Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Di dalam ilmu politik dikenal beragam jenis kepemimpinan, salah satunya adalah gaya kepemimpinan populis. Gaya kepemimpinan ini sedang tren dan dianggap paling relevan untuk diterapkan di era digital saat ini. Para politisi dunia, termasuk Indonesia, di dalam percaturan politik dan kekuasaannya berlomba-lomba membangun komunikasi politik dan personal branding lewat platform media sosial seperti FB, Twitter, Tik Tok, Ig, dan lain-lain, agar mereka mudah dikenal oleh masyarakat.
Corak kepemimpinan populis memang sarat dengan upaya-upaya untuk membangun citra dan karakter pemimpin yang memiliki sikap karismatik, dengan mengeklaim bahwa mereka mewakili “kehendak rakyat” yang akan mengakomodir seluruh kebutuhan rakyat tanpa jarak. Sehingga mereka akan selalu berada di tengah-tengah rakyat dan dianggap paling mengerti akan keinginan dan kepentingan rakyat kecil, serta akan selalu berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Alhasil, melalui platform media dengan upaya digital marketing yang terstruktur, mereka telah membangun gaya komunikasi politik dengan berbagai program yang fantastis. Para politisi ini telah berhasil menarik simpatik dan perhatian rakyat, hingga mereka muncul bagaikan seorang pahlawan yang akan memimpin dan berjuang bersama rakyat.
Namun, apakah benar gaya kepemimpinan yang populis ini bisa menjadi angin segar di tengah-tengah himpitan kesengsaraan rakyat saat ini? Atau justru akan menjadi gerbang menuju kepemimpinan yang otoritarian?
Gaya Kepemimpinan Populis Sarat dengan Kepentingan dan Pencitraan
Program Presiden Prabowo dalam bentuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai dirilis di Pondok Pesantren Nahdlatul Ummat, Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada Sabtu, 30 November 2024. Pelaksanaan simulasi program MBG atau pemberian makan siang gratis ini telah resmi dibagikan kepada sekitar 200 santri dengan disaksikan langsung oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Kepala Kanwil Kemenag Sulbar Adnan Nota.
Dalam acara tersebut Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa dirilisnya program ini sebagai bentuk komitmen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka yang didukung penuh oleh pemerintah daerah. Program ini akan dilaksanakan kepada seluruh jenis sekolah tanpa dibedakan, baik pesantren, madrasah, maupun sekolah-sekolah umum. Dikatakan bahwa program ini merupakan bagian dari wujud menikmati hasil pembangunan. (Tempo.co, 1-12-2024).
Selain program MBG, Presiden Prabowo Subiyanto juga telah memberikan perhatian khususnya terhadap pembangunan pendidikan di pondok pesantren dan madrasah. Termasuk terhadap guru-gurunya dengan mencanangkan pesantren yang terakreditasi unggul. Ini artinya bahwa di masa yang akan datang, akan ada akreditasi pesantren.
Hal senada juga disampaikan Wamenag Muhammad Syafi’i periode 2024-2029, saat bertemu dengan pengurus Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten. Beliau mengatakan bahwa pesantren akan menjadi perhatian penting dalam pemerintah Prabowo-Gibran karena peran strategisnya dalam membangun NKRI. (Kemenag.go.id, 26-11-2024).
Wamenag juga menegaskan bahwa Kementerian Agama akan segera membentuk suatu Direktorat Jenderal khusus yang akan mengurus sekaligus untuk mengayomi pondok pesantren. Dirjen ini nantinya diminta untuk bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dalam membuka program studi manajemen pesantren. Program ini bertujuan untuk mencetak tenaga profesional yang dapat memajukan pesantren secara optimal.
Jika kita telisik lebih dalam, sejak awal rezim hari ini begitu manis menampakkan sikap populis kepada rakyat, tak terkecuali terhadap pesantren. Apakah sikap populis penguasa hari ini akan benar-benar tulus untuk meriayah rakyatnya? Hal ini tentu saja masih perlu pembuktian. Pasalnya dibeberapa kasus yang terjadi hari ini, ternyata kita juga masih menyaksikan banyak layanan masyarakat yang menjadi hak rakyat tapi masih belum dipenuhi secara gratis oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bahkan pada kasus lain, pemerintah telah menggulirkan wacana akan ada kenaikkan PPN menjadi 12%, padahal kondisi ekonomi rakyat saat ini juga sangat memprihatinkan. Jika benar PPN akan naik, maka sudah dapat dipastikan akan berdampak pada kenaikkan harga pada seluruh kebutuhan pokok masyarakat.
Dengan demikian sikap populis penguasa hari ini hanya menjadi bagian dari upaya pencitraan. Hal itu untuk menaikkan elektabilitas demi menarik simpati dan dukungan rakyat semata. Bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Gaya Kepemimpinan Populis Berpotensi Menjadi Otoritarian
Oleh karena itu, sangat penting bagi rakyat dan para tokoh mubaligah agar tidak terbuai. Pencitraan gaya kepemimpinan populis yang ditunjukkan rezim saat ini, khususnya kepada pondok pesantren, dengan cara memenuhi kebutuhan dan kepentingannya lewat beragam jenis program pemberdayaan pesantren.
Para tokoh mubaligah harus paham, bahwa ketika mereka merasa sudah diperhatikan seluruh kepentingannya, bukan berarti mereka harus diam dan mengabaikan kezaliman yang dilakukan penguasa. Para mubaligah maupun rakyat, harus memiliki kesadaran politik. Gaya kepemimpinan populis penguasa hari ini bisa jadi hanya salah satu alat untuk merangkul semua parpol maupun pihak-pihak tertentu, agar menjadi pendukung rezim hari ini.
Setiap program fantastis yang dicanangkan oleh rezim harus benar-benar diperhatikan, sebab mungkin saja sekilas program ini tampak baik. Seakan-akan kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim juga telah merepresentasi kehendak rakyat.
Namun, apakah hal ini benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat? Apakah murni hal ini untuk kepentingan rakyat? Lalu, bagaimana dampaknya bagi rakyat?
Jika muncul ketidaksepakatan di antara mereka, apakah tidak dipandang sebagai bentuk pertentangan terhadap rezim dan pertentangan terhadap kehendak rakyat? Sebab dalam beberapa fakta, gaya kepemimpinan populis dalam sistem demokrasi kapitalisme cenderung akan melahirkan sikap otoriter. Karakteristik sistem ini yang memiliki standar ganda, telah meniscayakan lahirnya kezaliman rezim yang berkuasa.
Legitimasi dan strategi dalam kebijakan serta kekuasaan sistem kapitalisme sekuler memiliki kecenderungan yang bersifat memaksa. Biasanya dengan kedok demokrasi, seluruh kekuatan supremasi hukum akan digunakan oleh rezim sebagai alat untuk melawan setiap bentuk penentangnya. Tanpa rasa malu, yang tadinya kawan pun akan dianggap sebagai lawan ketika tampak indikasi penentangnya terhadap rezim. Sehingga gaya kepemimpinan populis akan berpotensi menjadi otoritarian, yang akan berdampak pada tertutupnya pintu amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat dan para mubaligah senantiasa mewaspadai gaya kepemimpinan populis yang otoritarian ini. Umat Islam khususnya para mubaligah dan praktisi pendidikan di seluruh pondok pesantren, harus memiliki kesadaran politik yang akan berimplikasi pada tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan persoalan umat yang kian rumit akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekuler.
Dengan demikian fungsi dan peran para mubaligah hari ini, harus mampu menjadikan mereka sebagai garda terdepan dalam mewujudkan sistem kepemimpinan yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat, yakni kepemimpinan yang berdasarkan pada syariat Islam yang akan mewujudkan penerapan sistem Islam secara kaffah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis.
Sehingga hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Ahmad, dan Ad-Darimi tentang “Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian,” akan benar-benar terwujud dan menjadi gerbang keberkahan bagi kehidupan umat Islam dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraannya di seluruh aspek kehidupannya.
Wallahu a’lam alam bishshawab. [SM/Ah]