Serukanlah Islam Kaffah sebagai Pemersatu Umat, Bukan Nasionalisme

  • Opini

Oleh: Idea Suciati

Suaramubalighah.com, Opini __ Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Najih Arromadloni menyeru kalangan pemuda untuk terus menggelorakan nasionalisme, berdasar pada hubbul wathan minal iman atau mencintai tanah air bagian dari iman. Meski mengakui bahwa hubbul wathan minal iman bukan redaksi hadis, namun menurutnya nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam bahkan diajarkan oleh Islam.

Gus Najih pun berharap, melalui semangat hubbul wathan minal iman dan moderasi beragama, dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan, menjaga keharmonian di tengah keberagaman untuk menangkal budaya populer yang dikembangkan oleh organisasi terlarang yg menyisipkan ideologi atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. (antaranews.com, 14-11-2024)

Apakah seruan kepada nasionalisme sesuatu yang layak dilakukan oleh para dai atau mubaligh? Apakah nasionalisme dapat menyatukan umat Islam ataukah justru sebaliknya?

Bagian dari Moderasi Beragama

Komitmen kebangsaan dan nasionalisme memang menjadi salah satu indikator moderasi beragama yang terus digaungkan oleh pemerintah dan  berbagai pihak, mulai dari kalangan pejabat, lingkungan pendidikan, sampai kalangan ulama/mubaligh.

Di kalangan ulama, wawasan kebangsaan menjadi pokok materi yang dibekalkan dalam kegiatan pengkaderan ulama. Seperti yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melalui program Pendidikan Kader Ulama (PKU). Sampai tahun 2024 sudah meluluskan 17 angkatan.

Para lulusan PKU ini diyakini tidak akan menjadi seorang yang intoleran, terlebih memiliki paham radikal. Karena kurikulum yang dipelajari oleh para kader ulama ini banyak membahas penguatan ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan. Alumni PKU selama ini terbukti bukan saja menguatkan akidah jamaah, melainkan juga ikut menanamkan nilai-nilai nasionalisme umat Islam di Indonesia. (Antaranews.com, 1-02-2024)

Intinya, dalam penguatan nilai-nilai nasionalisme, Islam ditampilkan sebagai agama dan peradaban yang menghargai pluralisme dan nilai kemanusiaan. Hal ini dinarasikan sebagai upaya deradikalisasi dan intoleransi.

Padahal, narasi semacam ini sesungguhnya berasal dari Barat dengan proyek global mereka membangun Moderate Network. Berdasar pada rekomendasi RAND Corporation, mereka merancang “Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World”. Dalam pembahasannya dijelaskan tentang karakteristik muslim moderat dan betapa pentingnya mendukung entitas muslim moderat. Dalam poin itu dinyatakan bahwa muslim moderat adalah orang yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum non sektarian; serta melawan terorisme dan bentuk-bentuk legitimasi terhadap kekerasan.

Moderasi beragama, termasuk seruan nasionalisme, di dalamnya tentu dirancang demi kepentingan Barat, bukan untuk umat Islam. Tujuan utamanya adalah mencetak muslim yang sesuai arahan Barat, menjauhkan umat Islam dari Islam yang hakiki, dan mencegah kebangkitan umat Islam. Sehingga, Barat tetap bisa menguasai dunia dengan sistem kapitalismenya.

Maka, sangat disayangkan jika para dai atau mubaligh/mubalighah mengikuti arahan ini bahkan menjadi para penyerunya.

Nasionalisme Memecah Belah Umat Islam

Banyak yang mengartikan bahwa nasionalisme adalah soal cinta tanah air. Terwujud dengan sikap berani dan membela tanah air. Diklaim bahwa Nabi Muhammad saw. memiliki nasionalisme yang sangat tinggi terhadap tanah kelahirannya yakni Mekkah. Hal itu dikisahkan pada saat Nabi Muhammad hendak hijrah ke Madinah.

Sebelum berangkat hijrah, Nabi Muhammad sempat memandang Kota Mekkah. Kemudian dikatakan, Ya Makkah wallahi innaki la-ahabbul ardli ilayya wa lawla anni ukhrijtu minki maa khorijtu. Wahai Makkah, sumpah demi Allah, engkau bumi yang paling aku cintai. Kalau saja aku tidak dizalimi. Aku tidak mungkin meninggalkan engkau. Ini sering dianggap menjadi dalil nasionalisme atau cinta kepada tanah air.

Padahal, nasionalisme berbeda dengan cinta tanah air. Cinta tanah air seperti yang ditampakkan Nabi Muhammad saw. terhadap Mekkah adalah penampakan alami dari naluri nau’ (kasih sayang) terhadap tanah kelahiran. Hal itu adalah fitrah manusia. Nabi Muhammad saw justru mencontohkan sikap rela meninggalkan tanah kelahirannya itu demi dakwah dan mendirikan Daulah di Madinah. Bahkan, pada akhirnya Makkah pun ditaklukkan dalam peristiwa fathu Mekkah.

Khususnya di Indonesia, diklaim bahwa perjuangan ulama membela tanah air dari penjajahan adalah bukti rasa nasionalisme. Seperti yang dilakukan  KH Hasyim Asyari, sebagai sosok pendiri NU, ketika memfatwakan resolusi jihad pada Oktober 1945, yang pada intinya menyatakan bahwa merupakan suatu kewajiban bagi mereka yang sudah aqil baligh untuk ikut berjuang membela tanah air. Hal ini pun penafsiran yang keliru, seruan jihad KH Hasyim Asyari lahir dari keimanan yang memang mewajibkan setiap muslim membela agamanya, bukan semata membela tanah air karena semangat kebangsaan/ nasionalisme.

Nasionalisme adalah paham kebangsaan, yang lebih pas padanannya dengan sikap ashabiyah, bukan cinta tanah air. Menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.

Negara bangsa itu sendiri adalah batasan khayali yang dibuat Barat untuk memecah wilayah dan negeri kaum muslimin yang awalnya bersatu dalam satu kepemimpinan.

Nasionalisme disusupkan oleh Barat kepada umat Islam yang saat itu dalam kondisi lemah (secara pemikiran). Nasionalisme menghidupkan sentimen kebangsaaan/ras. Yang paling menonjol saat itu adalah terpecahnya Turki dan Arab. Bangsa Turki merasa lebih mulia dari bangsa Arab dan sebaliknya. Hal ini menyebabkan Arab menuntut terpisah dari kekuasaan Kekhalifahan di Turki. Akhirnya berujung pada malapetaka runtuhnya kekhilafahan di tahun 2024.

Tentang hal ini Mahmud Syakir menjelaskan dalam bukunya, Tarikh Islam, “Ternyata paham nasionalisme tersebut merupakan unsur terpenting di dalam melemahkan kekuatan Daulah Islamiyah, karena umat Islam, dengan nasionalisme, akan tercerai-berai, saling berselisih; masing-masing ingin bergabung dengan suku dan kelompoknya, ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah. Cukuplah dengan gerakan untuk memisahkan diri tersebut akan terkotak-kotaklah kekuatan umat. Dengan demikian, Daulah akan melemah dan terputus jaringannya dan akhirnya ambruk. Begitulah yang terjadi”. (Mahmud Syakir, Târîkh Islâm, Al-Maktab Islami, 1991 M, VIII/122)

Hingga hari ini, nasionalisme bukan menyatukan umat justru sebaliknya, telah berhasil memecah persatuan umat Islam global. Berdampak pada langgengnya penjajahan Barat terhadap dunia-dunia Islam. Bukti nyata bahaya nasionalisme hari ini adalah sikap diamnya puluhan negri umat Islam terhadap persoalan Palestina. Membuat slogan NKRI harga mati seolah lebih sakral dibandingkan jangan biarkan saudara kami mati!

Adapun slogan hubbul wathan minal iman yang sering dijadikan dasar nasionalisme bukan berasal dari Islam, melainkan dari Butrus al-Bustani tokoh nasionalis Suriah yg menyerukan gerakan pembaharuan untuk melepaskan Suriah dari kekuasaan Turki Utsmani.

Syekh Taqiyuddin An-nabhani dalam kitab Nidzamul Islam, nasionalisme adalah ikatan yang lahir dari rendahnya pemikiran manusia dalam ikatan yang mengikat manusia dalam berinteraksi. Nasionalisme ikatan bersifat emosional, temporal dan dibatasi teritorial kebangsaan (nation state). Jelas ini bertentangan dengan ikatan karena akidah Islam yang bersifat universal tanpa sekat kebangsaan.

Oleh karena itu, jelas nasionalisme adalah ikatan jahiliyah yang sengaja dicekoki Barat kepada umat Islam, untuk menghancurkan Islam, melemahkan umat Islam, menghadang persatuan umat dan kebangkitan Islam kembali.

Persatuan Umat dengan Khilafah

Islam datang menghapus semua ikatan jahiliyah, termasuk nasionalisme. Allah SWT telah berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah: 5).

Menyembah Allah SWT berarti bahwa manusia meninggalkan seluruh bentuk peribadatan dan memutuskan seluruh hubungannya dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah Ta’ala. Termasuk di dalamnya meninggalkan semua ikatan batil seperti nasionalisme. Karena Islam menjadikan tauhid (akidah Islam) sebagai satu-satunya ikatan antar manusia.

Akidah Islam menjadikan semua manusia setara apapun suku, bangsa, rasnya. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Ikatan ideologis Islam telah terbukti bisa menyatukan berbagai bangsa, ras, suku dalam satu wilayah dan kepemimpinan. Kisah yang paling mempesona adalah kisah Rasulullah saw. ketika mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin di awal hijrah. Persaudaraan ini sangat kuat dan berpengaruh.

Ikatan ideologis ini terus menjadi dasar persatuan mereka sampai ribuan tahun sesudahnya. Islam menyatukan orang Arab, Bar-Bar, Romawi, Afrika, Turki, Persia, dan India, berikutnya juga Melayu, Cina, Sirkasia, Bosnia, dan lain-lain menjadi umat yang satu, yaitu umat Islam.

Di sisi lain, klaim bahwa Rasulullah saw. mencontohkan nasionalisme pun sangat keliru. Sirah menunjukkan  sikap tegas Nabi Muhammad ketika mengingatkan Kaum Aus dan Khazraj yang hampir saja berperang dikarenakan hasutan Yahudi. Nabi saw. bersabda: “Wahai kaum muslim, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam; yang karena itulah kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara karenanya?”. Dari kejadian tersebut tampak jelas bahwa Rasulullah saw. menentang fanatisme golongan, kesukuan, ataupun nasionalisme.

Nabi saw. pun menegaskan keharaman ashabiyah, di antaranya melalui hadis: “Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang-orang yang mati membela ashabiyyah (HR Abu Dawud)

Khatimah

Jelaslah, bahwa nasionalisme alih-alih akan menyatukan umat, justru telah terbukti menjadi penyebab terpecah belah dan lemahnya umat Islam hari ini.

Oleh karena itu, adalah nasionalisme adalah ide batil yang tidak layak diserukan. Akan sangat berbahaya jika seruan nasionalisme yang bertentangan dengan Islam ini diserukan oleh para da’i atau mubalighah.

Seharusnya para da’i atau mubalighah menjadi pihak terdepan dalam menolak ide nasionalisme dan menyeru umat kepada Islam agar terwujud persatuan hakiki, yakni, Islam kaffah, Islam yang universal, bukan Islam yg dilokalisir oleh nasionalisme. Islam yg satu bagi umat Islam di seluruh dunia. Di sinilah seruan persatuan umat Islam dalam satu kepemimpinan Khilafah pun menjadi hal penting. [SM/Ln]