Serukan Demokrasi, Sama dengan Menyerukan Kemungkaran

  • Opini

Oleh: Mutiara Aini

Suaramubalighah.com, Opini – Pimpinan Ponpes Darul Amanah, Gus Muhammad Fatwa, mengapresiasi petisi pemilu damai dalam acara hari lahir JPPPM (Jam’iyyah Pengasuh Pesantren Putri dan Mubalighah) pada Ahad, 10 Desember 2023 di Ponpes Darul Amanah, Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. Acara tersebut dihadiri oleh 2000 nyai dan mubalighah dari berbagai penjuru tanah air dan beberapa dari luar negeri seperti, Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Aljazair, Arab Saudi, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. 

Dalam kesempatan tersebut, JPPPM mengeluarkan petisi pemilu damai yang ditandatangai 2000 nyai dan dibacakan oleh Hj. Hanik Maftuhah selaku ketua JPPPM. Petisi tersebut mengajak kepada seluruh anggota dan masyarakat Indonesia untuk menyukseskan pemilu dan turut andil dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia.  Petisi ini pun dipertegas oleh Gus Muhammad Fatwa, bahwa di ponpesnya selalu mengajarkan kepada santri agar bisa menjadi patron dan garda terdepan dalam menjaga demokratisasi di Indonesia dan memberi pendidikan politik dan demokrasi kepada santri, muncul pertanyaan bolehkah pesantren dan santri menjadi corong demokrasi?

Demokrasi Sistem Kufur  dan Bentuk Kemungkaran

Demokrasi adalah sistem yang  asasnya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara yang berlandaskan pada dua ide dasar yakni kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi juga dianggap sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diklaim diambil berdasarkan pendapat mayoritas dengan jargon “suara rakyat suara tuhan” sejatinya telah menyingkirkan peran Tuhan atau agama dalam mengatur kehidupan sehingga manusia bebas melakukan apa yang diinginkan.

Jelas hal ini bertentangan dengan Islam yang menjadikan kedaulatan di tangan Asy-Syari’ yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya musyari‘ (pembuat hukum) adalah Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al An’aam: 57)

Demokrasi bukan sekedar cara mengangkat atau memilih pemimpin (penguasa). Hal yang paling mendasar dari  demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat dan menjadikan manusia menjadi sumber hukum. Jelas ini wujud dari melampaui batas sekaligus bentuk dari kemusyrikan yakni menandingi Allah SWT sebagai musyari‘ (pembuat hukum). Serta bentuk kemungkaran yang nyata.

Pilar utama demokrasi yaitu empat macam kebebasan, di antaranya ; kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Pilar demokrasi ini secara nyata telah melahirkan kerusakan secara nyata di seluruh aspek kehidupan khususnya umat Islam.

Atasnama kebebasan beragama , telah berkembang ide pluralisme, sinkretisme, moderasi beragama, dan lainnya yang mengikis akidah umat Islam, meningkatkan pemurtadan, atheis atau agnostik, pernikahan beda agama, ritual perdukunan dan khurafat dengan dalih, budaya. Buktinya, atas nama kebebasan berpendapat, marak para penista agama Islam, menghina Rasulullah saw, melecehkan Al-Qur’an bahkan sampai level islamofobia, melalui kebebasan berperilaku, liberalisasi merusak generasi muda muslim, free seks, pornografi dan pornoaksi, bullying, dan sebagainya.

Sedangkan kebebasan kepemilikan dan oligarki, bebas menguasai dan merampas kekayaan alam milik rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Dalam politik demokrasi,  korupsi dan suap menyuap menjadi sesuatu yang biasa. Prosesnya pun berbiaya mahal, maka wajar jika sistem demokrasi ini dapat menumbuhsuburkan perilaku koruptif di jajaran pemegang kekuasaan dan membuka celah intervensi  para pemilik modal. Keberadaan mereka akan tampak pada kebijakan yang dihasilkan. Bahkan semua aturan dan perundang-undangan yang dikeluarkan, nyaris dipersembahkan untuk melayani oligarki serta menjadi ajang bancakan politik.

Pemerintah yang melahirkan sistem demokrasi  menciptakan kezaliman. Penguasa kerap menghadiahi rakyat dengan berbagai kejutan kesulitan hidup. Di antaranya UU Cipta Kerja yang mengukuhkan proyek-proyek penjajahan hingga  melahirkan konflik horizontal, termasuk konflik lahan, naiknya harga-harga kebutuhan pokok termasuk BBM dan LPG yang tak berkesudahan, layanan kesehatan yang rumit dan makin mahal, serta kebijakan pendidikan yang makin semrawut, peraturan hukum yang diskriminatif dan jauh dari keadilan karena pemerintah lebih memihak kepada para pemilik uang, serta berbagai alasan lainnya.

Rasulullah saw. bersabda:

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“Jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR Al-Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578)

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang terbesar” (QS Luqman: 13)

Serukan Islam Kaffah untuk Perubahan Hakiki

Ulama dan santri yang dinaungi oleh pesantren seharusnya terdepan dalam menghilangkan kezaliman yang disebabkan oleh demokratisasi di seluruh lini kehidupan. Ulama dan santri terdepan menjadi corong kebenaran Islam kaffah.

Oleh karenanya, para pemimpin Islam benar-benar akan mendedikasikan dirinya demi kepentingan rakyat berdasar tuntunan syariat. Begitu juga rakyat akan menyerahkan ketaatan mereka berdasarkan tuntunan syariat. Syariat inilah yang akan mendatangkan rahmat, karena setiap permasalahan kehidupan terpecahkan dengan pemecahan yang berasal dari pembuat syariat, yakni Allah Ta’ala, Pencipta alam semesta.

اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ‌ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ‌ؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ‌ وَهُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُهۡتَدِيۡنَ‏

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl: 125).

Wallahu a’lam bishshawab