Oleh: Ummu Nashir N.S.
Suaramubalighah.com, Opini — Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai fondasi ketahanan keluarga dan bangsa. Hal ini ia sampaikan dalam Seminar Tanwir 1 Aisyiyah di Jakarta, Kamis (16-1-2025).
Menag menyoroti peran perempuan dalam menciptakan generasi berkualitas serta mendorong kesetaraan gender di Indonesia sehingga pemberdayaan perempuan harus jadi prioritas utama. Ia mengatakan bahwa tidak akan ada ketahanan keluarga tanpa pemberdayaan perempuan, tidak ada ketahanan nasional tanpa kekuatan perempuan, dan generasi yang baik hanya bisa lahir dari perempuan yang diberdayakan.
Menag juga mengatakan bahwa ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menjadi akar dari berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan seksual. Dalam sosiologi, relasi kuasa merujuk pada dominasi kekuatan satu pihak terhadap pihak lain. Relasi kuasa yang timpang, kata Menag, disebabkan karena legitimasi penafsiran agama dan budaya masyarakat yang patriarki. Ia mengatakan bahwa relasi kuasa juga dapat menyebabkan problem perceraian. Menag menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Pada 2023, 40% perceraian terjadi dalam lima tahun pertama pernikahan, dengan 80% kasus cerai gugat berasal dari kota besar. (Antara News, 16-1-2025).
Tidak salah jika dikatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan hal penting untuk bisa mewujudkan ketahanan keluarga. Hanya saja yang menjadi masalah adalah pemberdayaan perempuan seperti apa yang akan mampu mewujudkannya?
Sarat Aroma Feminisme
Jika kita mencermati konsep pemberdayaan perempuan yang disodorkan oleh Menag, tampak jelas aroma feminisme yang diusung. Hal ini terlihat dari pernyataan Menag yang menyebutkan bahwa yang menjadi sorotan adalah peran perempuan dalam menciptakan generasi berkualitas serta mendorong kesetaraan gender di Indonesia sehingga pemberdayaan perempuan harus jadi prioritas utama. Padahal, kesetaraan gender yang menjadi spirit konsep pemberdayaan ini merupakan ciri khas feminisme. Jika demikian, apakah benar pemberdayaan perempuan ala feminisme ini mampu mewujudkan ketahanan keluarga atau bangsa?
Pada faktanya, pemberdayaan perempuan versi feminis justru memunculkan masalah baru, termasuk rusaknya tatanan keluarga akibat abainya kaum ibu terhadap tanggung jawabnya sebagai ummun wa rabbatul bait. Adanya konsep kesetaraan gender ini mendorong para perempuan mendapatkan hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Pemberdayaan perempuan versi feminisme mengarahkan kepada pemberdayaan perempuan dalam politik dan ekonomi. Ini artinya akan memberikan kebebasan kepada perempuan agar bisa berkiprah dalam masyarakat setara dengan dan berkiprah dalam dunia kerja agar bisa menghasilkan sesuatu secara materi.
Tentu saja hal ini harus diwaspadai. Sebabnya, perempuan akan terperangkap dalam jebakan sekuler kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai salah satu alat produksi dan menjauhkannya dari fitrahnya sebagai seorang ibu dan istri. Hal inilah yang harus dipahami oleh kaum perempuan, terutama muslimah, jangan sampai terseret arus yang seolah memberikan kebaikan bagi perempuan padahal justru makin menjauhkannya dari tugas utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait yang berarti makin menjauhkan muslimah dari aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika hal ini terjadi, bisa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan apa pun bagi keluarga muslim, baik pasangan suami istri maupun anak-anak.
Pada faktanya, perempuan bekerja di negeri ataupun yang berkecimpung dalam politik praktis, mereka harus berjibaku dari pagi hingga petang bahkan malam atau dari malam hingga pagi lagi, demi sebuah kemandirian dan kebebasan atas nama kesetaraan. Apa yang kemudian didapatkan? Terkurasnya tenaga dan pikiran. Sementara itu, para suami mereka yang juga pulang dari bekerja membutuhkan perhatian dan pelayanan dari para istri. Terkadang pula berkomunikasi intens dengan pasangan membicarakan kondisi anak-anak atau keluarga menjadi momen langka. Tidak jarang kurangnya komunikasi di antara pasangan suami istri ini menjadi bara dalam sekam yang menjadi pemicu pertengkaran di antara mereka.
Tidak hanya itu, anak-anak yang sering kali menjadi korban. Buah hati di rumah yang menunggu senyuman dan belaian lembut tangan sang bunda akhirnya harus menelan kekecewaan. Sang bunda bahkan tidak sempat memberi senyuman, ataupun sekadar sapaan karena anaknya sudah tertidur kelelahan menunggu bunda tercinta. Pada pagi butanya, sang bunda sudah harus berangkat, menempuh perjalanan yang masih sepi, siap menawarkan ancaman kehormatan dan keamanan sang bunda.
Betul bahwa perempuan harus berdaya, hanya saja tidak dengan pemberdayaan versi feminisme yang merupakan buah dari sistem sekuler. Lalu, seperti apa sebenarnya pemberdayaan perempuan yang akan mampu mengukuhkan ketahanan keluarga?
Ke Mana Pemberdayaan Perempuan seharusnya Menuju?
Sungguh sangat nyata bahwa pemberdayaan perempuan ala sekuler kapitalisme telah menggiring perempuan keluar rumah dan berpeluang besar menjadikan perempuan ikut menjadi pemutar roda industri kapitalistik. Inilah yang justru memunculkan masalah baru terkait interaksi di dalam keluarga yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga. Pemicu terjadinya perceraian salah satunya adalah akibat lemahnya interaksi dan komunikasi antara pasutri dan juga orang tua dengan anak-anaknya.
Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan, harus kita bendung agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Sudah waktunya kita meninggalkan konsep pemberdayaan perempuan ala kapitalis dan kembali pada Islam.
Islam tegak di atas keyakinan bahwa Allah SWT adalah Pencipta dan sekaligus sebagai Pengatur Kehidupan. Oleh karenanya, dari aspek syariat bagi pengaturan kehidupan, termasuk tentang relasi perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan pembagian peran dan fungsi di antara keduanya, Islam memiliki konsep yang ideal, lurus, dan komprehensif.
Aturan Islam berasal dari Yang Maha Pencipta, Mahasempurna, dan Mahaadil. Hal ini terbukti dari fakta keberadaan masyarakat Islam yang senantiasa muncul sebagai masyarakat ideal dan gemilang, salah satunya bahwa perempuan mendapat tempat yang sempurna dan selayaknya.
Pemberdayaan perempuan perspektif Islam adalah upaya pencerdasan muslimah hingga mampu berperan menyempurnakan seluruh kewajiban yang datang dari Allah SWT, baik dalam peran utamannya sebagai ummun wa rabbatul bait maupun perannya sebagai bagian dari masyarakat. Ke sanalah aktivitas pemberdayaan perempuan diarahkan.
Pemberdayaan perempuan muslimah diarahkan sebagaimana ia berperan sebagai istri dan ibu sesuai tuntunan Islam dan orang yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Ia pun berperan untuk membawa umat kepada kemuliaan dengan melakukan dakwah di tengah umat.
Dengan demikian, Islam tidak hanya mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut dapat terealisasi sempurna melalui serangkaian hukum yang bersifat praktis. Kelebihan semacam ini tidak mungkin ada kecuali pada ad-diin yang bersumber dari Sang Pencipta manusia, sebaik-baik Pembuat Hukum.
Lebih dari itu, dalam sistem Islam, khalifah adalah raa’in yang akan menjalankan tanggung jawabnya dan menjamin hak-hak dan mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tuntunan syarak. Kewajiban ini tidak akan dibebankan kepada rakyat, terlebih kepada perempuan. Negara akan mengentaskan kemiskinan sehingga akan lahir kesejahteraan bagi rakyat. Ini karena kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara (Khilafah), yaitu terpenuhinya semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhamul Iqtishadiy fil Islam).
Islam yang diturunkan Allah Yang Mahaadil dan Maha Mengetahui hakikat makhluk-Nya, telah menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang mulia. Apabila seorang muslim (laki-laki maupun perempuan) memahaminya dengan benar, sungguh Islam telah memberikan peran dan posisi istimewa bagi keduanya. Ketika keduanya mampu menjalankan peran dan posisinya tersebut sesuai dengan tuntunan Islam, sesungguhnya kemuliaan dan kebahagiaan akan dapat diraih.
Oleh karenanya, ketika seorang muslimah bisa menjalankan perannya sebagai istri dan ibu, atau dengan kata lain mampu melaksanakan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatu bait dengan maksimal dan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, kemuliaan pun dapat diraih. Kehidupan keluarga bisa berlangsung harmonis dengan komunikasi intens di antara keduanya. Dengan berupaya menjalankan aturan Allah secara kafah, seorang istri akan bisa melaksanakan kewajibanya dan memenuhi hak-hak suaminya. Sebaliknya pula, para suami akan memenuhi hak-hak istrinya dan menjalankan kewajibannya sesuai tuntunan Islam.
Walhasil, arah pemberdayaan perempuan perspektif Islam adalah upaya pencerdasan muslimah hingga mampu berperan menyempurnakan seluruh kewajiban yang datang dari Allah Ta’ala. Ke sanalah aktivitas pemberdayaan perempuan diarahkan. Islam juga tidak hanya mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut dapat terealisasi dengan sempurna melalui serangkaian hukum yang bersifat praktis.
Hanya saja, ketika membahas pemberdayaan perempuan, kita tidak boleh memandang perempuan sebagai masyarakat yang terpisah dari laki-laki. Keduanya merupakan bagian dari masyarakat yang hidup saling berdampingan, baik dalam keluarga ataupun di tengah masyarakat. Upaya pemberdayaan keduanya tidak boleh lepas dari upaya pemberdayaan anggota masyarakat secara keseluruhan sesuai sudut pandang Islam.
Langkah yang harus dilakukan seluruh muslim (laki-laki maupun perempuan) tidaklah berbeda. Keduanya adalah bagian dari masyarakat yang tidak terpisah satu dengan yang lain. Langkah awal yang kita lakukan adalah mengubah pola pikir diri kita dan umat dengan tsaqafah Islam sehingga umat akan berpikir dan berbuat dengan cara yang benar dan landasan yang benar, yaitu akidah Islam. Caranya adalah dengan membina diri kita dan umat dengan Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam ini tidak boleh hanya dipandang sebagai informasi, tetapi harus dijadikan pijakan untuk menyikapi fakta yang dihadapi secara tepat dan benar berdasarkan sudut pandang Islam.
Melalui pembinaan ini, akan terbentuk pemahaman Islam di tengah umat yang selanjutnya akan berpengaruh kepada tingkah laku dan mendorong mereka untuk siap bergerak menyampaikan dakwah Islam, rida diatur oleh hukum-hukum Islam, dan senantiasa mengupayakan agar aturan Allah dan Rasul-Nya tegak di muka bumi ini. Dengan sistem Islamlah kita akan mampu meraih kemajuan, yaitu sebagai umat terbaik, khaira ummah di muka bumi ini. Inilah sesungguhnya yang akan membawa kepada terwujudnya keharmonisan dalam keluarga dan akan mengukuhkan ketahanan keluarga.
Oleh sebab itu, pemberdayaan perempuan harus diarahkan untuk mengoptimalkan seluruh perannya sesuai aturan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Bukan pada seruan kemandirian dan kesetaraan, apalagi menjadikannya sebagai ujung tombak perekonomian keluarga.
Sudah saatnya kita sadar bahwa tidak ada satu alasan pun yang membuat kaum muslim harus ikut-ikutan mengadopsi, mempropagandakan, apalagi memperjuangkan ide yang diusung oleh feminis ini, yang justru akan membawa perempuan kepada keterpurukan. Wallahu ‘alam.
Sumber: https://muslimahnews.net
[SM/Ln]