanya adalah konsep yang sangat jauh berbeda.
Maqashid asy-syari‘ah adalah tujuan-tujuan syariat yang pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun akhirat. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa maqashid asy-syari‘ah adalah tujuan dari syariat secara keseluruhan, bukan tujuan syariat sebagai satu per satu hukum. Artinya, terwujudnya kemaslahatan merupakan hasil penerapan syariat secara keseluruhan, bukan hasil penerapan masing-masing hukum.
Konsep An-Nabhani tersebut didasarkan pada pemahamannya terhadap QS Al-Anbiya’ ayat 107 yang dengan jelas menunjukkan bahwa rahmat (maslahat) yang dihasilkan adalah dari keseluruhan risalah bukan tujuan masing-masing hukum. (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 3). Dari sini, jelaslah bahwa maqashid asy-syari’ah, yakni kemaslahatan, akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara keseluruhan.
Sementara itu, konsep “beragama maslahat” justru menolak penerapan syariat secara keseluruhan. Konsep ini menetapkan bahwa akal yang akan menentukan sebuah syariat sesuai maslahat ataukah tidak. Jika sesuai, syariat akan diterima. Jika tidak, syariat akan diubah. Misalnya, syariat tentang kisas bagi pelaku pembunuhan. Seharusnya, syariat ini wajib diterapkan karena pasti terkandung maslahat di balik penetapannya.
Akan tetapi, dengan konsep “beragama maslahat”, hukuman kisas bisa dianggap tidak membawa maslahat dengan argumen hal ini bertentangan dengan hifdzu an-nafs (menjaga diri/jiwa), atau dengan kata lain dianggap menyalahi nilai-nilai kemanusiaan. Alhasil, dicarilah hukuman manusia yang dianggap setara dengan kisas yang dipandang bisa membuat pelakunya jera, misal penjara puluhan tahun atau denda yang sangat besar hingga ratusan juta rupiah. Tentu saja ini salah sebab konsep ini justru akan menghapus syariat Islam tentang kisas.
Selain itu, tidak hanya syariat tentang kisas, konsep “beragama maslahat” ini akan menghapus dan menolak penerapan banyak syariat Islam lainnya. Bahkan, kewajiban tegaknya sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan ditolak dengan argumen tidak membawa maslahat. Padahal, Khilafah adalah mahkota kewajiban dan tanpanya akan banyak kewajiban lainnya yang tidak bisa diterapkan. Oleh karenanya, jelas bahwa konsep “beragama maslahat” sesungguhnya dibuat dengan tujuan untuk menghilangkan syariat.
Membawa Maslahat ataukah Mafsadat?
Konsep “beragama maslahat” tidak hanya akan menghilangkan syariat, tetapi juga akan membuat umat Islam menerima dan rela berkompromi dengan pemikiran, konsep, maupun ide Barat yang berseberangan dengan Islam. Bisa dipastikan, dengan adanya konsep “beragama maslahat”, pemikiran-pemikiran Barat yang kufur, seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme, feminisme, demokrasi, HAM, dan sebagainya, akan menjadi pemikiran yang makin diaruskan oleh negara.
Segala cara pasti akan negara tempuh agar seluruh individu dan masyarakat mengadopsi semua pemikiran tersebut. Berbagai Kebijakan berikut undang-undang dan peraturan akan terus dibuat oleh negara sebagai implementasi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Lantas apa yang selanjutnya dihasilkan, maslahat ataukah mafsadat?
Sungguh, penerapan sistem ekonomi kapitalisme menyebabkan negeri ini, kaya raya, tetapi rakyatnya miskin, menjadi makin miskin. Penerapan sistem politik demokrasi akan menyebabkan merebaknya kezaliman penguasa, tindakan semena-mena berupa perampasan lahan, stigmatisasi terhadap Islam politik (ideologis) dan para pengembannya, buruknya riayah terhadap urusan umat, hingga mendatangkan kesengsaraan dan jauhnya umat dari agamanya.
Penerapan sistem sosial dan hukum yang sekuler dan liberal telah menimbulkan banyak sekali masalah kriminalitas, juga segudang problem perempuan, keluarga, dan generasi. Telah sangat nyata bahwa semua pemikiran kufur tersebut sama sekali tidak membawa maslahat, justru membawa kerusakan di mana-mana. Inilah konsekuensi logis yang harus umat terima karena meninggalkan syariat. Alih-alih maslahat, justru mafsadat yang didapat.
Taat Syariat, Menuai Maslahat
Taat syariat Islam dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan jelas akan menuai maslahat. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah di dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Rasul menyeru kalian demi sesuatu yang memberi kalian kehidupan, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.”(QS Al-Anfal [8]: 24).
Ayat ini menjelaskan dua hal. Pertama, kewajiban setiap mukmin untuk tunduk pada semua ketetapan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya. Kedua, bahwa semua ketetapan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya hakikatnya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Semua perkara yang dituntut syariat untuk dikerjakan adalah maslahat bagi manusia. Sebaliknya, semua perkara yang dituntut untuk ditinggalkan adalah mafsadat.
Seruan Rasulullah yang dapat memberikan kehidupan (limâ yuhyîkum) menjadi bukti atas kesimpulan tersebut. Dengan demikian, penetapan maslahat, baik pada af‘âl (perbuatan) maupun asyâ’ (benda), secara qath‘i hanya milik Allah SWT sebagaimana kaidah, “Di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat.”
Kaidah ini harus diyakini setiap mukmin, sekalipun akalnya tidak selalu dapat menjangkau fakta maslahat yang terkandung dalam syariat itu. Dengan keyakinan tersebut, seorang mukmin akan lebih lapang menerima ketetapan syariat. Ia tidak akan berani melanggar, apalagi mengubah atau membatalkan ketetapan hukum-Nya dengan alasan kemaslahatan.
Kedua hal tersebut harus dipahami oleh setiap muslim agar tidak terjerumus kepada konsep-konsep dan pemikiran kufur berbaju Islam yang menolak ketetapan syariat, termasuk konsep “beragama maslahat”. Konsep ini nyatanya telah mengubah kaidah haytsumâ yakûn asy-syar‘u takûn al-mashlahah (di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat) yang digali dari nas-nas syariat, menjadi haytsumâ takûn al-mashlahah fa tsamma yakûn asy-syar‘u (di mana ada maslahat, di sana ada syariat) yang digali dari akal semata.
Oleh karena itu, konsep beragama maslahat harus ditolak karena menganggap ada syariat (hukum Allah) yang tidak membawa maslahat dan ada ketetapan lain yang lebih membawa maslahat sehingga syariat itu perlu diubah. Artinya, telah menuduh Allah SWT tidak mengetahui apa yang manusia ketahui, sedangkan Allah mengecam sikap merasa lebih tahu daripada-Nya. Firman-Nya, “Katakanlah, ‘Apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah?’” (QS Al-Baqarah [2]: 140).
Allah juga menegaskan bahwa betapa pun hebatnya akal pikiran manusia, tidak akan mampu menentukan hakikat maslahat atau mafsadat sehingga sesuatu yang maslahat bisa jadi disangka mafsadat, demikian juga sebaliknya.
Allah SWT berfirman, “Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagi kalian. Allah tahu, sedangkan kalian tidak tahu.” (QS Al-Baqarah [2]: 216).
Demikianlah, konsep “beragama maslahat”, nyatanya tidak akan membawa maslahat, melainkan mafsadat. Konsep ini harus ditolak. Kemaslahatan dan kesejahteraan akan bisa diraih oleh negeri ini hanya dengan menerapkan syariat Allah secara kafah (keseluruhan) dalam bingkai Khilafah. Inilah yang harus diperjuangkan oleh umat Islam hari ini. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ln]
Sumber: muslimahnews.net