Sampah Menggerus Esensi Pesantren

  • Opini

Oleh Ummu Fahri

Suaramubalighah.com, Opini – Pelestarian lingkungan bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab industri dan pemerintah. Namun, yang terjadi saat ini, masyarakat didorong untuk mengurangi penggunaan plastik, sementara industri terus memproduksi kemasan plastik dalam jumlah masif tanpa regulasi ketat. Akibatnya, sampah plastik terus menggunung, mencemari lingkungan, merusak ekosistem, dan bahkan mengancam kesehatan manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai pihak telah berupaya melakukan kampanye pengurangan sampah plastik, mulai dari pesantren hingga organisasi muslimat. Korps Mubalighat Aisyiyah Jepara, misalnya, mendorong penggunaan tumbler dalam setiap pertemuan. Muslimat NU juga meluncurkan program Mustika Darling, yang mengedukasi para kadernya untuk memilah sampah. Sementara itu, Kementerian Agama telah menjalankan program Ekopesantren sejak 2022. Bahkan, MTQ Internasional ke-4 di Jakarta tahun ini mengangkat tema “Al-Qur’an, Environment, and Humanity for Global Harmony”. (jateng.kemenag.go.id, 29-01-2025)

Namun, apakah langkah-langkah yang diambil pesantren dalam mengelola sampah plastik sudah cukup efektif untuk menyelesaikan persoalan tersebut? Ataukah pesantren hanya diarahkan untuk mengelola dampak sampah plastik, sementara akar masalahnya tetap dibiarkan?

Pesantren dan Pengelolaan Sampah

Pesantren memiliki peran utama sebagai lembaga pendidikan Islam yang bertujuan mencetak santri yang berilmu, berakhlak, dan berkontribusi dalam dakwah serta kemasyarakatan. Namun, ketika pesantren terlalu fokus pada pengelolaan sampah, ada risiko pergeseran dari fungsi utamanya.

Mulai dari alih fokus pendidikan Islami, menjadi disibukkan dengan aktivitas teknis pengolahan sampah. Belum lagi di beberapa pesantren sudah mulai menjalankan unit usaha pengolahan daur ulang sampah yang bernilai komersial, daripada misi pendidikan dan dakwah.

Selain itu santri yang seharusnya fokus belajar dan beribadah bisa terbebani dengan tanggung jawab pengelolaan sampah, sehingga bisa menghambat perkembangan akademik dan spiritual mereka. Kemudian, jika sampah tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan di dalam pesantren itu sendiri.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti pesantren tidak boleh berperan dalam isu lingkungan. Pesantren tetap bisa mengajarkan kesadaran lingkungan dalam bingkai pendidikan Islam, seperti menanamkan nilai kebersihan dan tanggung jawab terhadap alam. Tetapi, peran ini sebaiknya tetap dalam batas yang mendukung fungsi utama pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, bukan malah mengalihkannya menjadi institusi pengelolaan sampah.

Problematika Sampah, Kapitalisme dan Pemerintah

Akar masalah sampah, terutama sampah plastik, tidak bisa lepas dari pola konsumsi yang didorong oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, industri besar terus memproduksi barang-barang sekali pakai untuk mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Plastik, sebagai bahan yang murah dan serbaguna, menjadi pilihan utama dalam produksi barang, namun sulit terurai dan mencemari lingkungan. Proses ini menyebabkan timbunan sampah yang terus berkembang dan mengancam ekosistem.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Menurut data SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mencatat timbunan sampah nasional 2023 mencapai 31,9 juta ton. Sebanyak 63,3% (20,5 juta ton) terkelola, sementara 35,67% (11,3 juta ton) tidak terkelola dengan baik, berakhir di sungai, laut, atau mencemari tanah. (brin.go.id, 26-07-2024)

Sebagian besar sampah plastik berasal dari industri yang memproduksi kemasan sekali pakai, terutama dalam bentuk sachet dan botol plastik. Beberapa perusahaan besar seperti Wings, Indofood, Mayora hingga Unilever, menjadi penyumbang utama sampah plastik dengan produk kemasan ekonomis yang sulit didaur ulang. (lintasperkoro.com, 22-10-2023)

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengurangan Sampah oleh Produsen, realitanya kebijakan ini belum efektif. Tidak ada sanksi tegas bagi produsen yang terus memproduksi plastik dalam jumlah besar. Sementara itu, masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik juga turut memperparah kondisi dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan tidak memilah sampah organik dan anorganik. (sipsn.menlhk.go.id)

Pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur kebijakan, seharusnya bertanggung jawab untuk menangani permasalahan lingkungan ini. Negara memiliki kewajiban untuk menetapkan regulasi yang membatasi penggunaan plastik sekali pakai, mendukung teknologi ramah lingkungan, serta memberikan pendidikan tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik.

Persoalan utama dari krisis sampah plastik bukan hanya soal kesadaran individu, tetapi juga soal sistem yang mendukung keberlanjutan produksi plastik. Kapitalisme menempatkan keuntungan di atas kelestarian lingkungan, sehingga industri terus memproduksi plastik tanpa memperhitungkan dampaknya, sementara industri terus memproduksi sampah dalam jumlah besar.

Di negara-negara maju, regulasi tegas diterapkan untuk membatasi produksi plastik. Korea Selatan, misalnya, mewajibkan produsen bertanggung jawab atas limbah kemasannya melalui sistem Extended Producer Responsibility (EPR). Namun, di Indonesia, kebijakan seperti ini sulit diterapkan karena perusahaan besar memiliki pengaruh kuat dalam politik dan kebijakan publik. (www.tempo.co, 08-12-2022)

Menjadikan pesantren bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan tanpa adanya penanganan serius dari negara merupakan bentuk lepas tangan dari pemerintah. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang seharusnya berfokus pada pembinaan ilmu agama dan akhlak, dihadapkan pada beban tambahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Meskipun pesantren dapat berperan dalam mengajarkan nilai-nilai lingkungan dan kebersihan sebagai bagian dari dakwah, mereka tidak seharusnya dipaksa untuk mengambil alih peran yang seharusnya menjadi kewajiban negara.

Ketika negara tidak serius menangani kerusakan lingkungan, seperti merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang efektif dan mencegah dampak industri yang merusak lingkungan, maka beban pengelolaan sampah dan kerusakan lingkungan sering kali dialihkan kepada lembaga-lembaga lain, termasuk pesantren. Hal ini mencerminkan ketidakmampuan negara dalam memenuhi tanggung jawab utama mereka dalam melindungi dan menjaga lingkungan hidup untuk generasi mendatang. Pesantren seharusnya tidak dibebani dengan tugas ini secara berlebihan, apalagi jika tugas utama mereka adalah membentuk karakter dan kecerdasan santri dalam konteks pendidikan agama dan sosial.

 Solusi Islam: Regulasi Tegas dan Tanggung Jawab Negara

Menjaga lingkungan adalah bagian dari amanah manusia baik secara individu, kemasyarakatan dan negara. Allah berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)

Ayat ini mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat dari ulah manusia, dan kita wajib bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa negara memiliki peran utama dalam mengatur produksi dan distribusi barang agar tidak merusak lingkungan.

Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, negara akan mewujudkan ekosistem yang ramah lingkungan. Secara individu, dengan pendidikan Islam yang dilandasi akidah Islam, generasi dididik menjaga lingkungan karena tuntutan keimanan. Secara kemasyarakatan ada kontrol sosial untuk melakukan amar makruf nahi mungkar khususnya dalam menjaga kelestarian alam.

Pemberlakuan ekonomi syariat akan mewujudkan kesejahteraan sekaligus kepedulian terhadap lingkungan, mengingat pola pikir dan pola sikap umat Islam tidak akan rakus dunia sehingga pengelolaan sumber daya alam dan industri tidak akan “ugal-ugalan”.

Negara dalam sistem Khilafah  juga akan mengembangkan industri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Jika ada individu masyarakat mengembangkan industri yang merusak lingkungan (seperti plastik ) maka akan mendapat sanksi tegas. Sebab negara berkewajiban menjaga ekosistem yang melahirkan kemaslahatan umat manusia. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

”Sesungguhnya Al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dll)

Oleh karena itu, negara akan mengembangkan kemasan berbahan organik atau biodegradable dan mendorong industri lokal untuk beralih ke kemasan ramah lingkungan.

Esensi Sejati Pesantren

Pesantren memiliki peran penting dalam memastikan negara menjalankan syariat Islam dalam mengatur urusan rakyat nya. Pesantren melakukan kontrol kepada penguasa atas amanah yang ada di pundak mereka.

Ulama dan santri bersuara lantang dengan prinsip amar makruf nahi mungkar, menuntut negara untuk menyelesaikan persoalan sampah ini secara serius. Inilah peran penting pesantren.

Peran pesantren bukan untuk menggantikan tugas negara, tetapi untuk memastikan negara bertanggung jawab dalam mengelola urusan rakyat sesuai dengan  syariat Islam  dan  amanah .

Khatimah

Masalah sampah plastik bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab negara dan pelaku industri. Selama kapitalisme masih menjadi sistem yang mengatur ekonomi, kepentingan lingkungan akan selalu dikorbankan demi keuntungan segelintir orang.

Dengan peran serta pemerintah yang kuat, maka langkah-langkah yang lebih holistik dan terintegrasi dalam menangani masalah sampah dapat terlaksana, bukan hanya mengelola dampak tapi juga mencegah akar masalah dari sumbernya.

Oleh karena itu, solusi sejati harus mencakup regulasi ketat terhadap industri, edukasi berbasis Islam, serta peran aktif masyarakat untuk amar makruf nahi munkar serta  sikap pemerintah tegas dan berwibawa. Dan ini semua butuh penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ln]