Oleh Mahganipatra
Suaramubalighah.com_ Rapat persiapan pelaksanaan kegiatan Siaran Keagamaan Islam Bulan Ramadan, dipimpin oleh Kakanwil Kemenag Prov. Sultra, H. Muhamad Saleh melalui TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara dan LPP RRI Regional I Kendari, berlangsung di Aula Kanwil Kemenag Sultra, Selasa (11-2-2025)
Dalam sambutannya, Kakanwil Kemenag Prov. Sultra, H. Muhamad Saleh melarang para penceramah yang bertugas ceramah di bulan Ramadan membahas masalah politik dalam ceramahnya. Para penceramah juga diminta agar menyampaikan materi-materi ceramah yang dianggap mendidik dan objektif. Dengan menghindari konten yang dianggap dapat memecah belah masyarakat. (Dilansir dari Laman Situsweb Kementerian Agama RI wilayah Sulawesi Tenggara, Sabtu, 01-3- 2025)
Pembahasan ceramah hanya fokus pada pembahasan tentang kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Hal ini dilakukan agar suasana Ramadan dapat tetap kondusif dan harmonis. Sehingga dapat memberikan motivasi dan inspirasi untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Ironi Pembatasan Ceramah di Bulan Ramadan
Larangan penyampaian ceramah Ramadan dengan muatan dan konten ceramah politik Islam, sebenarnya bukan hal yang baru. Pesan ini sering muncul, bahkan dasar alasan pelarangannya pun dinilai sangat klise. “Demi untuk menjaga ketertiban, mencegah perpecahan, dan memastikan bahwa ibadah di bulan suci Ramadan tetap fokus pada nilai-nilai spiritual dan keagamaan.”
Seakan-akan pembahasan politik Islam merupakan pembahasan yang bisa mengancam stabilitas negara dan dapat memecah belah anak bangsa. Bicara politik menjadi tabu, padahal karut marut persoalan hari ini berpangkal pada rendahnya pendidikan umat yang berkaitan dengan edukasi politik Islam. Jadi jika para penceramah dilarang bicara politik, lalu bagaimana umat bisa paham masalah politik? Sungguh ironis.
Para penceramah dilarang bicara soal politik di dalam masjid. Padahal ajaran pokok agama Islam adalah mengajarkan tentang akidah, syariah dan siyasah (politik). Lalu mengapa justru para penceramah dilarang untuk membahas politik di tempat-tempat ibadah umat Islam? Mengapa bicara politik yang menjadi bagian dari ajaran Islam malah dilarang, ada apa?
Sementara pada sisi yang lain, seringkali dalam tahun-tahun menjelang pesta politik demokrasi (baca: pemilu), bicara politik justru menjadi agenda resmi para penceramah yang sengaja didaulat oleh para calon kandidat agar menyampaikan pesan-pesan politik mereka. Para kandidat ini tanpa rasa malu dan sungkan datang dan meminta para penceramah untuk menjadi tim sukses mereka. Para kandidat politik kekuasaan kapitalis sekuler ini “memaksa” para penceramah untuk berbicara (ceramah) tentang politik praktis ala demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Di tempat-tempat ibadah terutama masjid.
Secara langsung maupun terselubung, para penceramah ini akan melakukan kampanye dan propaganda. Sehingga mereka akan bicara politik demi membangun dan memengaruhi opini publik agar memperoleh dukungan bagi para calon kandidat yang diusungnya. Inilah sisi gelap dari politik praktis sekuler. Ibarat pisau bermata ganda, satu sisi dilarang karena dianggap berbahaya tetapi pada sisi yang lain justru digunakan sebagai alat untuk mendulang suara.
Jadi, sungguh aneh jika di luar masa pemilu, para penceramah dilarang berbicara politik. Namun, hal ini menjadi bukti, tabiat busuk sistem kapitalisme sekuler dalam membentuk dan mendidik rakyat untuk memahami politik. Sistem kapitalisme sekuler telah menjadikan politik sebagai alat dengan polarisasinya yang penuh tipuan.
Tidakkah seharusnya hal ini menjadi bahan renungan bagi umat khususnya para ulama, mubaligah, da’i, serta tokoh-tokoh masyarakat muslim, bahwa politik sekuler hari ini telah membonsai “peran politik” para ulama?
Peran Politik Ulama untuk Mencerdaskan Umat Islam
Sesungguhnya telah terjadi pengerdilan peran politik para ulama hari ini. Dilarangnya para penceramah untuk membahas politik adalah bentuk pengerdilan peran “Politik Ulama.”
Sebab ketika ceramah para ulama dibatasi, dilemahkan, atau diarahkan hanya untuk sekadar mendukung kebijakan pemerintah tanpa memiliki ruang untuk menegakkan nilai-nilai Islam secara independen. Maka peran ulama hanya menjadi legitimasi kekuasaan semata.
Apakah para ulama akan terus diam? Bukankah pada Bulan Ramadan ini, semestinya menjadi tonggak kesadaran bagi para ulama agar terus bergerak dan kritis menyampaikan nilai-nilai politik Islam sesuai dengan syariat Islam?
Dengan demikian, upaya-upaya ini akan mampu membebaskan para ulama dari jebakan politik praktis ala sekularis. Bagaimana pun Bulan Ramadan adalah bulan mulia. Bulan di mana seluruh umat Islam diwajibkan untuk berpuasa dengan tujuan agar memperoleh derajat menjadi orang-orang yang bertakwa. Sesuai dengan perintah Allah SWT. di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Makna takwa dalam ayat ini adalah menjalankan semua yang telah Allah SWT perintahkan dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Oleh karena itu para penceramah atau para ulama sudah seharusnya menyampaikan semua syariat Islam tanpa dibatasi dengan membonsai perannya dalam politik. Umat harus segera paham, apa saja yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, demikian pula dengan hal-hal yang dilarang-Nya. Di sinilah mengapa penting bagi para ulama untuk melakukan edukasi kepada umat.
Termasuk di dalam persoalan politik karena politik dalam Islam adalah “riayah su’unil ummah bi syariatil Islamiyah”. Artinya ketika para penceramah membahas tentang politik maka sebenarnya mereka sedang mengajari dan memahamkan salah satu bagian dari cabang ilmu syariat Islam.
Politik Islam Bagian dari Ajaran Islam demi Meraih Takwa
Ilmu atau pemahaman tentang syariat Islam yang dibahas secara menyeluruh ini, sejatinya akan menjadi bekal bagi umat Islam untuk meraih derajat takwa. Sebab derajat takwa tidak mungkin dapat diraih jika tanpa diawali dengan ilmu. Jadi pesan Kakanwil Kemenag Prov. Sultra, H. Muhamad Saleh bahwa penceramah tidak boleh membahas tentang topik politik. Maka hal ini akan menjadi penghalang bagi umat untuk meraih takwa.
Adapun terkait masalah toleransi antar umat beragama, maka para penceramah tinggal menjelaskan toleransi sesuai dengan perspektif Islam. Toleransi yang sesuai dengan Islam adalah yang diajarkan oleh syariat Islam. Pembahasan ini dijelaskan secara gamblang di dalam surat Al Kafirun ayat enam. Terdapat frasa “lakum dinukum waliyaddin”. Di mana frasa ini menjadi batasan yang sangat jelas bagi umat Islam, bagaimana sikap toleransi dalam beragama.
Di dalam masalah akidah, dalam Islam tidak ada toleransi sehingga dengan batasan ini, umat Islam tidak akan terjerumus pada toleransi yang kebablasan. Seperti apa yang selama ini terus dikampanyekan oleh Kemenag dalam proyek Moderasi Beragama. Alhasil pesan Kakanwil atau semua pejabat pemerintah, yang melarang para penceramah membahas masalah politik di bulan Ramadan ini adalah sebuah pelanggaran dan kemaksiatan negara terhadap individu maupun masyarakat.
Sebab dalam pandangan Islam, Islam bukan hanya sebatas sebuah agama tetapi juga sebagai ideologi. Maka sikap pelarangan ceramah politik selama Ramadan merupakan bentuk kezaliman yang akan menghantarkan manusia dan umat ini ke dalam kehidupan yang sempit. Allah SWT akan sangat murka karena di dalam sistem Islam secara kafah, kedudukan dan fungsi negara adalah sebagai institusi yang memiliki peran yang sangat krusial untuk menjaga dan mempertahankan ideologi Islam.
Salah satu bentuk penjagaan ini, para penceramah akan didorong dan difasilitasi perannya oleh negara. Dengan memfungsikan mereka sebagai guru dan maraji yang harus membina dan mendidik umat untuk memahami politik Islam. Melalui edukasi politik di tengah-tengah masyarakat, para penceramah ini akan menyampaikan seluruh mafahim, maqayyis dan qanaat yang melingkupi seluruh sistem Islam secara kafah dalam beberapa perspektif, di antaranya;
Pertama, menyampaikan Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan, “way of life” yang bersifat sempurna dan menyeluruh yang wajib diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Menyampaikan bahwa sistem Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah dan spiritualitas saja, tetapi juga tentang pemerintah, hukum dan sanksi, peraturan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam sistem Islam kafah, politik bukan sesuatu yang terpisah dari agama, melainkan bagian dari upaya-upaya untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat.
Kedua, Islam telah mewajibkan kepada negara agar melaksanakan dakwah. Dalam Islam, negara berperan sebagai penjaga agama (hirasat ad-din) dan pengelola urusan rakyat (siyasat al-ummah).
Negara tidak boleh melarang ceramah politik. karena larangan tersebut merupakan pembungkaman terhadap suara kebenaran. Apalagi mencegah penceramah atau ulama untuk menyampaikan ajaran Islam yang berkaitan dengan politik dalam makna yang lebih luas. Seperti keadilan sosial, pemerintahan yang baik (al-hukm bi ma anzalallah), amanah kepemimpinan, dan lain sebagainya.
Kecuali jika ceramah politik ini, terindikasi digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu atau berpotensi akan memicu munculnya perpecahan. Maka dalam hal ini, negara memiliki hak untuk mengatur ceramah tersebut demi menjaga persatuan dan kesatuan.
Ketiga, Islam mendorong amar ma’ruf nahi munkar, termasuk dalam mengingatkan penguasa. Jika larangan ceramah politik bertujuan untuk membatasi kritik terhadap kebijakan yang zalim, ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan kewajiban untuk menegakkan kebenaran.
Sebaliknya, jika tujuannya adalah mencegah fitnah dan konflik yang bisa merusak ukhuwah Islamiyah, maka ini bisa dianggap sebagai bentuk maslahah (kemaslahatan).
Khatimah
Dalam ideologi Islam, politik tidak bisa dipisahkan dari agama. Pembatasan ceramah politik selama Ramadan tidak akan pernah terjadi ketika Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara Islam, yakni negara Khilafah Islamiah.
Wallahu ‘alam bishshawab. [] [SM/Ln]