Oleh: Ustazah Rahmah
Suaramubalighah.com, Opini — Tinggal beberapa hari, kaum muslim akan kedatangan tamu istimewa, yaitu bulan suci Ramadan. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambutnya, baik dengan kajian-kajian keislaman seputar Ramadan, maupun dengan tarhib Ramadan. Untuk menyambut bulan suci ini, Kamis (13-2-2025) di Jakarta, Kemenag menggelar Temu Penanggung Jawab Program Siaran Agama Islam di Media. Hasilnya, Kemenag menekankan lima aspek utama yang harus menjadi fokus dalam Siaran Program Keagamaan Ramadan 2025 di media.
Pertama, siaran yang menyejukkan dan kredibel. Kedua, keadilan sosial dan kesetaraan, serta mengedepankan keseimbangan antara nilai religius dan kemanusiaan. Ketiga, kesadaran lingkungan dalam dakwah. Keempat, memperkuat harmoni sosial sehingga berdakwah harus menghindari ujaran kebencian serta menyajikan program yang membangun toleransi antarumat beragama. Kelima, mendorong solidaritas dan kepedulian sosial.
Kemenag juga memberi Panduan Siaran Agama dan Etika Ceramah. Hal ini tertuang dalam SE Menag No. 9/2023 yang juga menekankan lima prinsip utama dalam penyiaran agama. Pertama, menjunjung nilai kebangsaan dan semangat persatuan nasional. Kedua, menghindari ujaran kebencian. Siaran agama harus bebas dari provokasi berbasis SARA dan mengedepankan nilai persatuan. Ketiga, dakwah yang santun dan menyejukkan. Keempat, materi dakwah yang kredibel. Kelima, mendorong persatuan dan toleransi. Siaran agama tidak boleh menjelekkan keyakinan lain atau mengklaim kebenaran. (Sumber: Situs Kemenag).
Sementara itu, salah satu penyampaian Kakanwil Kemenag Provinsi Sultra dalam rapat persiapan pelaksanaan kegiatan Siaran Keagamaan Islam adalah penceramah diharapkan tidak membahas topik politik dalam ceramah mereka agar ibadah puasa Ramadan dapat berlangsung dengan nyaman dan khusyuk. (Sumber: Sultra Kemenag).
Benarkah Ada Moderasi Beragama dan Apolitis dalam Program Siaran Keagamaan Ramadan 1446 H?
Ramadan adalah bulan suci umat Islam yang penuh keberkahan, juga momen untuk meraih ketakwaan. Semestinya, negara menjamin umat Islam bisa mengoptimalkan ketaatan saat bulan ini. Seharusnya pula umat memasukinya dengan semangat dan penuh kebahagiaan karena banyaknya kebaikan yang akan diraih. Salah satunya dengan meneladan Rasulullah saw., yakni lebih dekat dengan Al-Qur’an, membaca, mempelajari, mengamalkan, dan memperjuangkannya agar ajaran Al-Qur’an dilaksanakan secara kaffah.
Namun, langkah Kemenag terkait penyiaran siaran keagamaan (baca: agama Islam) disertai pernyataan Dirjen Bimas Islam tadi, justru berpotensi memicu keresahan dan kecurigaan di tengah umat, memangnya ada program keagamaan yang intoleran dan antikebangsaan? Bisa jadi tuduhan itu ditujukan terhadap program-program yang ingin menyadarkan umat terkait relevansi penerapan Al-Qur’an dengan ketakwaan yang wajib diwujudkan.
Berkaitan dengan politik, misalnya, sampai hari ini kata “politik” sering kali salah dimaknai. Politik masih sering diidentikkan dengan tipu daya bahwa politik itu kotor, politik itu perebutan kekuasaan, dan persepsi buruk yang lainnya. Alhasil, pembahasan materi politik dianggap tidak menyejukkan dan membuat masyarakat tidak khusyuk. Akhirnya sebagian kaum muslim berpendapat bahwa politik dan Islam harus dipisah. Padahal, yang benar adalah Islam dan politik itu semestinya saling bergandengan, terlebih saat Ramadan. Ini karena Ramadan adalah bulan mulia, diwajibkan di dalamnya berpuasa agar menjadi orang-orang yang bertakwa sebagai hikmahnya (lihat QS Al-Baqarah: 183).
Takwa adalah menjalankan semua yang Allah perintahkan dan menjauhi semua yang Allah larang. Oleh karena itu, para penceramah sudah seharusnya menyampaikan semua syariat Islam agar umat paham apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dan apa saja yang dilarang, termasuk dalam persoalan politik.
Dengan demikian, tampak ada upaya sistemis dan terstruktur untuk memasifkan moderasi beragama dan sikap apolitis dalam rencana siaran keagamaan Ramadan. Semangat umat untuk lebih dekat dengan ajaran agamanya (Islam) dan kesempatan memperbanyak amalan ibadah berpeluang dibelokkan pada pemahaman yang salah.
Tentu ada ancaman terhadap akidah. Di balik seruan toleransi dan keharmonisan, tersimpan bahaya pluralisme. Tentu juga dakwah Islam kafah akan mendapat hambatan. Inilah yang harus umat waspadai. Jangan sampai semangat dan suasana keimanan yang sedang meningkat teralihkan pada hal yang justru menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang lurus.
Program Siaran Agama Islam pada Ramadan 2025, Seperti Apa?
Sebulan penuh kaum muslim mengerjakan puasa Ramadan dengan ikhlas dan penuh harap agar memperoleh pahala dan tentu mampu target puasa, yaitu bertakwa. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 183, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Orang yang bertakwa adalah orang yang mampu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dalam seluruh aktivitas dan urusan, baik dunia maupun akhirat. Dengan puasa Ramadan, pribadi-pribadi kita ditempa dan dilatih untuk meninggalkan yang mubah, seperti makan-minum, apa lagi yang haram. Oleh karenanya, setelah puasa Ramadan, akan menghasilkan pribadi-pribadi bertakwa, pribadi yang kuat untuk mengekang nafsu syahwat dan meninggalkan maksiat.
Imam Al-Qaththan menafsirkan “agar kalian bertakwa”, yakni agar kalian bertakwa dengan meninggalkan syahwat yang mubah. Dengan berpuasa, diri akan dilatih melakukan keutamaan dan keinginan kuat untuk mengekang nafsu; juga meninggalkan syahwat/maksiat yang diharamkan karena takut kepada Allah, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Puasa yang mampu menghasilkan takwa adalah puasa yang mampu meninggalkan maksiat dalam aktivitas apa pun. (Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir – Tafsir QS Al-Baqarah: 183).
Dengan demikian, agar berpuasa mampu mencapai target takwa, sudah seyogianya program-program siaran agama Islam Ramadan meliputi beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, program tersebut akan menjadikan pribadi-pribadi yang benar-benar bertakwa. Ramadan harus menjadi momen perubahan besar, Ramadan menjadikan pribadi-pribadi bertakwa, keluarga-keluarga bertakwa, masyarakat dan negara yang bertakwa. Firman Allah QS Ali Imran: 102, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Imam Zamaksari menafsirkan حَقَّ تُقَاتِهِ , yaitu benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. (Imam Zamaksari, Tafsir Al-Kassaf, Juz I, hlm. 306).
Ibnu Katsir menafsirkan, hendaklah taat dan janganlah bermaksiat. Sedangkan Imam Jalalain menafsirkan, hendaklah taat, maka janganlah bermaksiat; hendaklah bersyukur, maka janganlah kufur; hendaklah ingat (kepada Allah), maka janganlah lupa. (Tafsir Jalalain, Juz I, hlm. 394).
Kedua, program penyampaian materi penerapan Islam kaffah adalah wajib. Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 208).
Dalam Tafsir Jalalain Juz I, Imam Jalaluddin menafsirkan QS Al-Baqarah ayat 208 bahwa Allah mewajibkan penerapan hukum Islam secara keseluruhan, baik berkaitan dengan akidah, syariat, ibadah, muamalah, ekonomi, sosial, politik, hingga pemerintahan. Allah mengharamkan mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain Juz I, hlm. 214).
Ketiga, program yang menjadikan pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran politik Islam, yaitu menyadari bahwa urusan rakyat—dalam maupun luar negeri—harus sesuai dengan ajaran Islam. Kewajiban negara adalah menerapkan politik Islam di dalam negeri, yaitu melaksanakan seluruh aturan atau hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan rakyat di dalam negeri, dengan menerapkan berbagai sistem Islam, yakni ekonomi, keuangan, politik, hukum, sanksi, dan pemerintahan secara menyeluruh. Sedangkan politik luar negeri adalah membangun hubungan luar negeri dengan misi mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. (Syekh Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Bangil: Al Izzah, hlm. 11—15).
Termasuk aktivitas politik adalah amar makruf nahi mungkar dan menasihati/mengoreksi penguasa, tentu hal ini tidak bisa terlaksana secara sempurna, kecuali dilakukan secara berjemaah dalam partai politik Islam atau jemaah dakwah yang bertujuan menegakkan Islam kafah. Firman-Nya dalam QS Ali Imran: 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”
Keempat, materi yang berkaitan dengan zakat dan sedekah. Perhatikan famili, kerabat, tetangga, dan saudara kita sesama muslim lainnya yang sekarang dalam kondisi fakir miskin dan perlu bantuan, zakat adalah salah satu ibadah dan salah satu rukun dari rukun Islam. Sebagaimana ibadah yang lain, terdapat syarat orang yang wajib zakat, harta yang wajib dizakati, dan kepada siapa saja didistribusikan. Zakat hanya diwajibkan kepada orang Islam, sebagaimana firman Allah QS Al-Baqarah ayat 43, “Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”
Imam Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain menafsirkan QS At-Taubah ayat 60 bahwa zakat harta dikeluarkan kaum muslim dan hanya untuk kaum muslim. Adapun siapa saja dari kaum muslim yang boleh menerima zakat (mustahik zakat) telah dijelaskan dalam QS At-Taubah ayat 60 dan membatasi yang menerima zakat hanya pada 8 ashnaf.
Kelima, program yang mengajak kepada persatuan dan menjauhi perpecahan. Firman Allah QS Ali Imran ayat 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.”
Persaudaraan dan persatuan yang kukuh ini karena mereka berpegang pada ajaran Islam, pada Al-Qur’an dan hadis. “وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا” . Imam Jalaluddin menafsirkan “berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah” bahwa kaum muslim semuanya berpegang teguh terhadap agama Islam. Pemikiran, sikap, dan tingkah laku mereka berlandaskan pada ajaran Islam. Mereka dipersatukan Islam.
Ibnu Abbas menafsirkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan Al-Qur’an. Janganlah kamu bercerai-berai.” Imam Jalaluddin menafsirkan, janganlah kamu bercerai-berai setelah memeluk agama Islam.
Dalam Tafsir Ats-Tsa’alabi, Imam Ats-Tsa’alabi menafsirkan “… dan janganlah bercerai-berai”, maksudnya adalah tafarruq yang tidak mendatangkan persatuan, seperti bercerai-berai karena fitnah, berpecah belah/berbeda dalam masalah akidah, adapun berbeda dalam masalah furu’/cabang-fikih, maka tidak termasuk di dalam ayat ini, tetapi yang demikian sesuai dengan perbedaan pada umatku itu rahmat, dan sungguh para sahabat berbeda dalam masalah cabang dengan perbedaan yang tajam, melainkan mereka dalam satu sikap pada setiap kekufuran (Imam Ats-Tsa’alabi).
Kelima, program agar saling melindungi dan saling tolong-menolong. Perintah untuk saling melindungi dan saling tolong menolong, sebagaimana terdapat dalam surah At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”
Saling tolong-menolong dan melindungi di antara orang beriman meliputi seluruh orang beriman secara universal. Tidak dibedakan berdasarkan status sosial, usia, suku bangsa, dan jenis kelaminnya. Tersebab setiap orang mukmin yang perlu pertolongan, maka berhak untuk ditolong, dan menjadi kewajiban mukmin yang lain untuk menolong, tanpa ada diskriminasi apa pun.
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menggambarkan betapa indahnya persaudaraan sesama muslim. “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam sikap mereka berkasih sayang dan saling mencintai adalah seumpama satu tubuh, bila salah satu anggota dari padanya menderita (sakit), maka seluruh tubuh ikut menderita dengan rasa demam dan tidak bisa tidur.”
Demikian program siaran agama Islam yang seharusnya dibahas. Lantas, apa yang melatarbelakangi mereka sehingga melarang pembahasan politik? Mengapa menekankan pembahasan nilai-nilai religius? Padahal, dalam ajaran Islam diwajibkan menerapkan seluruh hukum Islam, bukan nilai-nilainya saja. Mengapa pula membahas toleransi? Bukankah sejarah mencatat bahwa kaum muslim sangat toleran dalam muamalah, tetapi bukan dalam masalah akidah dan ibadah? [SM/Ah]
Sumber: Muslimah News