Suaramubalighah.com, Opini — Di antara sekian banyak keistimewaan Ramadan adalah karena Ramadan adalah Bulan Al-Qur’an. Pada bulan mulia inilah Al-Qur’an diturunkan, sebagaimana firman-Nya, “Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS Al-Baqarah [2]: 185)
Bahkan Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada malam paling istimewa, yakni Lailatulqadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Demikian sebagaimana firman-Nya, “Sungguh, Kami menurunkan Al-Qur’an pada saat Lailatulqadar.” (QS Al-Qadar [97]: 1–3)
Al-Quran adalah petunjuk jalan kebenaran agar manusia tidak terjerumus ke jalan kesesatan. Al-Qur’an adalah cahaya penerang bagi kehidupan manusia agar tidak tersesat dalam kegelapan. Al-Qur’an adalah petunjuk dan arah bagi pencapaian kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an adalah warisan Rasulullah saw. yang berlaku hingga Hari Kiamat. Hukum-hukumnya tidak lekang oleh waktu dan tidak tergerus oleh perubahan zaman. Allah SWT menegaskan, “Kitab (Al-Qur’an) ini, tidak ada keraguan di dalamnya, adalah petunjuk bagi kaum yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 2)
Allah SWT juga menegaskan, “Sungguh, Al-Qur’an ini memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus, juga memberikan kabar gembira kepada kaum mukmin yang mengerjakan amal-amal saleh, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al-Isra’ [17]: 9)
Dengan membaca, menghafal, mempelajari, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an, umat muslim dapat menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, yakni jalan yang lurus dan selamat. Sebaliknya, jika berpaling dari Al-Qur’an, mereka akan ditimpa kehidupan yang sempit di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Demikian sebagaimana yang Allah SWT tegaskan, “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka baginya kehidupan yang sempit dan di akhirat kelak Kami akan membangkitkan ia dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 124).
Kehidupan yang sempit sesungguhnya sudah lama kita rasakan saat ini. Sebabnya, tidak lain karena kita telah lama berpaling dari Al-Qur’an. Sungguh, negeri kita kaya raya dengan segala bentuk sumber daya alam yang melimpah ruah. Namun, semua itu seolah tidak mendatangkan berkah, malah mendatangkan musibah. Sebabnya, pengelolaan kekayaan alam negeri ini tidak mengikuti petunjuk dan aturan Al-Qur’an. Al-Qur’an, misalnya, jelas telah melarang penumpukan harta kekayaan pada segelintir orang, “… Agar harta itu tidak beredar (menumpuk) pada segelintir orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr [59]: 7)
Faktanya, hari ini yang terjadi sebaliknya. Sebagian besar kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh segelintir oligarki. Kekayaan seperti migas (minyak dan gas), tambang (emas, perak, nikel, batu bara, dll), bahkan hutan, sebagian besarnya dikuasai oleh oligarki. Sesungguhnya dalam pandangan Islam, semua itu adalah milik umum yang haram dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Semua kekayaan milik umum wajib dikelola oleh negara dan hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat.
Demikianlah, jika manusia mengikuti kehendak hawa nafsunya, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah kesesatan dan kesengsaraan. Ini karena hawa nafsu memang mengantarkan kepada kerusakan dan kegelapan. Sebaliknya, wahyu (Al-Qur’an) mengantarkan kepada kebaikan dan keberkahan. Al-Qur’an akan menjadi cahaya penerang. Tentu jika keseluruhan hukum-hukum Al-Qur’an diamalkan. Allah Swt. menegaskan, “… Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan.” (QS Al-Maidah [5]: 15)
Frasa “nuur[un] wa kitab[un] mubiin” dalam ujung ayat di atas, yakni “Rasulullah saw. (sebagai pembawa cahaya) dan Al-Qur’an yang di dalamnya menjelaskan segala urusan agama dan dunia, serta menerangkan segala hal yang menjadi sumber kebahagiaan dan kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat.” (Syekh Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafaasiir, 1/339).
Dengan demikian, tidak hanya terbatas di dunia, Al-Qur’an akan menjadi sumber kebahagian manusia di akhirat. Al-Qur’an bahkan akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada para sahabatnya pada Hari Kiamat. Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an karena ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).
Siapa yang disebut sahabat Al-Qur’an yang akan diberi syafaat oleh Al-Quran? Tidak lain orang-orang yang terbiasa membaca Al-Qur’an, menyibukkan diri (akrab) dengan Al-Qur’an, serta berpegang teguh pada perintah dan larangan Al-Qur’an (Syekh Ibnu Muhammad bin ‘Allan, Daliil al-Faalihiin li Thuruq Riyaadh ash-Shaalihiin, 6/310).
Negara Wajib Menerapkan Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak hanya wajib menjadi pedoman bagi setiap individu dan masyarakat muslim. Akan tetapi Al-Qur’an pun wajib menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara. Ini karena Al-Qur’an adalah mukjizat paling agung yang Allah SWT turunkan kepada manusia. Allah SWT berfirman, “Andai Al-Qur’an ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti akan menyaksikan gunung itu tunduk dan terbelah karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir.” (QS Al-Hasyr [59]: 21)
Menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan bentuk celaan kepada manusia yang keras hatinya dan tidak terpengaruh perasaannya oleh Al-Qur’an. Jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada Al-Qur’an, seharusnya manusia lebih tunduk dan patuh pada Al-Qur’an. (Al-Andalusi, Bahr al-Muhîth (9/251).
Al-Qur’an tentu tidak cukup sebatas dibaca dan dihafal. Lebih dari itu, seluruh kandungan Al-Qur’an wajib dipahami dan diamalkan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan bernegara. Sebabnya, selain berdimensi individu, hukum-hukum Al-Qur’an juga berdimensi sosial dan kenegaraan. Contohnya, Al-Qur’an mewajibkan setiap individu muslim untuk berpuasa dengan perintahnya, “Kutiba ‘alaykum ash-shiyaam (Telah diwajibkan atas kalian berpuasa [Ramadan]).” (QS Al-Baqarah [2]: 183). Al-Qur’an pun memerintahkan kepada penguasa muslim, “Kutiba ‘alaykum al-qishaash. (Telah diwajibkan atas kalian [untuk menegakkan] hukum qishaash [balasan yang setimpal] dalam kasus pembunuhan).” (QS Al-Baqarah [2]: 178). Hukum qishaash ini juga hukum hudud dan hukum-hukum lainnya, jelas wajib diterapkan oleh negara. Demikian pula perintah Al-Qur’an kepada kaum muslim, “Kutiba ‘alaykum al-qitaal (Telah diwajibkan atas kalian berperang [jihad]).” (QS Al-Baqarah [2]: 216).”
Faktanya, kewajiban berpuasa Ramadan memang diamalkan oleh individu-individu muslim. Namun anehnya, kewajiban menegakkan hukum qishaash, hudud, dan hukum-hukum lain, juga kewajiban jihad fi sabilillah, saat ini tidak dilakukan oleh kaum muslim dan para pemimpinnya, padahal perintahnya di dalam Al-Qur’an sama-sama menggunakan kata “kutiba”, yang bermakna “furidha” (telah diwajibkan). (Lihat: Tafsiir al-Jalaalayn, 1/186, 191 dan 225).
Oleh karena itu, sepantasnya individu, masyarakat, dan pemimpin negara wajib meneladan kehidupan dan kepemimpinan Rasulullah saw. yang telah dengan sempurna menerapkan hukum-hukum Al-Qur’an secara kafah. Ini karena Rasulullah saw. adalah teladan terbaik (QS Al-Ahzab [30]: 21). Allah SWT pun telah menegaskan bahwa seorang muslim wajib masuk Islam secara kafah. (QS Al-Baqarah [2]: 208).
Sayangnya, saat ini meskipun di negeri ini ada puluhan ribu pesantren dengan jutaan santrinya, ribuan ulama, ribuan Perguruan Tinggi Islam, dan ribuan penghafal Al-Qur’an, faktanya Al-Qur’an tidak dijadikan sebagai sumber perundang-undangan negara. Di negeri ini justru ideologi sekuler kapitalisme dari kaum kafir Baratlah yang dijadikan sumber perundang-undangan negara. Yang lebih ironis, banyak orang muslim yang menolak, bahkan memusuhi syariat Islam, sekaligus menuduh para pejuangnya sebagai kaum radikal.
Sesungguhnya berhukum dengan hukum-hukum Al-Qur’an merupakan bukti keimanan kepada Allah SWT(Lihat: QS An-Nisa’ [4]: 65). Allah SWT pun menegaskan agar manusia tidak boleh berhukum kepada selain Al-Qur’an karena hal itu berarti berhukum kepada hukum jahiliah. Allah SWT juga menegaskan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada hukum-Nya. (Lihat: QS Al-Maidah [5]: 50).
Apalagi sudah jelas, akibat mengabaikan Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, negeri ini menjadi gelap. Lihatlah berbagai bentuk kemungkaran dan kebatilan yang merajalela di negeri ini, seperti korupsi triliunan rupiah oleh para pejabat rakus, maraknya judi online, perampasan tanah rakyat oleh oligarki serakah, bencana alam yang bertubi-tubi akibat rusaknya lingkungan, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, pelacuran, penipuan dan kebohongan oleh para petinggi negeri, bunuh diri dan pembunuhan, serta perampokan sumber daya alam milik rakyat oleh kaum kapitalis. Semua kerusakan ini persis seperti yang digambarkan Al-Qur’an. (Lihat: QS Ar-Rum [30]: 41; QS Thaha [20]: 124).
Berdasarkan fakta ini, jelas negara wajib menerapkan Al-Qur’an secara kafah. Ini bukan hanya keniscayaan, tetapi juga kebutuhan mendesak bagi bangsa dan negeri ini. Alhasil, sudah seharusnya Ramadan ini dijadikan sebagai momentum untuk mengamalkan dan menerapkan hukum-hukum Al-Qur’an secara keseluruhan, baik oleh individu, masyarakat, maupun negara.
WalLâh a‘lam bi ash-shawâb.
Hikmah:
Allah SWT berfirman, “Rasul telah berkata, ‘Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang dicampakkan.” (QS Al-Furqan [25]: 30).
Sumber: Buletin Kaffah
[SM/Ln]